Bina Desa

Kembali ke Khittah, Pertanian Alami sebagai Proses Pemanusiaan

catatan masum
Unwanullah Ma’sum, biasa di panggil Masum berbagi catatannya dalam proses pendampingan bersama kaum marjinal di pedesaan (photo Koleksi Pribadi)

Pendampingan bagi masyarakat desa yang marjinal merupakan suatu pilihan sikap dan hidup. Hanya sedikit orang mampu bertahan. Upaya mentranformasikannya menjadi gerakan sosial dan religius merupakan kerja besar. Sesungguhnya dalam proses pendampingan masyarakat marjinal pedesaan siapa yang belajar dan siapa yang memberi pelajaran?. Sekedar untuk menghayati apa yang dilakukan oleh pendamping kaum marjinal pedesaan, kita baca catatan saudara Unwanullah Ma’sum.  Pemuda yang biasa biasa di pangil Masum ini bergerak di wilayah pendampingan Regio Jawa Tengah Selatan. Semoga memberi inspirasi. Kita simak berikut ini:

Pertanian alami atau pertanian organik, pertanian ramah lingkungan, pertanian berkelanjutan, dan berbagai macam istilah lainnya sudah dikembangkan dan dikampanyekan lebih dari satu dekade terakhir. Sudah tak terhitung pelatihan pertanian alami yang pernah diadakan, baik oleh pemerintah, LSM maupun swadaya kelompok tani.

Hingga saat ini ribuan orang sudah belajar dan tahu tentang pertanian alami. Persebaran pengamalnya juga berada di banyak tempat. Banyak cerita sukses, pengalaman baik dalam melakukan pertanian alami, seperti; biaya produksi lebih sedikit dibanding konvensional, hasilnya yang lebih melimpah. Semisal ketela pohon yang biasanya per hektar paling panen 20 ton dengan pertanian alami bisa mencapai 120 ton, ayam petelor bisa bertelor sehari dua kali, tingkat kematian bibit ikan lebih rendah, selain itu hasil panennya juga sehat dan menyehatkan.

Sayangnya cerita positif pertanian alami tadi belum mampu menggerakkan orang lain untuk mengikuti jejak bertani alami. Alasan yang disampaikan oleh mereka yang belum mau bertani alami sangat beragam, di antaranya adalah ribet, tidak praktis, khawatir hasilnya akan menurun, gagal panen, keluarga (istri / suami / orang tua) tidak mendukung, tidak istikamah, tidak telaten. Ada juga yang karena lahannya adalah lahan sewa sehingga takut merugi.

Nihilnya internalisasi nilai-nilai pertanian alami, sehingga pertanian alami dimaknai sebagai proses “ber-ekonomi” saja. Modal sedikit berharap untung yang banyak, dengan biaya produksi seminimal mungkin akan mendapatkan hasil panen yang banyak, bernilai lebih dan—ketika dijual—harganya lebih mahal. Pertanian alami semata serangkaian kerja yang bertujuan untuk menghasilkan nilai tambah ekonomis.

Selain nir-internalisasi nilai, para petani susah untuk hijrah juga karena fakta-fakta tentang pertanian kimiawi (sintetis), konvensional tidak dikupas dan digali secara mendalam. Bahkan banyak fakta yang jarang sekali disampaikan. Misalnya fakta tentang benih hibrida, transgenik atau GMO (Genetically modified organism) yang berdampak negatif. Secara kesehatan, secara ekonomi penguasaan teknologi dan penyebarannya hanya dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar asing.

Fakta lainnya adalah bahwa pupuk yang digunakan selain hanya berfungsi untuk tanaman juga mengakibatkan tanah menjadi tidak subur akibat matinya jasad renik di dalam tanah. Residu pupuk kimia sintetis juga mengendap di makanan. Lalu Pestisida, herbisida, fungsisida dan sida-sida yang lain mengakibatkan banyak musuh alami hama yang mati. Sehingga populasi hama menjadi tidak terkendali dan bermutasi menjadi hama dengan imunitas lebih kuat yang karenanya dosis pestisida setiap tahun juga meningkat. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) penggunaan pestisida menyebabkan jutaan orang terpapar racun pestisida dan puluhan ribu di antaranya mati setiap tahunnya.

Banyak sudah pelatihan-pelatihan, pendidikan, atau sharing informal, getok tular sebagai proses transformasi pengetahuan, berbagi pengalaman dan ketrampilan. Namun hal itu  sering tidak disertai transformasi nilai, tidak dibarengi dengan proses membangun kesadaran diri sebagai ciptaan (manusia), sebagai petani. Proses transformasi pengetahuan kadang luput dari upaya membangun kesadaran kolektif dan pembaharuan bahwa manusia hidup selaras dengan alam raya, berdampingan dengan makhluk lainnya. Kesadaran kolektif pembaharuan ini juga mencakup tentang relasi kultural dan relasi structural yang berkaitan dengan kebijakan negara termasuk pengaruh global di dalamnya.

