Presiden Yudhoyono dengan terbuka dikirimi surat oleh para akademisi pemikir agraria (Jakarta,7/02), mereka meminta agar Yudhoyono mengupayakan penyelesaian konflik agraria di masa lalu dan yang tengah berlangsung. Reformasi hukum dan kemauan politik menjadi acuan utama komitmen pemerintahan Yudhoyono dan jajarannya untuk menyelesakan konflik agraria. Penyelesaian konflik lebih mengedepankan penyelesaian legal formal dengan mengabaikan keadilan substantif juga ditengarai menjadi sebab lambatnya penyelesaian konflik, sebaliknya konflik agraria justru semakin meningkat.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menyatakan ada sekitar 8.000 konflik pertanahan yang belum terselesaikan. Sawit Watch menyebutkan adanya sekitar 660 konflik di perkebunan kelapa sawit dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut konflik agraria di sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sedikitnya 60 ribu nelayan. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria, mencakup kasus-kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hukum yang benar, 55 orang terluka dan dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang tewas akibat konflik agraria.
Hal itulah yang menjadi latar belakang utama lahirnya surat terbuka dari “Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria” yang didalamnya terdapat lebih dari enam ratusan akademisi, pemikir dan intelektual pergerakan agraria. “Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, kesetaraan, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan mencapai tujuannya jika konflik agraria tidak diselesaikan atau jika diselesaikan hanya dengan cara represif. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan kemauan politik yang kuat, sungguh-sungguh, konsisten, progresif, dan memberikan perlindungan kepada kelompok rentan; disertai implementasi kebijakan yang tepat dengan dukungan akademisi, masyarakat madani, dan aparat keamanan.” Demikian dikutip naskah surat terbuka “Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria”
Untuk hal tersebut “Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria” mengusulkan kepada Presiden Yudhoyono untuk Melaksanakan seluruh arah kebijakan dan mandat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam secara konsisten dan memantau pelaksanaannya secara transparan, berkelanjutan dan akuntabel dengan membentuk jaringan pemantau antar pemangku kepentingan.
Pemerintahan SBY juga diminta mengupayakan penyelesaian konflik agraria secara berkesinambungan, intensif dan terkoordinasi dengan cara membentuk lembaga independen yang akan bertugas untuk: (a) Mendaftar, mengadministrasikan dan memverifikasi kasus-kasus konflik agraria yang diadukan oleh kelompok masyarakat secara kolektif; (b)Melakukan audit atas ijin-ijin pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang diberikan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah yang menimbulkan konflik-konflik agraria;(c) Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik; (d) Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi; (e) Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan kementerian dan lembaga pemerintah non-Kementerian. (f) Mendorong Kepala Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk melakukan Identifikasi dan inventarisasi konflik-konflik yang sedang berlangsung serta deteksi dini potensi konflik pengelolaan sumberdaya alam.
Selain itu Presiden juga diminta untuk merevisi Instruksi Presiden (Inpres) No.2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri karena: (i) Inpres ini lebih fokus pada penyelesaian konflik yang timbul di permukaan melalui pendekatan keamanan tetapi tidak mengupayakan tindakan korektif terhadap akar konfliknya; (ii) Inpres ini tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik agraria karena tidak melibatkan menteri-menteri terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
Juga agar memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk (a)Mengusut tuntas tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM terkait dengan konflik-konflik agraria; (b) Menghentikan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat; dan (c)Membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat, petani dan nelayan yang saat ini ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian.
Selain kepada Kapolri, Presiden juga diminta menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memimpin pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain, dengan melibatkan akademisi dan masyarakat madani. Pengkajian ulang dilakukan berlandaskan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam rangka pengkajian ulang perlu diterbitkan Peraturan Presiden sebagai landasan moratorium penyusunan peraturan perundangan-undangan di bidang agraria dan sumberdaya alam. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengkoordinasikan revisi peraturan perundang-undangan yang dimaksud.
Juga agar menugaskan kepada Pimpinan kementerian terkait dengan sumberdaya agraria dan Badan Pertanahan Nasional untuk: (1) Melakukan moratorium pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam atau hak atas tanah selama dilakukan audit oleh lembaga independen; (2) Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan yang dapat mencegah dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan konflik agraria; (3)Melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sementara untuk Kementerian terkait dan Badan Pertanahan Nasional untuk (1) Mendukung percepatan pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; (2)Mendukung Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan proses identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat. (3)Menugaskan kepada Menteri Kehutanan untuk segera menyelesaikan konflik pada desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan. (4)Membentuk kementerian yang bertanggung jawab mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi kebijakan di bidang pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya sudah menyatakan tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berdasarkan tujuan tersebut implementasi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat baik untuk generasi saat ini maupun masa mendatang yang harus dimaknai ke dalam empat prinsip: (i) kemanfaatan dan pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat; (ii) perlindungan atas hak azasi manusia; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan akses, alokasi dan distribusi sumberdaya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Sayang memang bahwa kenyataan dari praktik politik sekian kali naik turun rezim sampai era Presiden Yudhoyono sekarang ini, yang kerap terjadi justeru menunjukan sebaliknya. Reformasi hukum tidak dijalankan, kemaun politk untuk reforma agraria kecil yang ditandai dengan jungkir balik pengelolaan sumberdaya agraria yang dengan mudah bisa ditandai dari Empat hal yang juga disebutkan dalam surat terbuka untuk Presiden tersebut yaitu: i) adanya beberapa ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945; (ii) adanya ketidak-harmonisan dan ketidak-sinkronan diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumberdaya alam dan lingkungan hidup; iii) adanya ketidak-sinkronan antara peraturan perundangan-undangan sumberdaya alam dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi; iv) banyaknya peraturan daerah yang bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek. Sebagai akibatnya, keberlanjutan pembangunan Indonesia terancam. Bencana lingkungan dan degradasi sumber daya alam meluas ke berbagai wilayah Indonesia.
Rakyat sudah bersuara dengan caranya, perempuan sudah menyatakan sikapnya dan menyerukan keadilannya, kaum pergerakan, dan akademisi juga sudah bersuara; sekarang kita semua menunggu balasan dari yang tertuju, semoga di sisa waktu pemerintahannya, ada sikap politik yang populis, gagah berani untuk dengan rasa cinta kepada negeri dan terutama rakyatnya, mengupayakan penyelesaian konflik agraria dan jungkir balik tata kelola sumberdaya agraria. Jika Yudhoyono berani, ia masih memiliki kesempatan untuk menjadi prajurit sejati yang gagah membela rakyat! Semoga saja..[]
My brother recommended I might like this blog. He was once totally right.
This post truly made my day. You can not believe just how so much time I had spent for
this info! Thanks!