Bina Desa

Laut yang Tak Lagi Ramah: Getirnya Perempuan Pesisir Jeneponto dalam Bayang-Bayang Industri Tambak Udang

Jeneponto, Sulawesi Selatan – “Dulu laut memberi hidup, sekarang laut berubah. Airnya seperti kecap, rumput laut kami memutih, membusuk, dan gagal panen. Tapi siapa peduli?” ujar Syamsiah, seorang petani rumput laut dari Desa Arungkeke, dengan mata berkaca-kaca.

Pernyataan itu bukan keluhan biasa. Itu adalah jeritan dari perempuan pesisir yang merasa diabaikan oleh negara dan dijepit oleh industri. Ia menjadi satu dari puluhan perempuan yang hadir dalam Diskusi Publik Hasil FPAR (Feminist Participatory Action Research) yang digelar Komunitas Perempuan Nelayan Sipitanggari (KPNS), bersama Bina Desa dan JPP Nusantara, di Jeneponto, Sulawesi Selatan, melalui daring (dalam jaringan) dengan tema Diskusi Publik: Revolusi Biru: Peluang atau Petaka – Studi Kasus Kabupaten Jeneponto. Yang diselenggarakan pada 28 April 2025 lalu.

Diskusi ini menjadi ruang yang langka: tempat perempuan pesisir bisa menyuarakan pengalaman, keresahan, dan tuntutan mereka—langsung di hadapan perwakilan pemerintah dari Kementrian Kelautan dan Perikanan RI yang diwakilkan oleh Ujang Komarudin, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Fery Kurniawan, OMS (organisasi masyarakat sipil) KIARA Susan Herawati dan komunitas nelayan yang hadir saat itu.

Suci Ramdani selaku peneliti dari Komunitas Perempuan Nelayan Sipitangeri (KPNS) memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama para perempuan nelayan di tiga desa pesisir Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto: Desa Palajau, Desa Arungkeke, dan Desa Arungkeke Palantikang.

Suci menjelaskan bahwa riset ini menggunakan pendekatan Feminist Participatory Action Research (FPAR), yang dirancang untuk memastikan keterlibatan aktif perempuan sebagai subjek utama dalam proses pengumpulan data, analisis, dan penyusunan strategi perubahan. Riset ini dilaksanakan sejak November 2023 hingga Desember 2024, dengan fokus utama untuk memahami tantangan yang dihadapi perempuan nelayan dalam menjaga sumber-sumber penghidupan mereka.

Hasil riset menunjukkan dua temuan utama:

  1. Pencemaran lingkungan laut akibat ekspansi tambak udang milik perusahaan skala besar.
    Limbah dari tambak udang tersebut terbukti menyebabkan penurunan kualitas air laut, yang berdampak langsung terhadap keberhasilan budidaya rumput laut. Para petani, khususnya perempuan, melaporkan bahwa rumput laut menjadi rusak: berubah warna, berlendir, dan tidak layak jual. Penurunan produksi ini berakibat langsung pada anjloknya pendapatan rumah tangga nelayan.
  2. Peminggiran peran perempuan nelayan secara struktural.
    Meskipun perempuan terlibat penuh dalam seluruh tahapan budidaya rumput laut, mulai dari pembibitan, perawatan, hingga penjualan hasil panen, mereka tidak pernah diakui secara resmi sebagai nelayan. Akibatnya, perempuan kehilangan akses terhadap jaminan sosial, pelatihan, bantuan pemerintah, dan berbagai bentuk pengakuan lainnya. Lebih jauh, dominasi budaya patriarki dalam masyarakat menyebabkan suara perempuan cenderung diabaikan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut ruang hidup mereka.

Suci menegaskan bahwa beban krisis ini secara tidak proporsional ditanggung oleh perempuan. Ketika gagal panen terjadi, laki-laki dalam keluarga banyak yang memilih merantau untuk mencari kerja ke kota. Sementara itu, perempuan tetap tinggal di desa, harus meminjam uang untuk modal, menanggung utang konsumsi, mengurus rumah tangga, menjadi buruh rumput laut, sekaligus mencari penghasilan tambahan seperti menjual kue. Fenomena ini memperlihatkan beban ganda dan kerentanan struktural yang dihadapi perempuan nelayan.

Riset ini juga memperlihatkan bahwa rumput laut bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan bagian dari identitas sosial-budaya perempuan pesisir. Hilangnya produktivitas rumput laut berarti hilangnya ruang hidup, kehilangan komunitas, dan terputusnya rantai ekonomi keluarga yang sudah mereka bangun secara turun-temurun.

Dalam konteks ekonomi biru yang digadang-gadang oleh negara sebagai solusi pembangunan kelautan, temuan riset ini menunjukkan adanya ketimpangan orientasi kebijakan. Alih-alih membawa kesejahteraan, ekonomi biru dalam bentuk ekspansi tambak udang justru menciptakan kerusakan ekologi dan sosial yang signifikan. Perempuan nelayan menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak, yang lebih mengutamakan investasi skala besar dibanding keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal.

