Pendampingan dan pengorganisasian adalah kerja-kerja agar rakyat mampu mengetahui secara sadar dan kritis struktur penindasan yang melingkupi kehidupan sekeliling mereka. Sehingga rakyat bisa berdaulat dan mandiri.
Forum Refleksi Pendamping Rakyat diselenggarakan di Yogyakarta pada Minggu (24/1). Bina Desa memfasilitasi organisasi-organisasi dan individu dari berbagai wilayah untuk merefleksikan hasil kerja-kerja pendampingan mereka selama ini di wilayahnya masing-masing. Harapannya, refleksi ini akan menjadi dasar bagi kerja-kerja pendampingan ke depan untuk lebih optimal dalam memberdayakan masyarakat.
Pasalnya, di tengah situasi yang sangat kuat cengkraman kapitalismenya seperti saat ini tak mungkin rakyat tanpa berorganisasi yang merupakan benteng pertahanan terakhirnya. “Seperti yang terjadi di wilayah Kadupandak, persoalan global seperti yang diceritakan oleh mbak wiwik (eksploitasi globalisme kapitalistik) sungguh telah terjadi di sana, walau kita tidak bisa melihat bendera asing mana yang berkibar di sana!,” ujar Pak Bekti memaparkan. Oleh karena itu, menurutnya, seorang kader penting untuk bisa mengajak komunitas yang didampinginya, walau di tingkat RT, untuk menganalisis persoalan global yang tanpa terasa sebenarnya sudah mencekam di desa-desa.
Nisa, pendamping Bina Desa untuk kelompok perempuan dari Lumajang pun senada, merasakan betapa cepatnya persoalan dari luar berkembang. Melebihi kemampuan komunitas untuk mencerna dan memahaminya. Bahkan komunitas sering tidak melihat persoalan itu sedang mengancam mereka. “Kami sering mengundang berbagai pihak untuk membahas persoalan di komunitas, seperti akademisi, media, dan lain-lain,” jelas Nisa. Namun menurutnya, seringkali pihak yang diundang memiliki kepentingan tersendiri sehingga malah menimbulkan persoalan lagi.
Selain itu, pendampingan pun tak jarang kerap berhadapan dengan kesadaran masyarakat yang masih pragmatis. Sehingga hanya ingin mendapat solusi dengan cara-cara instan.”Saya sering kebingungan ketika menghadapi orang-orang yang berpikiran praktis saja, baik anak muda sampai orang tua,” tutur Fikri dari Banyumas. “Orang-orang mau diajak berdiskusi tentang program, tapi ujung-ujungnya adalah ingin mendapatkan uang dengan cepat. Itulah yang sering membuat saya bingung, bagaimana mengubah cara pandang seperti itu,” lanjutnya.
Pengalaman hampir serupa pun dialami Ilu dari Sulawesi Barat (Sulbar). Ia menilai pengorganisasian jauh lebih mudah jika dilakukan terhadap ibu-ibu. “Konsistensi ibu-ibu itu kuat meski jalan pendampingannya cukup berliku,” ungkapnya. Ilu menambahkan, sulitnya mendampingi kelompok bapak-bapak. “Baru ditinggal 2 minggu saja, bisa bubar kelompok itu.”
Bu Usrek punya cara tersendiri untuk mengajak warga aktif dalam penyadaran politik. Ia memulai dengan masalah yang kira-kira warga akan lebih mudah tertarik bergabung dalam komunitas. “Persoalan kami adalah dengan Perhutani,” tambah bu Usrek. “Untuk memulai diskusi dengan teman-teman, kami membahas melalui pertanian alami”. Masuk lewat pertanian alami juga dilakukan oleh Maksum, pendamping dari Banyumas, Banjarnegara dan Pemalang. “Saya mengambil pintu masuk ke daerah dampingan dengan beberapa isu, seperti pertanian alami di Banjarnegara dan sumber daya air serta soal tanah di Pemalang,” jelas Maksum.
Sementara itu, Sofyan pun memulai pendampingan di Ungkalan, Jember dengan isu pertanian alami (NF). “Tantangan kami saat ini, bagaimana menyediakan sayur untuk memenuhi kebutuhan pasar,” lanjut Sofyan. “Untuk menyediakan 50 kg sayuran sawi per hari, kami membutuhkan 100 petani sawi. Saat ini baru ada 3 petani sawi alami, dan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja,” jelasnya.
Menyoal pendampingan desa, saat ini pun disoroti bahkan dibuat programnya oleh Kementerian Desa (Kemendes). John Pluto Sinulingga, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pendamping desa yang dimaksud oleh Kemendes tersebut. “Dalam undang-undang Desa disebutkan bahwa pendampingan bisa dilakukan oleh pihak ketiga,” papar John. “Pihak ketiga itu bisa dilakukan oleh swasta atau oleh kita-kita ini. Lalu apakah kita akan mengikuti arus pendampingan yang dibuat oleh mereka?,” tanyanya
Menyoroti persoalan partisipasi warga desa, Maksum menilai warga harus banyak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam organisasi independen, karena selama ini warga sudah dibuat apatis selama ini oleh organisasi pemerintah. Sehingga tak mungkin ini diserahkan kepada mekanisme pemerintah.”Musrembangdes (musyawarah rembuk bareng desa) itu juga hanya formalitas belaka, semua sudah disiapkan oleh pokja-pokja yang dibentuk, sedang masyarakat tidak berpartisipasi,” tambahnya menyesalkan.
