
Sigi – Komunitas Swabina Pedesaan (KSP) Sangurara bersama berbagai komunitas dan organisasi masyarakat sipil di Kabupaten Sigi menyelenggarakan Musyawarah dan Konsolidasi Advokasi Pertanian Alami. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi langkah awal membangun payung advokasi kebijakan pertanian alami di tingkat kabupaten.
Pertanian alami yang selama ini tumbuh dari inisiatif petani dan komunitas membutuhkan dukungan kebijakan yang nyata dari pemerintah, baik di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Karena itu, forum ini diadakan untuk mendorong adanya rekognisi dan pengakuan yang lebih luas terhadap pertanian alami dalam sistem pertanian daerah. Kegiatan ini juga menjadi momentum penting bagi KSP Sangurara untuk memperluas dan memperkuat jejaring di lintas desa dan kecamatan, serta membangun sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan.

Krisis Air dan Kerusakan Irigasi Jadi Sorotan
Selama forum berlangsung, sejumlah persoalan mendesak diangkat sebagai bahan refleksi dan diskusi bersama. Salah satunya adalah krisis air yang terus membayangi petani Sigi setiap musim kemarau tiba. Kekeringan berkepanjangan membuat banyak lahan pertanian gagal panen, bahkan tak lagi bisa ditanami.
Ditambah lagi, dampak dari bencana gempa bumi yang pernah mengguncang Sigi masih terasa hingga kini. Banyak saluran irigasi rusak parah dan belum sepenuhnya pulih. Sejumlah lahan yang dahulu subur kini tak lagi produktif. Sebagian petani bahkan terpaksa menjual lahannya karena tidak mampu mengelolanya, memicu alih fungsi lahan yang mengancam keberlanjutan pertanian lokal.
Tantangan Pupuk dan Ketergantungan pada Input Kimia
Masalah lain yang mencuat adalah sulitnya petani mendapatkan pupuk, baik pupuk kimia maupun pupuk organik. Sistem distribusi yang terbatas dan jatah yang minim membuat sebagian petani tak bisa mengakses pupuk sesuai kebutuhan. Harga yang tinggi membuat sebagian petani memilih mengalihkan jatah mereka kepada petani lain yang lebih mampu, karena takut jatahnya hangus jika tidak dibeli tepat waktu.
Sementara itu, penggunaan bahan kimia yang berkepanjangan juga menyebabkan ketergantungan dan memunculkan hama serta penyakit tanaman yang semakin kebal. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi petani yang ingin beralih ke sistem pertanian alami, tetapi masih kesulitan mengendalikan hama dengan cara-cara ramah lingkungan.

Dukungan untuk Kebijakan Pertanian Alami
Dalam sesi musyawarah, Ketua BPD dari Desa Pombewe Ningsih menyatakan dukungannya terhadap inisiatif pertanian alami sebagai bentuk kemandirian petani. Menurutnya, sudah saatnya ada kebijakan daerah yang mendorong dan melindungi hak-hak petani, termasuk hak untuk memilih sistem pertanian yang tidak tergantung pada input luar yang mahal dan merusak.
“Selama ini, petani sering kali diposisikan di urutan paling bawah dalam prioritas kebijakan. Kami berharap melalui pertanian alami, petani bisa mandiri, terlindungi haknya, dan mendapatkan insentif yang layak. Sehingga mereka bisa mengelola lahannya dengan tenang, tanpa ketakutan akan gagal panen atau kehilangan akses atas sumber daya,” ujarnya.
Selain beberapa isu di atas, sejumlah isu lain juga mengemuka dan dilakukan pembahasan mendalam oleh peserta, diantaranya lemahnya pengakuan terhadap perempuan petani, alih fungsi lahan pertanian, rantai distribusi yang tidak efisien. Dan tidak ketinggalan isu maraknya kasus pencurian hasil pertanian di lahan.
Musyawarah dan Konsolidasi Advokasi Pertanian Alami ini menjadi langkah awal yang penting. Ia membuka jalan menuju kebijakan yang berpihak pada petani, berangkat dari akar rumput, dan menjadikan pertanian bukan sekadar sektor produksi, tetapi sebagai cara hidup yang berkelanjutan dan bermartabat. (Dona)