Baru saja di penghujung tahun lalu dua hal monumental berkaitan dengan pembangunan dunia terlaksana. Yang terbaru adalah Perjanjian Paris (COP21) yang terselenggara di bulan Desember. Disebut monumental karena pertama kalinya dalam sejarah, 195 negara peserta menyetujui komitmen yang mengikat secara legal dan universal. Perjanjian ini menyepakati komitmen menahan laju kenaikan temperatur global di bawah 2oC dan mengupayakannya hingga di bawah 1,5oC. Perjanjian ini secara legal akan berlaku pada 2020.
Sebelumnya, sebagai hasil Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 25 – 27 September, diluncurkan juga tujuan pembangunan global Sustainable Development Goals 2016 – 2030 setelah berakhirnya periode Millenium Development Goals 2015 lalu. Sebagai arah pembangunan global yang berkelanjutan, ditetapkan 17 tujuan, dan 169 target yang berkaitan dengannya. Salah satu dari 17 tujuan itu adalah “mengambil aksi-aksi yang diperlukan untuk menanggulangi perubahan iklim dan dampaknya,” belum termasuk beberapa tujuan lain dan target-target turunan yang juga beririsan dengan perubahan iklim.
Selain optimisme terhadap kesepakatan-kesepakatan tentang iklim ini, selalu muncul aksi-aksi organisasi masyarakat sipil dunia yang mengingatkan agar tidak hanya menjadikannya sebagai pelanjut kepentingan rezim pembangunan global dominan. Salah satu aksi organisasi masyarakat sipil yang sempat viral di pertemuan Paris adalah pembuatan dan penyebaran poster cetak yang menggunakan identitas korporasi global yang dianggap berkontribusi pada perubahan iklim, namun isinya menyentil korporasi tersebut.
Aksi-aksi tersebut menyiratkan dan menginginkan adanya perubahan yang lebih signifikan dan adil dibandingkan dengan upaya-upaya yang ada selama ini. Salah satu yang menjadi perhatian juga adalah perbaikan sistem pangan dan agrikultur yang berperan cukup besar dalam terjadi pemanasan global.
Perubahan Iklim dan Sistem Pangan
Sektor pangan termasuk dalam kontributor emisi global. Sebuah kajian dari Sonja J. Vermeulen, dkk (2012) berjudul “Climate Change and Food System” menyatakan bahwa seluruh proses pada sistem pangan akan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Mulai dari praproduksi seperti pembuatan pupuk dan pestisida; proses produksi baik yang langsung dari emisi dinitorgen oksida (N2O), metana (CH4), pembakaran biomassa, produksi padi dan penggunaan pupuk, maupun yang tidak langsung seperti alih fungsi lahan; hingga pascaproduksi seperti pengemasan, pendinginan, transportasi, hingga pembuangan sampah makanan.
Berdasarkan hasil studi tersebut, secara global sistem pangan berkontribusi 19 – 29 % atas emisi gas rumah kaca antropogenik (hal-hal yang dilakukan akibat aktivitas manusia), 80% di antara emisi tersebut terjadi dalam proses produksi. Bahkan, La Via Campesina, payung dari organisasi-organisasi petani dunia yang membawa platform kedaulatan pangan punya gambaran lebih tinggi. Salah satu publikasinya menyatakan bahwa sistem pangan saat ini menyumbang 44 – 57% dari emisi global dengan komponen: deforestasi untuk pembukaan lahan, proses pertaniannya, transportasi, pengolahan dan pengemasan, penyimpanan (dingin) dan ritel, serta sampah makanan. Dalam hasil Sensus Pertanian 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyatakan bahwa sektor pertanian termasuk dalam sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia.
Hal ini merupakan hasil dari sistem pangan dan pertanian yang bersifat produksionis dan industrialis. Secara historis, ini juga merupakan dampak sistemik dari sistem monokultur yang digalakkan sejak revolusi hijau, mekanisasi dan kimiawisasi pertanian, hingga sistem perdagangan pertanian lintas negara dan benua dengan rantai pasok yang panjang dan aktor korporasi besar di dalamnya. Publikasi FAO di tahun 2012 menyatakan bahwa sistem pangan global mendominasi 75% makanan dunia hanya dengan 12 jenis tanaman dan 5 spesies hewan.
Akibatnya ada beban melingkar bagi sektor pertanian: selain sebagai kontributor rumah kaca terbesar, juga yang akan terdampak signifikan dari perubahan iklim. Harian Kompas di bulan Januari saja telah beberapa kali (dan di antaranya berurutan) menampilkan kerawanan pangan di muka laporan utama. Resiliensi sistem pertanian dengan sistem yang ada saat ini, lebih rentan terhadap perubahan alam, disertai krisis air di kemarau panjang kemarin, berlanjut kekhawatiran datangnya El-Nino.
Harapan akan Kedaulatan Pangan
Untuk mengantisipasi dampak yang semakin buruk dari sistem pangan dominan yang ada, organisasi-organisasi pangan telah menyerukan konsep “kedaulatan pangan” sebagai alternatif bagi “ketahanan pangan.” Di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menyerukan hal ini sejak masa kampanyenya di bawah program Nawacita. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 juga telah memuat istilah “kedaulatan pangan.” Bahkan sebelumnya, Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan juga telah menyebutkannya.
