Dialog Publik dan Diskusi Media

Pada hari Kamis tanggal 12 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang pengujian formil UU Omnibus law Cipta Kerja dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh PEMOHON yang terdiri dari gabungan 15 organisasi masyarakat yaitu Serikat Petani Indonesia, Yayasan Bina Desa Sajadiwa, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Serikat Petani Kelapa Sawit, Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), Indonesia Human Right Comittee For Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, Jaringan Masyarakat Tani Indonesia, Aliansi Organis Indonesia, Perkumpulan Perempuan Nelayan Indonesia dan Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air yang tergabung dalam KEPAL (Komite Pembela Hak Konstitsuional). Ahli yang diajukan oleh PEMOHON adalah Dr. Aan Eko Widiarto, SH, MHum pakar hukum perancangan peraturan perundang-undangan dari Universitas Brawijaya Malang.

Menurut Ahli, pembentukan UU Cipta Kerja telah melanggar keharusan adanya Naskah Akademik sebelum penyusunan RUU, dan keharusan RUU dibacakan sebelum disahkan, serta dirubah setelah disahkan. Ahli juga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja yang tidak mengabaikan aspirasi masyarakat akan menjadi undang-undang yang represif. Selain itu Ahli juga menyatakan bahwa Omnibus Law sebagai metode tidak dikenal dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Menurut perwakilan pemohon dari IHCS, Gunawan, keterangan Ahli dalam persidangan tadi telah membuktikan bahwa partisipasi dari masyarakat adalah persyaratan konstitusionalitas yang wajib untuk dipenuhi dalam pembentukan undang-undang. Para pemohon yang mewakili anggota maupun masyarakat yang didampingi potensial terdampak dari berlakunya undang-undang ini tidak pernah sama sekali mendapatkan sosialisasi maupun diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya. padahal sebelumnya seringkali diundang untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Ini adalah diskriminasi, UU Cipta Kerja tidak ditujukan untuk melindungi kerja petani, nelayan, dan buruh, tetapi merubah undang-undang terkait hak petani, hak nelayan, hak buruh, dan hak atas Pendidikan. Namun aspirasinya tidak diserap dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

Sementara itu, Koordinator Tim Kuasa Hukum Pemohon (Tim Advokasi Gugat Omnibus Law), Janses E Sihaloho menjelaskan bahwa keterangan yang disampaikan oleh Ahli telah memberikan gambaran kepada Majelis Hakim bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 2 November 2020 banyak melanggar syarat-syarat pembentukan suatu Undang-Undang (syarat formil) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Janses juga menjelaskan bahwa keterangan ahli juga menguatkan temuan kami pada saat proses inzage (pemeriksaaan alat bukti), kami mendapati bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah justru semakin membuktikan bahwa terdapat cacat prosedur dalam pembentukan UU Omnibuslaw Cipta Kerja ini, seperti misalnya dalam bukti yang diajukan oleh Pemerintah mengenai partisipasi masyarakat, dalam buktinya Pemerintah hanya melibatkan organisasi masyarakat yang justru tidak terlalu terdampak dari berlakunya UU Omnibus Law ini, tetapi PEMOHON yang terkena dampak langsung malah sama sekali tidak pernah dilibatkan untuk disosialisasikan maupun ikut berpartisipasi, namun yang paling penting bagi kami adalah adanya bukti dari Pemerintah bahwa Pengambilan Keputusan Tingkat I dilakukan tertutup dan terburu-buru pada sabtu malam tanggal 3 Oktober 2020 tanpa adanya naskah RUU Cipta Kerja yang sudah final maupun pembacaan dari naskah RUU Cipta Kerja. Seharusnya pengambilan keputusan tersebut harus dilakukan dengan membacakan naskah RUU dan disetujui substansi pasal-per pasalnya sampai dengan titik komanya. Secara logika dan penalaran wajar, kami sangat meragukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dapat dibahas dan disetujui dalam waktu yang sangat singkat, apalagi Naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini didalamnya memuat 79 Undang-Undang yang berbeda-beda materi muatannya.

David Sitorus, Koordinator Inzage dari Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menambahkan, kami juga menilai bahwa Pemerintah tidak berani untuk melampirkan bukti naskah Rancangan Undang-Undang hasil pengambilan keputusan Tingkat II (paripurna), maupun naskah yang dikirimkan ke Presiden untuk ditandatangani sebagaimana yang diminta oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi karena faktanya Pemerintah hanya melampirkan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan. Hal ini semakin membuktikan bahwa telah terjadi perubahan substansi antara Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui bersama antara DPR dengan Presiden pada pengambilan keputusan Tingkat II (paripurna), padahal seharusnya apabila sudah ketok palu pada rapat paripurna tidak boleh lagi ada perubahan-perubahan apapun.

Inda Fatinaware dari Sawit Watch, selaku Pemohon menyimpulkan, berdasarkan hal-hal tersebut maka sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut cacat formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

***

ARTIKEL TERKAIT

Menilik Hilangnya Kontrol Perempuan Petani Atas Benih

Perjuangan Panjang Melestarikan Benih Pangan Lokal

HTNM Gelar Pendidikan Advokasi Bagi Petani

Podcast Pangan dan Gizi

Buletin 148

Regional Conference APEX: Memperkuat Gerakan Kedaulatan Pangan, Mengubah Sistem Pangan, Menegaskan Keadilan Iklim