Bina Desa

Konflik Agraria, Negara Kemana?

Reforma agraria adalah alas dari rencana apa pun yang hendak ditempuh Indonesia dalam pembangunanannya. Kalau pembangunan Indonesia tak kunjung menata sistem agrarianya, situasi konflik akan terus berlangsung dan kebijakan atas dunia agraria akan selalu rentan terhadap silang-singkurat dalam proses tarik ulur tiap-tiap kepentingan di dalamnya.

”Program Reforma Agraria……secara bertahap….akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini…Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat…(yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan”.  (Petikan Pidato Presiden SBY pada tanggal 31 Januari 2007)

Itulah janji manis pemerintah, sayang kita harus lebih sering mengecap pahit ketimbang manisnya. dalam tiga tahun konflik agraria terus meningkat. Sampai th 2012 saja, laporan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyebutkan telah terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.

Hendak kemana arah pembangunan di antara debat laten tanah, konflik dan keadilan?

Tidak sinerginya perencanaan, pembangunan dan faktor kekuasaan, yang tercermin pada misalnya lemahnya kelembagaan demokrasi negara terakit pelembagaan kesejahteraan rakyat secara riil seperti misalnya tidak adanya lagi lembaga atau komisi Agraria sebagaimana dulu dengan UU No.21 th 1974 ada Kementrian Agraria dan Peradilan Agraria/Land Reform sebelum dihapuskan melalui UU No. 7 th 1970 tentang penghapusan peradilan Land Reform, membuat negara agraris ini tampak cuek dengan sumberdaya agaraia mereka yang kaya melimpah dan memang rentan dengan konflik.

Semenjak itu kelembagaan yang ada saat ini cenderung lebih praktis dan teknis, sebutlah misalnya BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang hanya memiliki fungsi teknis dan administratif atas konflik agraria yang ada.

 

Antara Hidup Dan Mati

Melihat kondisi tersebut wajar kiranya bagi kalangan masyarakat agraris di pedesaan khususnya, upaya membicarakan “keadilan” sosial dalam bentuk kesejahteraan melalui hak atas tanah, dan kemudian keberlanjutan pangan, menjadi topik kemanusiaan yang akan terus bergulir sepanjang hayat diakandung badan, atau sepanjang kapitalisme yang serakah masih menjadi iman bagi masyarakat politik zaman modern yang juga, tanpa sadar, mengelami neurosis keadilan; suatu rasa yang menekan alam bawah sadar untuk memenuhi rasa tidak puas bagi diri sendiri atau kelompok masing-masing disebabkan kebudayaan kapitalistik yang akumulatif; serakah dan tidak pernah cukup, apalagi puas.

Kita telah belajar dari berbagai pengalaman dunia tentang agraria, keadilan akan sumberdaya agraria nyatanya paling mungkin dicapai dengan penataan ulang “sistem” pemilikian dan penguasaan sumberdaya agraria; baik hak yang ditanggungkan kepada negara, swasta atau kepada rakyat jelata, ketiganya dalam kaitan erat antara tanah, konflik dan keadilan_yang harus dikelola dengan rasa keadilan sosial yang tinggi berdasarkan hukum hak dan hukum kemanusiaan. Jika tidak, konflik akan terus berlangsung pada tahapan persoalan antara hidup dan mati; ‘Sedumuk batuk senyari bumi ditohi wutahing ludiro’.

 

Suara Rakyat

Rakyat telah menunjukan perannya, yaitu bersuara atas nama hak-hak mereka, rakyat sudah membuktikan bahwa mereka bukan panji-panji diam dari kebudayaan bisu; rakyat memang tak selalu bisa bersuara dengan retorika apik seperti kalangan elit, tapi rakyat jelas memiliki bahasa, dengan bahasa yang tak selalu wicara dan berbunyi kata-kata itu, mereka bersuara menyuarakan apa yang jadi hak mereka, apa yang benar. Sekarang tinggal menunggu peran negara dan para elit pengambil kebijakan untuk mendengarkan suara-suara rakyat, memahami suaranya, memenuhi apa yang disuarakan tanpa harus menunggu suara itu menjadi jeritan yang makin menyayat hati oleh rasa ketidakadilan yang kian menikam dalam. Jika ini dibiarkan, suara-suara jeritan dari dalam tanah akan menyerukan perubahan dengan cara yang mungkin lebih mengerikan. Haruskan keadilan kita bayar dengan kengerian demi kengerian?

Jika kita percaya bahwa tujuan hukum adalah tercapainya the greatest happiness of the greatest number of people (Jeffrie G.Murphy, Philosophy of Law, 1990), maka di Indonesia mereka yang tergolong the greatest number of people adalah kaum tani, nelayan, perempuan desa, buruh pabrik, dan sebagainya yang umumnya hidup di pedesaan atau pesisir pantai. Dan kepada merekalah semestinya pembangunan negeri ini dilandaskan dan hukum yang berpihak ditujukan. Semoga elit kita bukan elit yang sakit; sakit telinganya sehingga tak bisa mendengar, sakit nuraninya sehingga tak bisa merasa dan menimbang rasa keadilan. Semoga negeri ini lekas berkeadailan agraria. Amin.[]

 

Scroll to Top