Berbeda dengan ketahanan pangan yang lebih sering menitikberatkan pada pemenuhan pangan bagi masyarakat secara kuantitas, kedaulatan pangan pada konsep awalnya memperhatikan dari mana dan bagaimana pangan itu dihasilkan, didistribusikan hingga dikonsumsi. Apakah pangan itu dihasilkan dengan metode yang ramah lingkungan atau penuh dengan proses artifisial kimiawi? Apakah secara nutrisi sehat dan sesuai kultur masyarakat lokal? Apakah melibatkan rantai pasok yang panjang seperti ekspor dan impor hingga sampai ke konsumen?
Nampaknya inilah yang belum dipahami secara seutuhnya oleh para pengambil kebijakan, termasuk masyarakat banyak. Pada praktiknya, konsep kedaulatan pangan yang diharapkan masih terlalu dini untuk bisa dikatakan tercapai di lapangan, selain menjadi jargon populis.
Contoh kontradiksi teranyar misalkan, jumlah impor beras yang sudah menurun dari 2,75 juta ton di 2011 menjadi 0,47 ton di 2013, kembali melonjak menjadi 0,84 juta ton di 2014 dan diperkirakan melebihi 1 juta ton di tahun 2015. Di bawah kendali Kementerian Perdagangan, Indonesia juga sudah menyepakati impor beras dari Pakistan selama 4 tahun ke depan dengan jumlah 1 juta ton (Kompas 9/1).
Sebelumnya, laman daring Tempo (1/12/2015) juga melaporkan rencana pelepasan benih jagung transgenik produksi Monsanto atas kerjasama dengan Kementerian Pertanian. Padahal, di negara-negara dengan organisasi pengusung kedaulatan pangan, Monsanto termasuk perusahaan yang paling ditentang. Terlepas dari standar uji keamanan pangan, benih-benih rekayasa genetika ini tentu saja akan menghabisi benih-benih lokal, yang pada akhirnya mengurangi keanekaragaman pangan dan sistem tanam sehingga bisa berdampak pula pada resiliensi terhadap perubahan iklim.
Memulai Kesadaran Konsumen
Mengapa penulis mengaitkannya dengan konsumen? Pertama, penulis mengharapkan bisa menyampaikan pesan ini ke kalangan yang relatif termasuk dalam kelas urban, menengah, dengan tingkat pendidikan (formal) tinggi, agar bisa mulai terpapar dengan kesadaran akan sistem pangan dan kaitannya dengan perubahan iklim.
Kedua, karena sebagian besar masyarakat kita juga bukan produsen pangan pertanian, melainkan bagian dari konsumen. Sebagai sebuah sistem, (kedaulatan) pangan juga menyaratkan adanya keterlibatan semua elemen dari mulai produsen, distributor, hingga konsumen.
Data BPS menyebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir, rumah tangga petani telah menurun secara drastis dari 31,23 juta di 2003 menjadi 26,14 juta di 2013. Artinya, masyarakat produsen kita hanya sekitar 9-10% saja, dibandingkan dengan besarnya jumlah masyarakat konsumen. Sementara data lainnya menunjukkan bahwa rata-rata pola pengeluaran masyarakat kita juga kurang lebih setengahnya digunakan untuk konsumsi pangan.
Diharapkan, jumlah konsumen yang besar ini bisa membangun solidaritas dengan jumlah produsen pangan yang jumlahnya semakin menurun. Sementara organisasi-organisasi petani sebagai produsen bergerak dengan isu-isu usaha pertanian berkelanjutan, konsumen harus mulai memikirkan agar pengeluarannya tidak selalu berpihak kepada produsen-produsen pangan industrialis yang menjadi penyebab katastropi perubahan iklim.
Di negara-negara lain yang sudah lebih terpapar dengan isu-isu semacam ini, konsumen juga membantu aliansi organisasi produsen baik dengan inisiatif pasar pertanian langsung, community supported agriculture, hingga hilirisasi dan pemasaran dari petani dalam upaya mereka melaksanakan praktek pertanian yang berkelanjutan. Mungkin dikemas dengan istilah familiar “organik,” namun tentu saja yang dihasilkan oleh petani kecil, bukan perusahaan multinasional yang tidak relevan dalam konteks kedaulatan pangan.
Hal lainnya, konsumen juga harus menyadari akan risiko dari food waste atau sampah-sampah sisa makanan hingga pengemasan belanja pangan agar tidak semakin berkontribusi mengemisikan gas rumah kaca.
Jika kesadaran reflektif konsumen ini terbangun, terlebih lagi jika terorganisasi, diharapkan dapat menjadi penekan bagi kebijakan-kebijakan struktural dan institusional lain untuk mengupayakan sistem pangan yang tidak destruktif bagi planet dan penghuninya ini.
———
Penulis adalah Alumni Universitas Padjadjaran, program magister ilmu lingkungan double degree dengan International Institute of Social Studies, Den Haag bidang agraria, pangan dan lingkungan.