Kembali ke khittah; pertanian alami sebagai pemanusiaan

Ke depan agar pertanian alami tidak lagi menjadi aktivitas ekonomi semata, cara memproduksi sebuah komoditas. Maka penting dalam pelatihan pertanian alami diawali dengan , menggali fakta-fakta akibat pertanian kimiawi sintetis. Demikian juga ditransformasikannya nilai, sikap dan akhlak pertanian alami menuju pemanusiaan. Citra diri sebagai ciptaan yang diamanati oleh Tuhan untuk menjadi pengelola bumi seisinya agar bisa terus dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.

Sehingga dalam melakukan aktivitas bertani, jauh dari sifat,  perbuatan merusak (kesuburan tanah) dan membunuh (makhluk penghuni sawah yang menjadi musuh alami hama). Dalam banyak firmanNya Tuhan memerintahkan agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam konteks pertanian, dengan pertanian alami manusia bisa secara sungguh-sungguh mengimani ajaran Tuhan. Iman yang menggerakkan akal budinya untuk ikut melestarikan lingkungan dan menyediakan pangan yang baik bagi sesama makhluk hidup.

Belajar bersama mempraktekan pertanian alami di Desa Panikel, Cilacap (photo by Masum)
Belajar bersama mempraktekan pertanian alami di Desa Panikel, Cilacap. Ke depan agar pertanian alami tidak lagi menjadi aktivitas ekonomi semata, cara memproduksi sebuah komoditas. Maka penting dalam pelatihan pertanian alami diawali dengan , menggali fakta-fakta akibat pertanian kimiawi sintetis (photo by Masum)

Transformasi nilai-nilai pertanian alami juga menjadi hal yang penting dalam pelatihan-pelatihan pertanian alami atau dalam “rubungan” jagongan informal / gendu-gendu rasa. Ini dilakukan sebelum pengetahuan teknis budidaya disampaikan. Selain transformasi, ideologisasi dalam pertanian alami mestinya terus diulang dan tidak hanya selesai di pelatihan-pelatihan. Ideologisasi dan transformasi nilai “manjing” ke pelaku pertanian alami ketika pengetahuan yang sudah didapat kemudian dipraktekkan, diamalkan sebagai sebuah laku. Sehingga kawruh atau pengetahuan yang didapat akan menjadi ilmu yang terejawantah dalam laku dan menyatu dalam diri pelaku sebagai sebuah kesadaran baru.

Bahwa pertanian alami bukan hanya untuk bertani alami, tetapi juga sebagai alat perjuangan untuk melawan ketidakadilan. Bentuk-bentuk ketidakadilan ini terjadi secara massif dalam perampasan dan penguasaan alat produksi petani (baca: tanah) oleh para pemodal yang difasilitasi negara, sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida dan obat pertanian lainnya), teknologi produksi (traktor mesin, mesin tanam, mesin pemanen) hingga nilai jual hasil pertanian yang merugikan dan menghisap petani.

Perampasan dan penguasaan tanah oleh pemodal dilakukan melalui alih fungsi lahan, ribuan kasus sengketa agraria sampai hari ini masih belum selesai. Negara yang sesuai amanat konstitusi menguasai tanah, air dan seisinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat justru memfasilitasi para pemodal untuk mengusir para petani penggarap dari lahannya.

Penghisapan terhadap petani juga terjadi melalui tata niaga bibit, pupuk dan obat-obatan pertanian. Petani yang memuliakan bibit dikriminalkan, petani yang secara mandiri membuat pupuk dan obat-obatan alami pertanian ditakuti dengan bayang-bayang kegagalan atau menurunnya hasil panen. Dan hasil panen yang dengan jerih payah dan tetesan keringat selama berbulan-bulan tidak dihargai dengan layak.

Melalui pertanian alami elan perjuangan kemandirian petani dan kedaulatan bangsa bisa terus menerus dilakukan. Petani digugah kesadarannya tentang arti penting tanah sebagai alat produksi sehingga petani akan memperlakukan tanahnya dengan baik dan menjaganya dengan sepenuh hati, “sedumuk bathuk sanyari bumi”.

Petani didorong untuk secara mandiri memuliakan benih unggul lokal dan menghargai benih sebagai sumber kekayaan yang harus terus dirawat. Petani ditemani untuk membuat pupuk (kompos dan cair) sendiri sambil secara berulang diingatkan tentang ideologi dan nilai-nilai kearifan dalam pertanian. Dengan demikian, pertanian alami tidak akan berhenti sebagai metode pertanian semata, untuk menghasilkan pangan yang lebih bermutu dan bernilai jual tinggi. Tapi lebih dari itu, pertanian alami adalah proses pemanusiaan, upaya peneguhan komitmen ciptaan terhadap Khaliqnya, kerja gerakan—termasuk didalamnya mengkritisi kebijakan—demi terciptanya kehidupan yang lebih adil sebagaimana amanat konstitusi bahwa segenap kekayaan tanah, air dan seisinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.(###)

Scroll to Top