Kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Kebijakan yang ada juga tidak mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan nasional, tetapi lebih ke arah politik pencitraan dengan adanya kebijakan bebas bea masuk pangan impor, konversi lahan berorientasi industri, dan tiadanya perlindungan pada petani kecil. Petani kecil pun bisa dipastikan makin terpuruk karena pemerintah UU No 41/2009 memutuskan hanya melindungi lahan pertanian pangan dengan luas hamparan lahan minimal 5 hektar dari alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lalu bagaimana dengan petani di sini yang rata-rata adalah gurem dengan kepemilikan lahan dibawah 2 hektar?
Dalam hal ini pemerintah dinilai sangat tidak cerdas dan cenderung untuk kepentingan sesaat dengan melakukan kebijakan pangan murah dan bebas bea masuk pangan impor serta membiarkan konversi lahan terjadi atas nama pembangunan. “Banyak kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor,” ujar penulis buku “Rakyat tani Miskin: Korban Terorisme Pembangunan Nasional” Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz dalam diskusi ringan di Kantor Bina Desa, Jakarta (9/12)
Selain itu, menurut Prof. Maksum, pemerintah juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah China yang memberikan kebijakan pertanian pro rakyat. “Untuk bisnis unggas saja, di negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk melindungi petaninya,” imbuhnya.
Kebijakan industrialisasi yang tidak pro pertanian ini, menurut Prof. Maksum, menyebabkan sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.
“Ada tiga alasan mengapa bidang pertanian perlu untuk diproteksi dan diutamakan dan petaninya harus dilindungi. Pertama, pertanian adalah penyangga mayoritas kehidupan bangsa. Pertanian punya banyak peran penting dalam pembangunan perekonomian. Kedua, pangan tidak bisa kita sampingkan dalam kehidupan bangsa. Dan ketiga, bidang pertanian merupakan bidang penting dalam lapangan kerja.” Ujar Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz yang juga merupakan dewan Pembina Bina Desa.
Keunggulan sumber daya pertanian sangat banyak, dimana keunggulan komparatif kita ada di bidang pertanian. Tetapi lanjut Maksum, negara melupakan hal tersebut karena terbuai oleh industrialisasi. Sehingga kerapkali pemerintah hanya memprioritaskan keunggulan kompetitif non agro. Menurutnya, keunggulan kompetitif harusnya dibangun pada sektor yang memiliki keunggulan komparatif. “Industrialisasi bidang pertanian misalnya, jadinya kita tidak perlu ekspor barang mentah tetapi barang jadi,” terangnya.
Pemerintah pun seringkali menjadikan pertanian sebagai tumbal pembangunan perekonomian. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem klasifikasi Barang dan Pembebasan Tarif Bea Masuk atau Barang Impor untuk 57 pos tarif misalnya, dipastikan dapat merusak pasaran komoditas dalam negeri. Pemerintah mencananangkan swasembada tetapi membanjiri dengan barang impor. “Pemerintah membuka lebar-lebar pintu impor meskipun membunuh petani,” tandas Maksum.
Konversi lahan dan petani kecil yang tanpa perlindungan
Sampai saat ini, setiap tahun sekitar 110.000 hektar lahan pertanian dikonversi. Hilangnya 110.000 hektar lahan, setara dengan kehilangan produksi padi 550.000 ton gabah kering giling. Hal itu menjadi latar belakang pemerintah mengeluarkan UU No 41/2009 dengan tujuan untuk menekan laju alih fungsi lahan.
Sayangnya, implementasi kebijakan itu malah tidak menyentuh upaya perlindungan petani kecil karena pemerintah memutuskan hanya melindungi lahan pertanian pangan dengan luas hamparan lahan minimal 5 hektar dari alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Untuk petani yang tak masuk hamparan minimal, tetapi ingin lahannya dilindungi, ada mekanisme lain.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto, Senin (30/4), di Jakarta, sebagaimana dilansir harian Kompas, menyatakan, secara teknis sulit melakukan perlindungan di lahan pertanian pangan yang tidak berada dalam hamparan lahan dengan luasan minimal 5 hektar.
