Apakah UU Desa dapat mentransformasikan masyarakat desa ke dalam susunan masyarakat yang lebih sejahtera? Berdaya secara ekonomi dan otonom dalam mengatur wilayah kekuasaan dan kebudayaanya sendiri seperti substansi yang diharapkan?
Banyak kalangan menilai UU Desa akan mengakhiri “diskoneksi” dalam proses pembangunan dan distribusi kesejahteraan kepada masyarakat desa. UU Desa diklaim memberi ruang yang lebih otonom kepada Desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri, khususnya terkait Alokasi Dana Desa mencapai 1milyar per tahun untuk setiap desa.
Di tengah peluang yang dihadirkan UU Desa, kekhawatiran juga mencuat terutama pada bagaimana mengawal akuntabilitas dan proses politik di Desa. Kegugupan pada proses politik dan pengelolaan anggaran rentan berakibat konflik sosial sesama warga Desa sehingga harmoni sosial yang selama ini menopang musyawarah dan gotong royong di Desa bisa tumbang karena persoalan uang dan jabatan. Selain dana 1milyar, UU Desa juga melegitimasi (pasal 39) kepala desa boleh dipilih hingga tiga masa jabatan (18 tahun) sementara pada saat yang sama BPD tak punya kewenangan menurunkan kepala desa.
PARADIGMA
Desa mestinya dilihat sebagai satuan kekuatan penopang yang menentukan corak kebijakan nasional dalam ranah ekonomi politik dan siasat global, sehingga pembangunan Desa juga berarti pembaharuan pondasi ekonomi bangsa. Namun demikian paradigma UU Desa justru terkesan ingin memandang masyarakat desa sebagai yang menempati “posisi-antara” yaitu apa yang oleh tradisi Durkheimian disebut “part society with part culture” atau dalam istilah Redfield disebut sebagai “part segment” sehingga seolah-olah masyarakat desa harus dibawa dari ketradisionalannya kepada yang modern.
Jika orientasi pembangunan pedesaan diartikan mendorong masyarakat Desa pada modernitas dalam arti masyarakat Desa yang kian “kota” dan terintegrasi dengan sistem pasar dan sistem ekonomi pertumbuhan global, maka desa akan menjadi satu kesatuan masyarakat yang berperan dibidang politik dan ekonomi global. Desa dan perangkatnya akan menjadi fasilitator bagi sistem ekonomi pembangunan yang terglobalkan di bawah kendali kuasa modal supra desa. Siap?
Padahal masyarakat pedesaan kita sebagian besar masih hidup dengan sistem ekonomi yang khas (a specific type of economy) yang bertumpu pada mekanisme “usahatani keluarga.” (Wiradi, 2011). Sulit membayangkan bahwa keluarga petani harus berhadapan dengan “keluarga korporasi” tanpa sebelumnya ada program pembaharuan agraria yang menjamin transisi agraris menuju masyarakat demokratis dan berkeadilan sosial dapat berlangsung.
KRITIK
Kritik ditujukan pada bagaimana UU Desa mengabaikan soal kebudayaan dan kedaulatan pangan Desa yang sejatinya merupakan penopang utama modernisasi Desa. Pemberdayaan dan pembangunan Desa hanya berorientasi pada terutama kegiatan ekonomi dan jasa. Padahal di pedesaan, kebudayaan adalah instrumen utama penggerak kesadaran ekonomi mau pun kesadaran politik orang Desa.
Pengarusutamaan keadilan gender tampaknya juga sebatas pemanis. Tak ada yang substansial terkait nasib perempuan desa. Semantara itu pertanian yang merupakan basis produksi dan corak ekonomi utama masyarakat Desa juga tak tampak teragendekan secara khusus dan utama dalam UU Desa.
Kondisi itu tentu saja menunjukan bagaimana UU Desa tampak terburu-buru .Orientasi terutama pada perkara akes kekuasaan bagi Perangkat Desa dan politik anggaran Desa yang sejatinya hanya akan memperlancar dan memperkokoh aparatus pedesaan untuk menjadi fasilitator inti kepentingan ekonomi global.
Pasal 85 UU Desa menunjukan modernisasi desa hendak di arahkan kepada transformasi ekonomi liberal, Desa akan menjadi objek bagi investasi modal yang sumbernya dari luar desa bahkan mungkin dari dunia global. Soalnya adalah mau dikemanakan “masyarakat-tani” (peasantry) yang merupakan 90 persen penduduk Desa?
Masih ada kesempatan untuk memperbaiki orientasi pembangunan pedesaan dan modernitas masyarakat desa kepada model pembangunan yang lebih populis dan memberikan perlindungan pada hak ekslusif masyrakat Desa dalam mengelola sumberdaya budaya dan sumber daya agrarianya.
Akhirnya kebudayaan, pertanian dan dan keadilan gender adalah kunci utama bagi modernisasi desa yang sesungguhnya ketimbang semata-mata gelontoran anggaran—yang sejatinya sangat tergantung pada kehendak dan komitmen politik Negara.(SC)