Melalui Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) pemerintah menilai pemberian hak sewa pada petani lebih berkelanjutan ketimbang hak milik. Hak milik membuat tanah rentan dijual lagi oleh petani. Adanya 4 model kelembagaan petani yang dinaungi pemerintah akan memudahkan menjamin tidak terjadi alih fungsi lahan. Namun demkian petani menilai hal itu sebagai korporatisme negara. Negara hendak mengontrol petani. Negara kok menyewakan tanah ke rakyat sendiri?
Bina Desa, Jakarta-Dalam sidang lanjutan Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi pemerintah, pemerintah menyebut pembagian tanah/pemberian hak milik atas tanah pada petani hanya akan memudahkan peralihan hak karena petani cenderung akan menjualnya kembali.
“Banyak petani ga siap dengan hak atas tanah akhirnya menjual dan jadi buruh perkebunan, itulah konteks ketidakadilannya.” Ungkap Prof. Sumardjo, selaku saksi ahi dari tergugat/pemerintah.
“Redistribusi tanah hanya akan mempercepat perpindahan tangan tanah. UU ini karnanya tidak harus dirubah. Usulan penggugat yang terdiri dari koalisi masyarakat sipil—cukup saja untuk bahan pembuatan peraturan UU 19 th 2013 ini.” Katanya lagi. “Jika UU ini dibatalkan, justru akan menghambat pemberdayaan petani, sementara di depan Globalisasi telah tiba.”
Di dalam UU ini, masih menurut Prof Sumardjo, juga dikatakan tidak perlu banyak mengatur tentang pertanahan karna ada di UU lain. Lalu soal kelembagaan petani pasal 70 dan 74, 69 yang dipersoalkan penggugat, justru sebaliknya akan melindungi petani dalam usaha agribisnis.
Prof. Sumardjo menilai para penggugat telah rancu dalam memandang antara aturan dan pelanggaran norma yang selama ini terjadi. Karenanya pasal 59, 70, 74 yang digugat oleh para tergugat untuk dibatalkan, sesungguhnya malah patut dipertahankan karna sesuai dengan kondisi petani dilapangan sehingga tidak perlu dibatalkan. “Pasal yang digugat pemohon malah sebenarnya akan mendorong petani lebih sejahtera karena kelembagaan petani seharusnya sejalan dengan norma dan perencanaan pemerintah. UU Ini punya potensi bagus untuk mengatasi dominasi dari luar petani.” Katanya.
Petani Jadi Kuli di Negeri Sendiri
Namun demikian, berbeda dengan Prof Sumardjo sebagai saksi ahli dari pemerintah, Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH., selaku mantan anggota Hakim Konstitusi dan dalam sidang tersebut berlaku sebagai saksi ahli dari para penggugat yang terdiri dari petani dan LSM, mengungkapkan yang sebaliknya dari cara pandang pemerintah.
“Sejarah indonesia adalah sejarah penderitaan, dan yang paling menderita adalah petani. Terutama akibat politik penjajahan. Sampe sekarang petani masih menjadi kuli dinegeri sendiri.” Katanya dalam paragraf pembuka kesaksiannya yang di bacakan di hadapan sidang panel Mahkamah Konstitusi (17/3)
Sekarang era kolonial masih berlanjut di era modern, ungkap Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH., betapa mudah perusahaan dapat tanah lewat HGU dan izin, tapi petani betapa sulitnya untuk dapat lahan pertanian. Petani pun akhirnya jadi buruh tani, jadi TKI; 291 di anataranya sekarang terncam pidana mati. “Sekrang jadi kuli di negeri sendiri saja susah, sedih rasanya petani malah harus jadi TKI di negeri orang.” Kata Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH., yang juga merupakan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH. Lebih lanjut menjelaskan perspektif historisnya. UULandreform era sukarno menjadi era pembebasan hak atas tanah, sayangnya kemudian untuk klaim pembangunan oleh rezim Suharto agenda lenadreform tak lagi genuine dan tanah petani hanya diganti dengan ganti rugi yang rendah. Era SBY juga ada janji redistribusi 8 sampai 11 jt Hektar tanah, tapi Landreform plus akhirnya nyaris tak terdengar lagi, petani di bohongi lagi. “Kenapa kalo untuk perusahaan ada dan mudahnya ribuan hektar, tapi untuk petani negara sangat pelit?!” kecamnya.
Negara kok menyewakan tanah..
Pasal 58 Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) ini yang lebih menekankan pada sistem sewa untuk petani tentu ironis. “Negara menyewakan tanahnya sendiri pada rakyat. Ini seperti era Rafless.” Kata Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH.
Negara bukan pemilik tanah jadi bagaimana hendak menyewakan tanah pada rakyat? Bukankah UUPA memasukan hak sewa sebagai hak sementara yang akan di hapus, lah kok UU ini malah hendak menghidupkan lagi sistem sewa?
“Itu akan merugikan petani. Apalagi UU Pasal 58 tidak menyebut jelas siapa petani yang akan mendapatkan kemudahan akses seperti disebut pasal 58, apa petani gurem apa petani berdasi di kota yang ga menggarap lahan pertanian??” terangnya.
Ada relasi modal, kuasa, dan jaringan yang tidak bisa membuat petani kecil disamakan dengan petani kaya atau korporasi pertanian.
“Pasal UU 71 ini juga secara limitasi membatasi lahirnya kelembagaan petani, UU ini menggiring hanya pada 4 bentuk kelembagaan tani yang difasilirasi pemerintah. Padahal petani butuh kelembagaan petani yang bebas yang dibentuk oleh petani sendiri sesuai dengan kebutuhan petani sendiri dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik negara.” Terang Prof. Sodidki.
Bagaimana juga dengan serikat petani? Yang ironisnya malah tak tercakup dalam pasal tersebut. Kata “berkewajiban” bagi petani untuk ikut 4 model kelembagaan petani, hal itu bertentangan dengan pasa 28 UUD 45 tentang kebebasan berserikat.
“Petani sampai kini masih sabar menunggu hak mereka untuk dapat hak milik atas tanah yang selalu diingkari. Petani butuh hak milik dan kejelasan hukum agar bisa mengelola dan menggarap tanah untuk kesejahteraan tani sendiri dan bukan hak sewa semata.” Pungkas Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH.
Tim Advokasi Hak Asasi Petani yang mengajukan Uji Materi atas Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya terdiri dari sejumlah Ormas dan Lembaga pendukung gerakan tani seperti BINA DESA, IHCS/Indonesian Human Rights Committee For Social Justice, Aliansi Petani Indonesia (API), Institute for Global Justice, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), dan lainnya. (*)
Rep: Sabiq Carebesth
bagaimana akhirnya? apakah uji materi dapat dimenangkan ataukah kalah di MK?
salam,