“Liberalisasi ala MEA akan menjadi boomerang bagi Indonesia. Indonesia akan keteteran lagi sepeti pada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA).” Hendry Saparini__ekonom.
Masyarakat Ekononomi ASEAN (MEA) yang sudah dicanangkan di Singapuran sejak 2007 akhirnya menjadi salah satu agenda dan rekomendasi terpenting yang dihasilkan dalam KTT Asean ke-18 di Jakarta. Negara-negara Asean harus mengupayakan dan taat pada cetak biru”liberalisasi”ekonomi dan perdagangan ala MEA yang ditargetkan pada 2015 dengan massifnya lalu lintas barang investasi dan migrasi pekerja yang layaknya ada di dalam satu Negara. Trans-nasionalisasi dan liberalisasi ekonomi adalah haluan utama yang dianut Negara-negara Asean. Bagaimana dengan Indonesia?
Salah satu dari sepuluh kesepakatan hasil pertemuan petinggi Negara-negara ASEAN di Jakarta beberapa pecan yang lalu adalah persoalan ekonomi kawasan khususnya terkait persoalan pangan, energy dan perubahan iklim. Presiden Susilo Yudhoyono dalam pidato penutupan pertemua ASEAN menyatakan, “persoalan ketahanan pangan dan energi. Para leader ASEAN merasakan pada tingkat dunia terdapat gejolak harga pangan dan minyak bumi dengan volatilitas tinggi. Bahkan dalam waktu 6 bulan terakhir harga pangan dan minyak bumi naik sistematis. Ini tentu memberikan dampak tidak baik bagi upaya meningkatkan kesejahteran rakyat. Kenaikan harga pangan yang terus melambung langsung atau tidak akan meningkatkan jumlah kemiskinan masyarakat. Para pemimpin ASEAN sepakat untuk melakukan kerjasama regional menghadapi ancaman kecukupan pangan, terutama harganya, dan ketahanan energi. ASEAN sepakat untuk meningkatkan produksi pangan dan membangun cadangan beras pada tingkat regional. Selain itu, meningkatkan kerjasama di bidang research and development agar produksi pangan ditingkatkan. Kerjasama ASEAN dengan ASEAN + 3 juga ditingkatkan dalam membangun cadangan pangan pada tingkat kawasan yang luas. Di bidang energi, ASEAN sepakat mengembangkan energi terbarukan.” Papar SBY.
Selain itu, dalam pidatonya Presiden juga menyebut pentingnya Konektivitas ASEAN sebagai salah satu hasil kesepakatan “Pemimpin ASEAN menyadari tujuan pembangunan konektivitas ASEAN harus segera diwujudkan. Oleh karena itu, master plan yang berkaitan dengan ASEAN Connectivity disepakati harus ditindaklanjuti sehingga semua negara mampu membangun konektivitas regional. Konektivitas itu dilakukan dengan membangun infrastruktur, transportasi, telekomunikasi, dan people to people contact.”
Menyikapi hal itu, pengamat ekonomi-politik dari IHCS, Gunawan, menyebut Asean kini telah berkembang menjadi masyarakat keamanan, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sosial budaya. Ketiganya tersebut memerlukan Asean sebagai ‘komunitas demokratik’ supaya stabilitas dan hubungan harmonis kawasan tetap terpelihara. “Hubungan demokratik tersebut harus berlangsung baik di level nasional atau demokratisasi di setiap negara, dalam regionalisme politik, ekonomi, budaya, sosial dan keamanan, maupun dalam Asean Plus.” Ujar Gunawan. “Artinya peran Amerika, Uni Eropa, Tiongkok, India, Korsel, Jepang dan Australia tidak boleh menjadi aktor dominan dan hegemonik di kawasan Asia Tenggara. “ tegasnya.
Kalau tidak, masih menurutnya, maka secara politik akan terjadi disharmoni, secara budaya akan terjadi benturan, secara sosial akan melemahkan solidaritas, secara keamanan akan terus terjadi instabilitas dan secara ekonomi akan terjadi kesenjangan. “Dan itu semualah yang terus memicu kemiskinan, terorisme, separatisme, sengketa perbatasan, pembajakan laut, illegal fishing, perdagangan manusia, dan kejahatan lintas negara lainnya.” Tegas sekjend IHCS tersebut.
Komunitas Demokratik; bukan liberalisasi.
Komunitas demokratik harus dimengerti bukannya liberalisasi. Tetapi bagaimana negara-negara asean memperjuangkan kepentingan nasional dan regionalnya bersumber dari partisipasi publik. Artinya negara adalah sang negosiator di level regional dan internasional tidak boleh melanggar hak-hak warga negara, khususnya kelompok rentan, yaitu buruh, tani, buruh migran, nelayan, dan masyarakat adat.
“Pembangunan alutsista tiap negara dan kehadiran pasukan asing tidak boleh mengakibatkan ketegangan kawasan. Cadangan pangan Asean harus bersumber dari produksi, penganekaragaman konsumsi dan kemampuan mendistribusi serta melindunginya dari spekulasi pasar. Kekayaan alam seharusnya menjadi sumberdaya produktif. Untuk itu diperlukan reforma agraria, perlindungan terhadap petani dan nelayan selaku produsen pangan, membatasi fundamentalisme pasar dan adaptasi perubahan iklim.” Papar Gunawan.
MEA dan Boomerang bagi Indonesia
Tujuan MEA adalah (1) menjadikan Asean melebihi stastus kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang hanya mengandalkan penurunan tariff eksport-import barang dan jasa. (2) meningkatkan mobilitas yang menjadi dasar utama bagi perkembangan ekonomi kawasan. (3) mempercepat liberalisasi keungan serta perdagangan, peningkatan infrastrukutur dan komunikasi, pengembangan transaksi electronic melalui e-ASEAN, dan lain-lain. Sementara yang menjadi sector prioritas adalah mobilitas sumberdaya manusia, pengakuan kualifikasi professional yang seragam, konsultasi ekonomi makro, dan kebijakan financial yang lebih erat. Tujuan dari semua itu adalah tercapainya pasar tunggal dan basis produksi. Namun sejauh ini Asean sendiri belum menentukan basis produksi yang akan dipilih.
Yang akan menjadi persoalan adalah industry pengelolan Indonesia sangat lamah. Apakah nantinya Indonesia akan sanggup berkonstribusi menjadi pengolah. Yang terjadi selama ini adalah Indonesia lebih dikenal sebagai penyedia energy dan bahan mentah.
Ekonom Hendri Saparani ketika diwawancarai Kompas menyatakan tanpa daya saing di Industri pengolahan, otomatis posisi Indonesia dalam basis produksi adalah penyedia energy dan bahan mentah. Artinya nilai tambah yang diperoleh akan sangat kecil.”Makanya aneh kalau Indonesia bagitu agresif mendorong MEA, sementara kesiapan belum memadai. “Kata Hendri Saparini. “liberalisasi ala MEA akan menjadi boomerang bagi Indonesia. Indonesia akan keteteran lagi sepeti pada Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA).” Imbuhnya. (pubin/bindes/sabiq carebesth/2011)