Bina Desa

Perempuan Di Tengah Pasungan Globalisasi

Globalisasi, neo liberalisme ekonomi, tidak hanya gagal membuktikan ‘utopia’ surgawi yang mereka janjikan. Janji keadilan dan kesejahteraan untuk semua melalui pasar bebas dan keadilan bagi semua melalui mekanisme pasar yang keuntungannya akan merembes sampai ke titik paling pinggir di mana ribuan manusia baik laki-laki dan perempuan di pedesaan kini gelimpungan sendiri dilumpur kemiskinan. Lebih dari itu, Globalisasi ekonomi malah telah merusak dan menghancurkan tatanan keadilan sosial, ekonomi dan budaya bangsa ini khususnya masyarakat desa dan terutama perempuan.

Perempuan makin terpinggirkan, kehilangan akses dan control, haknya dirampas dan kerja kerasnya makin di abaikan_walau untuk hal itu tidak sedikit kaum perempuan mengorbankan hampir semua dari hidup mereka, tak terkecuali nyawa, sabagaimana menimpa perempuan buruh migrant selama ini. Makin terpinggirkannya kelompok perempuan nampak jelas melihat fenomena migrasi/urbanisasi perempuan yang cukup tinggi, menempati jumlah terbesar yang angkanya terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1994 jumlah buruh migrant sebesar 175,187 terdiri dari 42,893 laki-laki dan 132,354 perempuan. Sedangkan pada tahun 2007, jumlah buruh migrant sebesar 696,746 terdiri dari 152,887 laki-laki dan 543,859 perempuan. Dalam kurun waktu 1994-2007, jumlah buruh migrant sebesar 5,624,097 terdiri dari 1,479,063 laki-laki dan 4,145,034 perempuan (lihat, www.BNP2TKI.org). Sebagian besar buruh migrant berasal dari desa-desa wilayah konflik agraria (Migrant Care, 2007), dan jumlahnya akan terus meningkat yang diproyeksikan akan mencapai 68 persen pada tahun 2025.  Bagaimana hal itu terjadi? Apa yang salah?

Berikut petikan wawancara Sabiq Carebesth dengan Direktur Ekskutif Bina Desa, Dwi Astuti, seorang perempuan yang teguh berdiri digaris yang memungkinkannya membela mereka yang lemah dan dipinggirkan, khususnya komunitas perempuan di pedesaan.

 

Bagaimana Ibu melihat fenomena Globalisasi selama ini? Apa akibat yang sudah ditimbulkan dari pembangunan yang berorientasi pasar dan mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan mereka yang lemah dan termarginalkan khususnya perempuan?

Selama lebih dari tiga dekade ini strategi pembangunan yang diterapkan untuk mensejahterakan rakyat adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Strategi yang diinspirasi oleh teori Rostow yang terkenal dengan karya klasiknya The Stages of Economic Growth yang  diyakini mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Paradigma ini makin keras bergema sejak IMF pada tahun 1980an mencanangkan poverty reduction and growth facility (PRGF) dalam bentuk program penyesuaian structural (SAPs) sebagai syarat berhutang bagi negara berkembang dan miskin. Pemerintah orde baru segera mengadopsinya sebagai strategi pembangunan melalui berbagai program dalam rangka merombak struktur melalui deregulasi.

Revolusi Hijau misalnya, opini tentang keberhasilan revolusi hijau selama ini hanya dilihat dari kemampuan revolusi hijau dalam mendongkrak produksi beras namun bagaimana proses implementasi program revolusi hijau yang sarat dengan kekerasan, tersingkirnya perempuan dari pangan dan pertanian, ketergantungan petani pada input pabrikan, hilangnya kearifan lokal dan keanekaragaman hayati serta hancurnya lingkungan tak dihitung sebagai biaya sosial yang harus ditanggung dari revolusi hijau ini. Tak hanya sampai disitu, ketika revolusi hijau menuai banyak kritikan, lahir model baru dalam pengelolaan pertanian namun basis pemikiran tetap; petani sebagai buruh industri pertanian melalui corporate farming. Selain menjadi buruh, kepemilikan petani atas lahan menjadi sangat rentan karena bukti kepemilikan tanahnya dijadikan sebagai agunan oleh corporate untuk mencari pinjaman uang kepada bank sebagai modal usahanya.

 

Lalu bagaimana anda melihat kondisi perempuan ditengah liberalisme seperti sekarang ini?

Dalam  asuhan pasar bebas (neoliberalisme) seperti sekarang dimana negara menjadi kepanjangan tangan pasar maka secara struktural perempuan tetap ditempatkan sebagai makhluk domestik dengan peran reproduktifnya. Dengan ini, maka kemampuan kerja, kesuburan dan seksualitas perempuan dapat dikontrol oleh pemilik modal melalui negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Demi pertumbuhan ekonomi pula perempuan dibutuhkan sebagai konsumen produk industri agar perminataan terus meningkat.