Hal tersebut, pun dilihat Yertin yang kini mendampingi mahasiswa dalam mengadvokasi soal korupsi dan melakukan pengawasan pelaksanaan UU Desa. Ia menilai kekurangpahaman dan kurang informasi di masyarakat walau daerahnya kaya akan sumberdaya alam termasuk tambang. Hal itu menjadikan maraknya proyek-proyek (seperti PNPM) hanya berwujud laporan di atas kertas, tanpa terwujud dalam kenyataannya.
Tantangan berat seorang pendamping, menurut Ika sendiri, adalah bagaimana pendamping membangun pemahaman dan istilah serta peta global dalam konteks lokal kehidupan yang dialami petani. Juga, pendamping masih dianggap sebagai kelas yang berbeda oleh petani walaupun pendamping sudah live in lama di komunitas.
Keberadaan masyarakat yang kritis dan sadar pentingnya organisasi merupakan syarat mutlak terjadinya demokratisasi. Terlebih masyarakat desa hari ini menghadapi situasi yang berbeda daripada dengan sebelumnya, salah satunya dengan hadirnya UU Desa. Seperti yang diceritakan oleh Nining bahwa di Sumatera Barat (Sumbar), dengan adanya UU Desa ini mulai mengancam keberadaan Nagari. Hal sama terjadi di Toraja, UU ini juga mengancam keberadaan Lembang. “Di Toraja, kepemilikan tanah mulai beralih ke para pemilik tanah namun menelantarkan tanahnya kepada pemilik modal. Hal ini juga yang menyebabkan pertikaian di dalam keluarga dan budaya masyarakat Sulawesi,” ujar Lily Noviani Batara pada sesi lanjutan refleksi Pendampingan Rakyat di Yogyakarta.
Lily mengemukakan, saat ini ada perlawanan orang Sulawesi terhadap orang Sulawesi. Ini ditandai dengan penolakan petani Sulawesi atas benih transgenik yang dipromosikan oleh Menteri Pertanian (yang juga berasal dari Sulawesi). “Kami berani bilang, kami menolak benih transgenik dengan benih lokal milik kami sendiri!,” ungkap Lily yang juga ketua panitia pertemuan pendamping rakyat.
Sinergitas dalam Bergerak
Keberadaan struktur yang merugikan masyarakat kian rumit saat ini. Belum selesai masalah perundang-undangan yang dijudicial review-kan, sudah muncul lagi uu baru yang merugikan rakyat. Hal ini yang membuat salah satu peserta refleksi hampir putus asa. “Saya cukup syok dengan apa yang dipaparkan oleh mbak wiwik tadi pagi,” ujar Jarmoko, pengacara pembela petani dari Jember. “Semua undang-undang itu mengandung unsur penindasan terhadap petani! Lantas apa yang dapat kita judicial review-kan?,” ungkpanya heran.
Makanya, pengadvokasian pun harus diperkuat lewat tidak hanya sektor non litigasi, tapi juga masalah hukumnya. Seperti yang disarankan oleh peserta lain. “Saya tidak melakukan pendampingan langsung kepada petani,” kata Yamini yang mulai mengenal Bina Desa pada tahun 2004, ketika ia aktif di SD Inpers. Ia yang pernah menjadi pekerja di PTP X Jember melihat kenyataan banyaknya petani yang mengalami kekerasan melawan perusahaan di Jember. “Tidak ada pendampingan hukum yang cukup untuk petani. Waktu itu hanya ada Jarmoko, maka saya pun tergerak untuk mendalami persoalan hukum ini”.
Tak jarang pula peserta yang merasa bersalah karena struktur penindasan terus-menerus ada. “Saya merasa yang paling gagal di antara peserta di pertemuan ini,” ujar Nurtati dari Magelang. “Walaupun masih ada kelompok yang dulu saya dampingi sekarang masih aktif, dan ada juga memang yang tidak aktif lagi”. Saat ini, Nur tetap mendampingi masyarakat dalam bentuk yang berbeda, pendampingan hukum. “Saya dalam proses pengorganisasian berada di posisi belakang atau mensuport kawan-kawan CO di lapangan, mendokumentasikan cerita lapangan.”
Dari pengalaman-pengalaman dipaparkan oleh teman-teman peserta, Jhon melihat beragamnya pengorganisasian yang dilakukan. Seperti pertanian organik yang mampu menghasilkan produksi yang melimpah. Tapi, ia pun mengingatkan agar jangan mudah terlena. “Walau ada soal teknis dalam pendampingan, namun sebenarnya kerja-kerja pengorganisasian adalah kerja ideologis, kerja teologi pembebasan, proses memanusiakan manusia”. Tetapi apa artinya kelebihan produksi itu bagi masyarakat? Apakah sudah tercapai tujuan pengorganisasian itu?” pungkasnya.
Hal yang sama diamini oleh Arik yang bergabung dengan Bina Desa 2006-2009. Menurutnya, pengorganisasian tidak pernah berhenti, walaupun tidak lagi bergabung di Bina Desa. “sebagai mantan CO, semangat dan konsistensi harus tetap ada di dalam diri kita,” papar Arik.
Menurut Yakub disanalah pentingnya sinergitas dari semua pihak. Yakni lewat kerja-kerja pengorganisasian penting di semua lini, karena semua saling mendukung, tidak ada yang berada di belakang atau yang di depan. Sebab, semua adalah bagian dari roda pergerakan rakyat. “Keadaan sosial yang telah berkembang pesat, apakah kita akan ikut maju memanfaatkan perkembangan sosial itu atau tidak,” kata kata Ahmad Yakub bersemangat.