Meski demikian, Gatot yakin pemerintah daerah memiliki mekanisme sendiri dalam upayanya melindungi lahan pangan dari konversi. Gatot mengungkapkan, pada prinsipnya perlindungan lahan pertanian pangan dilakukan pada lahan pertanian pangan yang masuk dan ditetapkan dalam kawasan/lahan/cadangan pertanian pangan berkelanjutan.
Saat ditanya apakah dengan begitu, lahan pertanian pangan yang tidak masuk dalam luasan hamparan minimal dan petaninya tidak berkehendak mendapat perlindungan bisa dikonversi?
Gatot mengatakan, itu tidak masuk dalam lahan/kawasan/cadangan pertanian pangan yang dilindungi oleh pemerintah. Gatot menyatakan, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sama sekali menghentikan alih fungsi lahan. Alih fungsi masih bisa sepanjang untuk kepentingan umum yang ditetapkan pemerintah. Kalau alih fungsi dilakukan di lahan yang dilindungi, harus ada ganti rugi lahan, dengan mempertimbangkan tingkat produktivitas lahan yang dikonversi dan lahan pengganti. Apakah lahan pangan di bawah luas hamparan minimum juga masuk dalam kriteria tersebut, Gatot memastikan tidak.
Kementerian Pertanian, menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian No 7/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian pangan Berkelanjutan. Berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, dinyatakan bahwa semua lahan beririgasi dapat ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Begitu juga dengan lahan rawa pasang surut/lebak, dan lahan tidak beririgasi dengan mempertimbangkan besaran curah hujan tahunan minimal 1.000 milimeter.
Mengakomodasi industri
Sementara itu, dalam diskusi ”Mengenal Lebih Dekat UU Pangan Berkeadilan Gender” yang diadakan Solidaritas Perempuan, ditegaskan bahwa RUU Pangan yang tengah dibahas di Komisi IV DPR dianggap lebih mengakomodasi industri pangan skala besar. Padahal, esensi dari RUU tersebut seharusnya ditekankan pada prinsip kedaulatan pangan.
Hadir sebagai pembahas dalam diskusi ini yakni Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahidah Rustam dan perwakilan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Taufiqul Mujib.
Baik Wahidah maupun Taufiqul mempermasalahkan pemihakan RUU Pangan. RUU itu, kata Wahidah, tak melindungi industri pangan domestik. Penguasaan justru diberikan pada industri pangan skala besar. Akibatnya, kehidupan jutaan perempuan yang bergantung pada sektor informal pangan terancam.
Secara umum, RUU Pangan itu juga tidak berhasil mengangkat soal kedaulatan pangan. Padahal, hal ini yang penting terkait dengan kepentingan masyarakat banyak karena menyangkut akses pada sumber daya alam.
Inti dari RUU Pangan adalah tentang hak pangan warga negara dan tanggung jawab serta kewajiban negara untuk memenuhinya juga tidak mendapat penekanan. Akibatnya, kasus-kasus kekurangan pangan dan kekurangan gizi diprediksikan masih akan terus terjadi.
Menurut Taufiqul, kasus-kasus gizi buruk biasanya terjadi di wilayah dengan konflik agraria, yaitu ada perebutan antara petani atau nelayan dengan perusahaan besar. Akibatnya, tidak hanya kehilangan akses terhadap sumber daya, masyarakat pun jadi tak mampu membeli pangan.
”Kalau harga pangan tak terjangkau, masyarakat miskin menderita dan tidak terlindungi. Dan yang paling banyak terkorbankan biasanya perempuan,” kata Wahidah.
”Seharusnya pelanggaran hak atas pangan dapat digugat dan korban mendapat pemulihan hak,” kata Taufiqul. Menurut dia, UU No 7/1996 tentang Pangan seharusnya diubah total dalam RUU Pangan ini.**