Suci menyatakan bahwa pendekatan FPAR memberikan ruang bagi perempuan nelayan untuk tidak hanya menjadi penerima dampak, tetapi juga sebagai pengambil keputusan dan agen perubahan. Dalam proses riset ini, perempuan diajak untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis akar penyebab, serta merumuskan strategi perubahan secara kolektif. Proses ini tidak hanya membangun kesadaran kritis, tetapi juga memperkuat kapasitas mereka untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan hak-haknya secara terorganisir.

Dari Kehidupan Laut ke Jerat Utang

“Dulu kami panen rumput laut sampai bisa simpan uang. Sekarang kami utang ke koperasi mingguan, ke tetangga, ke pengepul,” kata Kasmawati, Ketua KPNS yang juga fasilitator riset komunitas ini. “Kami sudah tanam bibit baru, pindah lokasi, tapi lautnya tetap rusak. Limbah tambak udang terus dibuang ke laut kami. Tapi kami yang dituduh merusak.”

Melalui pendekatan FPAR, KPNS memetakan sendiri kerusakan lingkungan, dampak sosial, dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Salah satu temuannya adalah bahwa perusahaan tambak membuang limbah langsung ke perairan budidaya rumput laut, menyebabkan pencemaran berat. Namun ketika warga protes, mereka justru dikriminalisasi.

Negara Absen, Masyarakat Dituduh Tak Punya Data

Diskusi memanas ketika perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ujang Komarudin, menyatakan bahwa laporan pencemaran harus disertai bukti ilmiah.

“Kami sangat terbuka terhadap laporan masyarakat, tapi harus ada data empiris. Kami tidak bisa melakukan pengawasan langsung, karena itu kewenangan direktorat lain,” ujar Ujang.

Pernyataan ini memicu respons keras dari peserta dan penanggap.

“Pak Ujang minta data, tapi siapa yang punya alat uji air di kampung? Kami tahu laut berubah dari warna air, dari rumput laut kami yang mati,” ujar Kasmawati. “Jangan terus rakyat dibebani membuktikan. Negara di mana?”

Tambak Udang: Solusi atau Bencana Berulang?

Kritik tajam juga datang dari Esra Dwi, mantan petambak udang di Dipasena yang kini beralih menanam padi.

“Kami dulu percaya tambak udang bisa membawa kesejahteraan. Tapi semua bohong. Setelah panen pertama, yang ada hanya utang, penyakit, dan air limbah. IPAL tidak jalan. Akhirnya kami tinggalkan tambak, kami tanam padi,” katanya.

Sementara itu, Danil, peserta dari Karimun Jawa, juga menyatakan hal yang sama bahwa, tambak udang membuat petani rumput laut tidak bisa menanam. Mulai mengganti bibiti, menanam agak jauh juga tidak dapat menghasilkan rumput laut, yang ada gagal terus.  Setelah tidak ada tambak di wilayah itu, masyarakat dapat menanam kembali rumput lautnya dan itu tumbuh. Ini membuktikan bahwa keberadaan tambak udang, limbah yang dibuang ke perairan laut menyebabkan masalah yang serius. Selain itu, masalahnya, adalah masyarakat tidak pernah diajak bicara sejak awal.”

Respon Akademisi dan Masyarakat Sipil: “Ini Bukan Soal Teknik, Ini Soal Politik”

Fery Kurniawan, akademisi dari IPB University, mengatakan bahwa pengetahuan komunitas harus dihargai.

“Kalau negara hanya percaya pada data laboratorium dan menafikan pengalaman hidup warga, maka kita gagal membangun ilmu yang berpihak,” ujarnya.

Ia mendorong adanya sistem pemantauan partisipatif agar masyarakat bisa menguatkan advokasinya dengan data sederhana.

Sementara itu, Susan Herawati dari KIARA menyebut bahwa negara selama ini mengkhianati komunitas pesisir.

“Tambak udang skala besar adalah tambang air asin. Di mana-mana dia merusak. Tapi kenapa negara terus mendukung? Karena negara tunduk pada investasi, bukan pada rakyat,” kata Susan. “Warga yang melindungi laut ditangkap. Tapi investor yang merusak dibiarkan. Ini bukan soal teknis, ini soal politik keberpihakan.”

Tantangan Ke Depan: Menata Ulang Arah Pembangunan Pesisir

Diskusi publik ini membuka fakta bahwa masyarakat pesisir, khususnya perempuan, selama ini dibiarkan berjuang sendiri menghadapi limbah, gagal panen, kriminalisasi, dan kebijakan yang tidak pernah mereka libatkan.

“Kami perempuan pesisir bukan korban pasif. Kami tahu apa yang rusak, kami tahu apa yang harus diubah. Tapi kami butuh negara mendengar,” kata Kasmawati menutup sesi.

Apa yang terjadi di Jeneponto bukan kasus tunggal. Di seluruh Indonesia, dari Lampung hingga Karimun Jawa, komunitas pesisir menghadapi tekanan serupa: ruang hidup mereka menyempit, laut tercemar, dan suara mereka tak dihiraukan.

Diskusi ini menyisakan satu pertanyaan penting: sampai kapan negara akan lebih percaya pada korporasi dibanding rakyatnya sendiri?


Penulis: Dona

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top