Pertumbuhan ekonomi yang berazaskan pasar bebas (Neoliberalisme) yang mempercayakan pengambilan keputusan pada pasar memandang perempuan sebagai tenaga reproduktif yang tak memiliki nilai ekonomis dan ditempatkan pada wilayah kerja domestic. Dengan cara pandang ini perempuan pedesaan seringkali dilupakan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian berbagai kegiatan di desa karena dianggap tidak memiliki kemampuan pikir yang memadai tentang desa dan pertanian. Perempuan pedesaan juga mengalami penindasan secara berlapis; perempuan tani seringkali mengalami kekerasan dalam bentuk pemaksaan menggunakan benih/pupuk/pestisida tertentu buatan pabrik serta menggantikan peran mereka dengan teknologi baru atau mesin yang dirancang tidak untuk perempuan.  Sementara perempuan nelayan hingga kini belum diakui eksistensinya karena definisi nelayan hanya dibatasi pada “orang yang mencari ikan dilaut”-yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Dengan definisi ini maka perempuan yang bekerja mencari nafkah di pesisir, memperbaiki alat tangkap, mengolah ikan pasca turun dari perahu dan menjual ke pasar luput dari definisi ini. Bahkan pada saat persiapan melaut, perempuanlah yang bertanggungjawab menyiapkan seluruh keperluan logistik meskipun dengan cara mengutang. Perempuan juga menjadi penanggungjawab tunggal keluarga saat suaminya pergi melaut.

 

Apa akibat dari Budaya patriarkhi yang selama ini dinilai turut menyumbang atas langgengnya ketidakadilan pada kelompok perempuan?

Budaya patriarki yang masih kuat di perdesaan menjadi tiang yang kokoh untuk menjamin misi ini berjalan. Dengan cara pandang seperti inilah kaum perempuan biasanya memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk mencari nafkah dibanding dengan laki-laki yang dianggap sebagai tenaga kerja produktif (Male Preserve Job). Meskipun perempuan terlibat aktif di sektor agraria dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk itu, namun pekerjaannya tetap dinilai sebagai pekerjaan reproduktif. Meskipun perempuan mengerjakan lebih banyak pekerjaan dan waktu dibandingkan laki-laki tetap saja dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Dengan dalih ini perempuan diberi upah lebih rendah bahkan dibanyak wilayah upahnya hanya separuh dari upah laki-laki.

 

Kelompok perempuan makin termarginalkan dan terasingkan dari akses dan kontrolnya atas sumberdaya akibat Globalisasi yang merangsek melalui korporasi pangan dan pertanian seperti sekarang, yang lebih parah mereka pun harus terpinggirkan dari dinamika kerja, dan secara politis hal itu berakibat pada dimandekkannya dialektika kerja kelompok perempuan dalam ruang-ruang sejarah. Bagaimana anda melihat hal itu?

Perempuan pedesaan yang semula menjadi tulang punggung pengelolaan agraria dengan pengalaman dan pengetahuannya dalam memproduksi pangan secara berkelanjutan harus tergusur dalam model pembangunan seperti ini. Mereka tak lagi dapat berkerja di sawah karena seluruh kebutuhan bertani telah dicukupi oleh industri pertanian dengan tenaga kerja lak-laki. Warga pedesaan banyak yang kehilangan mata pencahariannya karena terjadi konsentrasi kepemilikan lahan oleh pemilik modal. Struktur penguasaan tanah bergeser yang semula sebagai pemilik tanah berubah menjadi buruh (ditanahnya sendiri). Bagi perempuan yang dibebani peran gender kondisi ini makin mempersempit ruang geraknya sehingga pilihan yang paling mungkin dan seringkali diambil adalah menjadi buruh murah di kota atau keluar negeri yang rentan terhadap kekerasan.

Lalu yang lebih parah, saya melihat bahwa selama ini diskriminasi terhadap perempuan ini justeru makin dilanggengkan dalam masyarakat melalui kelembagaan-kelembagaan desa yang tidak memberikan tempat kepada perempuan untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Keanggotaan dalam organisasi/kelompok berdasarkan kepala keluarga telah secara serta merta membatasi perempuan untuk terlibat dalam organisasi karena kepala keluarga adalah laki-laki.

 

Kenapa hal itu terus terjadi?

Ada dua hal yang seringkali menjadi alasan untuk tetap mendiskriminasi perempuan; pertama, perempuan dianggap tidak pernah menghasilkan sesuatu yang hebat dan; yang Kedua: perempuan tidak pernah dihalangi untuk mengembangkan kepribadian feminin yang agung.

 

Puluhan tahun Ibu aktif terlibat dalam gerakan sosial khususnya untuk gerakan keadilan agraria, anti Globalisasi, dan keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan khususnya, bagaimana Ibu melihat kondisi kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan dalam gerakan sosial selama ini?

Di kalangan gerakan sosial sendiri perempuan kurang mendapat pengakuan atau tidak dicatat dalam gerakan memperjuangkan keadilan  agraria. Keikutsertaan dan sumbangan pikirannya dalam berbagai aktivitas persiapan, lobi dan aksi mobolisasi seringkali dianggap sebagai kewajaran istri yang harus turut kemanapun suaminya pergi, dan sepulang dari aktivitas tersebut perempuan harus tetap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepadanya. Demikian juga dengan peran sebagai penyedia logistik ketika berbagai rangkaian aktivitas tersebut berlangsung tidak dilihat sebagai kontribusi dalam gerakan tapi danggap sebagai pekerjaan yang lumrah dilakukan sebagai pekerja domestik.

 

Apa harapan Ibu?

Saya sangat berharap dalam konteks ini agar pembaruan perdesaan dan pembaruan agrarian sejati yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat harus mengintegrasikan perspektif keadilan bagi laki-laki dan perempuan agar perempuan sebagai manusia juga menikmati kesejahteraan bersama dengan laki-laki. Hanya dengan perombakan struktur kewenangan desa dan struktur agraria yang menghargai dan mengakui hak perempuan maka masyarakat yang sejahtera dan bermartabat akan terwujud. Dengan perspektif ini maka kita telah melakukan perlawanan sejati terhadap neoliberalisme.***

 

Scroll to Top