Bina Desa

Pelaksanaan Reforma Agraria Butuh Presiden yang Benar-Benar Berpihak pada Rakyat Miskin (2)

Perwakilan dari berbagai organisasi dan individu yang tergabung dalam (Foto: Yuliniar Lutfaida)

Ombudsman : Format kebijakan memang menghendaki Konfilk Agraria

JAKARTA, BINADESA.ORG–Sedangkan Alamsyah Saragih mengutarakan banyak terjadinya maladministrasi, terutama untuk selisih batas dan separuh dari maladministrasi tersebut terjadi karena penyelewengan wewenang. Yang paling banyak dilaporkan adalah Badan Pertanahan Nasional. Pemerintah dan BPN ini paling banyak yang diadukan di daerah berkaitan dengan HGU yang telah habis.

Namun dalam menangani kasus-kasus maladminsitrasi Ombudsman mempunyai beberapa keterbatasan. Ada 3 hal dari beberapa refleksi Ombudsman menyatakan bahwa Ombudsman itu memiliki batas, apabila masalah yang terjadi itu memang secara akar sudah terjadi dan by design, akan sulit dilakukan. Apakah ini bisa ditangani setiap ada pengaduan ke Ombudsman, di nyatakan tidak bisa. “Salah satu penyebabnya adalah banyaknya pelaku rente, yang melibatkan pejabat-pejabat daerah. Saya berani mengatakan itu secara blak-blakkan. Motif konflik tanah ini seringkali terjadi karena memang faktor kepentingan kepemilikan terhadap aset. Pihak-pihak lebih senang membuat hotel daripada menyerahkan lahan pada masyarakat setempat. Kalau kita lihat dengan fenomena gunung es, 450 konflik dan jutaan hektar lahan itu adalah permukaannya saja” Imbuh Alamsyah.

Untuk itu dibutuhkan Presiden yang memang begitu berpihak kepada rakyat miskin. Setidaknya harus berani mencabut ketentuan penguasaan 100 persen Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB), membatasi proporsi area penguasaan. Dilakukannya transformasi asset HGU dan HGB korporasi yang jatuh tempo dengan prioritas diberikan kepada masyarakat sebanyak 60 persen melalui skema refroma agraria. Pemerintah juga harus menerapkan system kebijakan konsolidasi lahan untuk pembebasan lahan infrastruktur, semisalnya para masyarakat yang tanahnya terkena penggusiran akibat proyek infrastruktur diberikan alokasi lahan disekitarnya sehingga bisa mengakses manfat langsung dari pembangunan. Membatasi tujuan dari pemnafaatan asset negara untuk pelayanan public, bukan untuk fungsi bisnis. Terakhir segera membatalkan 3.386 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang cacat hukum, angka tersebuut mencapai sepertiga dari keselurhan IUP yang ada di Indonesia.

Peluncuran Bantuan Hukum Agraria

Selain laporan mengenai kondisi keagrariaan di Indonesia sepanjang tahun 2016, dalam acara ini juga meluncurkan Jaringan Bantuan Hukum Agraria. Jaringan ini dibentuk sebagai respon terhadap maraknya kasus kriminialisasi yang melekat pada konflik-konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah. Selama tahun 2016 tercatat sebanyak 177 orang yang dikriminalisasi. Jaringan ini akan diperkuat dan akan semakin banyak menjaring pengacara/advokat dan pekerja bantuan hukum yang mempunyai kepedulian terhadap para pejuang agraria. Untuk saat ini keanggotaan jaringan ini telah mencapai 150 orang dari berbagai lembaga maupun personal.

Acara ini ditutup dengan testimoni dari beberapa jaringan lembaga-lembaga yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan anggota dari Jaringan Bantuan Hukum Agraria, diantaranya pengacara senior yang selama ini konsisten mebela rakyat kecil Chairil Syah, perwakilan dari LBH Anshor, IHCS, LBH,  Aliansi Petani Indonesia, Bina Desa, Solidaritas Perempuan, Kontras, dan organisasi lainnya. (###) sebelumnya (1)

 

Scroll to Top