Bina Desa

Reforma Agraria Yang Holistik

Iwan Nurdin memfasilitasi Konsolidasi Gerakan Reforma Agraria (RA), dibutuhkan pendekatan yang holistik-sistematis. Artinya, berbagai pendekatan, seperti sejarah, sosiologis, politik, ekonomis dan jender harus dipertimbangkan. (photo Achmad Yakub/Bina Desa)

DENPASAR, BINADESA.ORG- Salah satu agenda yang tercantum dalam Nawacita adalah pelaksanaan reforma agraria. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla kemudian mengeluarkan Perpres No. 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 (ditetapkan Mei 2016).

Setidaknya ada 5 program prioritas terkait Reforma Agraria; Pertama, Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria; Kedua,  Penataan penguasaan dan pemilikan tanah objek reforma agraria (TORA); Ketiga, Kepastian hukum dan legalisasi hak atas TORA; Keempat, Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas TORA; dan Kelima, Kelembagaan pelaksanaan Reforma Agraria Pusat dan Daerah.

Maksud dari pelaksanaan RA ini dikemukakan oleh pemerintah ada beberapa tujuan, yakni mengurangi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah, menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan ketahanan pangan. Selain itu juga untuk menyelesaikan konflik agraria, memberikan akses masyarakat kepada sumber ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja.

Dalam pelaksanaan Reforma Agraria, Pemerintah menggunakan dua strategi. Pertama target pencapaian 9 juta hektar  melalui dua skema yakni legalisasi asset dan redistribusi tanah dengan luasan masing-masing 4,5 juta ha. Kedua target pencapaian 12,7 juta ha untuk alokasi Perhutanan sosial dengan berbagai bentuknya seperti Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan, (HKm), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) serta lainnya. Kedua strategi inilah menurut gerakan Reforma Agraria berpotensi pencapaiannya tidak sesuai dari tujuan pelaksanaan reforma agraria

Untuk memastikan Reforma Agraria sesuai amanat kosntitusi dan UUPA 1960, Bina Desa bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggelar konsolidasi Pelaksanaan Reforma Agraria di Denpasar pertengahan Juli 2017. Acara ini dihadiri oleh kalangan organisasi petani, ornop, pemerintahan dan kelompok tani. Terlihat para pimpinan organisasi tani seperti Muhammad Nuruddin (API), Agusdin Pulungan (WAMTI), Ahmad Sofyan dan Faisol (SPU), Nadia (APPI), serta ornop yang diwakili Dewi Kartika (Sekjen KPA), Iwan Nurdin (Ketua DN KPA), Dwi Astuti (Bina Desa), Tri Chandra (Pokja RA Kemendesa), Indra dan Wayan (KPA Bali), Soetrisno Kusumohadi dan Suwarto Adi (Pembina Bina Desa), Eko Cahyono (Sains) , Gunawan (IHCS) beserta perwakilan lainnya.

Dalam Pembukaannya Soetrisno dan Suwarto menyampaikan bahwa Reforma Agraria (RA) di Indonesia, dibutuhkan pendekatan yang holistik-sistematis. Artinya, berbagai pendekatan, seperti sejarah, sosiologis, politik, ekonomis dan jender harus dipertimbangkan. Mengapa harus begitu? Sebab, persoalan RA ini sudah mencakup dan meliputi beberapa generasi, dan seringkali melibatkan hal yang cukup sensitif, yang menguak luka sejarah masa lalu. Hal terakhir ini tidak cukup mudah dilakukan.

Melihat komitmen pemerintah sekarang, walau praktiknya relatif sulit, kita berharap proses yang puluhan tahun membelit kaum tani Indonesia, secara perlahan bisa mulai menapaki jalan lapang. Secara legal-normatif, sebenarnya jalan menuju kesejahteraan petani melalui RA sudah tersedia. Namun, sekali lagi, praktiknya tidak mudah untuk dilakukan.

Konflik Agraria yang mendalam dan menahun perlu dicarikan solusi yang tepat dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria (Photo Warga Desa Mulya Jaya, Oku Timur)

Kenyataan Lapangan ditengah Pelaksanaan RA

Pengalaman Organisasi tani seperti Aliansi Petani Indonesia (API) dan Wahana Tani Nelayan Indonesia (WAMTI) dalam penguatan koperasi tani menhadapi persoalan kelembagaan yang serius. Kondisi sosial petani yang selama ini dibuat bergantung diluar petani, peran tengkulak,organisasi berbasis proyek dan lainnya menjadi salah satu tantangan. Secara regulasi kelembagaan tani sudah ada. Gunawan, IHCS menyebutkan bahwa UU Perlindungan dan pemberdayaan Petani merupakan salah satu instrument legal bagi penguatan kelembagaan tani dan distribusi tanah, 2 ha per keluarga.

Eko Cahyono, Sains menyoroti mengenai penyelesaian konflik agraria yang berlarut, karena pendekatannya adalah teknokratik, tanpa membongkar sumber-sumber konflik sesungguhnya. Senada dengan itu Dewi Kartika mengkritisi pelaksanaan RA sekarang ini masih terjebak pada mengejar target sertipikasi, harusnya penyelesaian konflik dan distribusi tanah yang dikuatkan. Belum lagi strategi perhutanan sosial yang bukan RA dipaksakan.

Konsolidasi gerakan refroma agraria ini juga digenapi secara tegas oleh Dwi Astuti, Bina Desa terkait dengan peran perempuan dan keadilan jender. Selama ini isu keadilan jender dianggap formalistik saja, kita harapkan secara substantif dan praktis, semenjak dari perencanaan.

Isu-isu lainnya muncul dikomunitas adalah persoalan konflik warga desa dengan Perhutani, yang telah mengakibatkan kerusakan sosial, ekonomi dan psikis masyarakat karena berlarut-larut. Seeperti disampaikan oleh Indra (KPA Bali)  kejadian di Desa Sumberkalmpok, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali hingga kini belum kunjung selesai.  Bahkan arah penyelesaiannya menjadi semakin tidak jelas. hasil expose internal BPN atas status tanah Sumberklampok menyatakan bahwa tanah itu merupakan aset pemprov, meskipun diakui bahwa sertifikat hak pengelolaan (HPL) tanah tersebut atas nama pemprov hingga saat ini belum ada.  Pernyataan ini sekali lagi mendukung pernyataan sepihak Gubernur Bali, yang mengklaim tanpa asal usul yang jelas bahwa tanah 624 ha yang ditempati 696 KK sejak tahun 1992 itu merupakan tanah asset pemprov.  Hal ini akan mencerabut hak dan akses warga atas tanah sumberklampok yang sudah ditempati dan digarap warga sejak 1922.

Terakhir, Sebagaimana tujuan RA, mewujudkan keadilan dalam hal kepemilikan dan penguasaan adalah menjadi pokok utama. Demikian juga soal penyelesaian konflik agraria serta model produksi dan kelembagaan ekonomi koperasi yang berdimensikan sosial ekologis serta kesetaraan gender. Dua hal terakhir, yakni penyelesaian konflik dan sosial ekologis serta kesetaraan gender sepertinya perlu kerja khusus. Demikian juga terkait kewenangan dan pengakuan dari Desa sejak adanya UU Desa, haruslah masuk dalam agenda pelaksanaan RA di desa. Bukan sekedar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat desa saja, namun menentukan bagaimana desa menjadi unit pelaksana RA. (bd018)

Scroll to Top