Terutama sejak kesepakatan dari konsolidasi seluruh gerakan tani dan aktivis pembaruan agraria dalam Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk pembaruan Agraria dan Perlindungan serta Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani di Cibubur pada tahun 2000/2001, gerakan petani terus memperjuangkan pengakuan dunia internasional atas hak asasi petani. Hasilnya pada akhir 2012 lalu Sidang dewan PBB memenangkan promosi pengesahan Kovenan Hak Asasi Patani.
“Dewan Hak Asasi Manusia memutuskan resolusi atas dasar 80 persen dari orang yang menderita kelaparan ada di pedesaan dan 50 persennya adalah kaum tani. Petani juga secara historis menderita diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang khas. Melihat pelanggaran hak atas tanah dan teritori, di mana petani dan masyarakat adat digusur, terutama pada kasus perampasan tanah (land grabbing) yang mengemuka dewasa ini.” Demikian dikatakan Henry Saragih yang merupakan wakil Indonesia untuk mendorong perjuangan Hak Asasi Petani di Dewan HAM PBB. “Ada kebutuhan mutlak untuk instrumen internasional HAM baru yang khusus melindungi hak asasi manusia,” ungkap Henry.
Ironisnya, pemerintah Indonesia sendiri, dimana petaninya merupakan pengusung gagasan hak asasi petani di dunia internasional, justeru tampak lamban bahkan tak ambil perduli. Padahal pelanggaran hak asasi kemanusiaan yang di alami petani Indonesia jumlahnya sangat tinggi. Pelanggaran hak tersebut dari mulai kekurangan gizi, kelaparn sampai petani yang meninggal dunia akibat konflik agraria yang di akibatkan perampasan lahan milik petani.
Laporan yang dirilis oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, pada kururn sampai 2012 terjadi 144 kasus pelanggaran hak asasi petani. Kasus yang terdiri dari pelanggaran terhadap pasal 3 dan 4: sebanyak 120 kasus (103 kasus lama dan 17 kasus baru) serta 24 kasus yang melanggar pasal 5 hingga pasal 13 Deklarasi Hak Asasi Petani. Angka ini belum termasuk kasus gizi buruk, yang mana hingga bulan Desember 2011 tercatat 686 kasus gizi buruk.
Sementara itu KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pada 2011 mencatat terdapat 163 kasus konflik Agraria di seluruh Indonesia dengan korban 22 orang petani yang tewas di wilayah-wliayah sengketa agraria. Konflik agraria tersebut melibatkan lebih dari 69.975 kepala keluarga, dengan luasan lahan mencapai 472.048,44 Hektar.
Berbagai kasus kekerasan akibat konflik agraria yang sempat menyita perhatian publik ini seakan menguap begitu saja. Sebelumnya, Komnas HAM dan beberapa institusi pemerintah menyatakan komitmennya akan mengusut tuntas sejumlah kasus akibat konflik agraria. Bahkan, pemerintah secara khusus sempat membentuk tim khusus untuk menyelidikinya. “Namun sayang, semua komitmen lembaga-lembaga negara dan institusi pemerintah hanyalah isapan jempol belaka.” Ujar Gunawan.
Lebih parah lagi, masih menurut Gunawan, pemerintah bersama DPR RI justru aktif mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang melegalkan perampasan tanah rakyat. Terkini, Gunawan mencontohkan, Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Fakta tersebut menjadi harapan besar bagi petani sekaligus kebijakan pemerintah untuk bertindak aktif melindungi petani sebagaimana Konferensi Nasional tentang hak asasi petani telah menghasilkan naskah Deklarasi Hak Asasi Petani yang meliputi: (1) Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki petani; (2) Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak; (3) Hak atas Tanah dan Teritori; (4) Hak atas Benih, Pengetahuan dan Praktek Pertanian Tradisional; (5) Hak atas Permodalan dan Sarana Produksi Pertanian; (6) Hak atas Informasi dan Teknologi Pertanian; (7) Kebebasan untuk Menentukan Harga dan Pasar untuk Produksi Pertanian; (8) Hak atas Perlindungan Nilai-nilai Pertanian; (9) Hak atas Keanekaragaman Hayati; (10) Hak atas Pelestarian Lingkungan; (11) Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi; (12) Hak untuk Mendapatkan Akses terhadap Keadilan.
Sementara itu, sampai saat ini berdasarkan resolusi bernomor A/HRC/21/L.23 itu, Dewan HAM PBB memutuskan untuk membentuk kelompok kerja antarpemerintah untuk menyiapkan rancangan deklarasi hak asasi petani. “Deklarasi ini akan diformulasikan berdasarkan atas dokumen studi final Komite Penasihat Dewan HAM yang dirilis pada tahun 2012 lalu. Dokumen ini adalah kelanjutan dari Deklarasi Hak Asasi Petani, Laki-Laki dan Perempuan—hasil dari Konferensi Internasional Hak Asasi Petani di Jakarta pada tahun 2008.”
Hasil voting untuk resolusi ini adalah 23 ya, 15 abstain dan 9 tidak. Suara negatif datang dari sejumlah negara maju dari Uni Eropa (Austria, Belgia, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Rumania, Spanyol, Italia) dan Amerika Serikat. Kenapa? Anda tentu sudah memahami watak mereka.[]