Bina Desa

Eksploitasi Perempuan Pekerja Budidaya Rumput Laut

Jeneponto-Perempuan pekerja budidaya rumput laut di Desa Palajau, Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. (Foto:Dok. Bina Desa/Rayhana Anwarie)

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Sepanjang pesisir mulai dari Kabupaten Pinrang sampai Kabupaten Luwu merupakan sentra penghasil rumput laut. Dilansir dari laman sindonews.com pada tahun 2017 total produksi rumput laut di Sulawesi Selatan mencapai 3.3 juta ton. Kabupaten Takalar menjadi produsen tertinggi, Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo dan kabupaten lainnya. Namun pada tulisan ini tidak spesifik akan membahas tentang rumput laut dan proses budidayanya. Tulisan ini akan memaparkan tentang pengupahan pada perempuan pekerja budidaya rumput laut. Ada temuan yang menarik ketika menelisik lebih dalam saat melihat proses budidaya rumput laut di sepanjang pesisir Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto. Temuan ini terkait keterlibatan pekerja perempuan yang ada dalam proses budidaya rumput laut ini.

Di sepanjang bibir pantai Kecamatan Arungkeke terdapat pondok-pondok yang merupakan tempat untuk melakukan pembibitan rumput laut. Di pondok-pondok ini akan ditemukan beberapa perempuan (Bahasa lokal : pabibit) yang melakukan proses pemasangan bibit rumput laut pada tali bentangan sebelum rumput laut akan dibudidayakan di tengah laut. Panjang bentang tali yang  akan dipasangkan atau dilekatkan berkisar  20 – 25 meter.

Menurut penuturan beberapa perempuan pekerja budidaya rumput laut ini. Mereka melakukan proses pembibitan tergantung ketersediaan bibit, karena belum tentu setiap hari ada bibitnya. Biasanya bibit yang diambil itu berasal dari rumput laut yang baru saja dipanen. Ketika ada bibit mereka diminta untuk memasang pada bentang tali oleh para pemilik bibit rumput laut. Setiap satu bentangan upah yang mereka terima Rp 2.000 – Rp 3.000 rupiah. Dan dalam satu harinya mereka bisa menghasilkan 7 – 8 bentangan bibit rumput laut.

Kalau dihitung dalam satu hari perempuan pekerja budidaya rumput laut ini hanya memperoleh upah dari pemasangan bibit  Rp 24.000 dengan jam kerja yang 7 – 8 jam sehari. Tambahan lain adalah makan siang dan penganan yang disediakan pemilik bibit. Apabila makan dan penganan tidak disediakan maka pemilik bibit akan memberikan tambahan upah Rp 3.000 sebagai pengganti. Kalau dari sisi pengupahan ini sama sekali tidak adil dan sangat eksploitatif terhadap perempuan. Coba anda bayangkan dalam satu hari hanya bisa membawa pulang uang Rp 27.000?

Kalau mengamati dari pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan pekerja budidaya rumput laut ini membutuhkan kesabaran, ketelitian dan juga kecepatan untuk memasangkan bibit pada bentangan tali. Bahkan jam kerja yang mereka habiskan sama seperti orang yang bekerja di sektor formal. Dari realitas tersebut mengapa perempuan mendapatkan upah yang rendah?

Namun secara umum diskriminasi upah tidak hanya terjadi di sektor informal seperti para perempuan pekerja budidaya rumput laut ini. Di sektor formal juga perempuan mendapatkan upah yang rendah apabila dibandingkan dengan laki-laki pekerja. Diskriminasi upah yang terjadi ini terkadang bukan karena adanya kompetensi atau keahlian namun tapi karena posisi  sebagai perempuan dan satu hal yang mendorong terjadinya diskriminasi upah di masyarakat karena faktor sosio-kultural. Masyarakat tradisional memandang bahwa posisi perempuan itu “lebih rendah” atau hanya “tambahan”. Faktor ini yang disebut sebagai diskriminasi gender. Di samping itu ada faktor pembeda lainnya yang kemudian juga mempengaruhi besarnya upah. Faktor modal (pendidikan, kompetensi dan pengalaman) dan juga melihat karakteristik dari pekerjaan tersebut (berat dan ringan). (John Pluto Sinulingga)

Scroll to Top