Sedikit tentang Revolusi Hijau

Dari sejarah dunia kita dapat menelusuri bahwa program pembaruan agraria itu umurnya sudah lebih dari 2500 tahun dari sejak zaman Revolusi Neolithic sampai Green Revolution (akhir dasa-warsa 1960-an dan awal 1970-an). Terkait Green Revolution (revolusi hijau) kita bisa mencatat bahwa sejak lahirnya Orde Baru, pemerintah Indonesia pada dasarnya telah meninggalkan niat politik untuk melakukan pembaruan agraria, dan mengambil kebijakan alternatif yaitu program Revolusi Hijau (RH).

Dalam pandangan ilmu-ilmu sosial, yang dimaksud RH bukanlah semata-mata ditemukannya bibit padi unggul baru.  Untuk dapat disebut sebagai ”revolusi” (pertanian), tiga hal menjadi cirinya, yaitu bahwa suatu inovasi teknologi itu diadopsi dalam skala yang luas, dalam tempo yang relatif cepat (dalam ukuran sejarah), dan dampaknya telah mengubah budaya masyarakat.  Dalam hal RH, dalam waktu kurang dari 2 tahun sejak 1968, seluas 24 juta Ha sawah di Asia telah ditanami  bibit padi unggul baru.  Dampaknya yang penting adalah budaya dan irama hidup para petani di pedesaan menjadi berubah sama sekali.

***

Benarkah Program revolusi hijau sebagai program unggulan dalam pembangunan dinilai telah berhasil menghantarkan proses modernisasi desa dan mampu mewujudkan swa sembada pangan (baca: beras)? Kenyataanya keberhasilan ini hanya dilihat dari kemampuan revolusi hijau dalam mendongkrak produksi beras, namun bagaimana proses implementasi program revolusi hijau yang sarat dengan kekerasan, tersingkirnya perempuan dari pangan dan pertanian, ketergantungan petani pada input pabrikan, hilangnya kearifan lokal dan keanekaragaman hayati serta hancurnya lingkungan tak dihitung sebagai biaya sosial yang harus ditanggung dari revolusi hijau ini.

Tak hanya sampai disitu, ketika revolusi hijau menuai banyak kritikan, lahir model baru dalam pengelolaan pertanian namun basis pemikiran tetap; petani sebagai buruh industri pertanian melalui corporate farming. Selain menjadi buruh, kepemilikan petani atas lahan menjadi sangat rentan karena bukti kepemilikan tanahnya dijadikan sebagai agunan oleh corporate untuk mencari pinjaman uang kepada bank sebagai modal usahanya. Tak belajar dari kegagalan revolusi hijau di daratan, menyusul program revolusi biru untuk wilayah pesisir dan kelautan. Masih mengikuti paradigma sebelumnya, wilayah pesisir dan laut dijadikan kancah modernisasi melalui penggunaan teknologi modern dan dibukanya wilayah tangkap.

Berbagai regulasi baru sebagai payung penyelenggaraan privatisi perikanan segera dikeluarkan. Kapal asing yang sebelumnya masuk secara illegal ke wilayah tangkap nelayan  Indonesia dapat memasuki perairan Indonesia dan kawasan pesisir sehingga memicu pertikaian antara nelayan kapal asing (yang biasanya dilengkapi dengan alat tangkap modern dengan skala besar). Selain itu masuknya kapal asing telah berkontribusi secara langsung pada terjadinya over fishing. Disisi lain kawasan pesisir dikembangkan untuk industri perikanan monokultur seperti udang, tuna dan salmon untuk memenuhi kebutuhan ikan di pasar global serta untuk industri pariwisata. Perempuan nelayan yang wilayah kerjanya mencari ikan atau kerang di pesisir menjadi tersingkir oleh industri perikanan dan pariwisata ini. Hancurnya lingkungan pesisir oleh limbah kimia dari industri perikanan juga telah membunuh berbagai jenis ikan dan kerang yang hidup di pesisir sehingga penghasilan perempuan nelayan menurun.

 

Bagaimana Nasib Perempuan?

Pertumbuhan ekonomi yang berazaskan pasar bebas (Neoliberalisme) yang mempercayakan pengambilan keputusan pada pasar memandang perempuan sebagai tenaga reproduktif yang tak memiliki nilai ekonomis dan ditempatkan pada wilayah kerja domestic. Dengan cara pandang ini perempuan pedesaan seringkali dilupakan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian berbagai kegiatan di desa karena dianggap tidak memiliki kemampuan pikir yang memadai tentang desa dan pertanian. Perempuan pedesaan juga mengalami penindasan secara berlapis; perempuan tani seringkali mengalami kekerasan dalam bentuk pemaksaan menggunakan benih/pupuk/pestisida tertentu buatan pabrik serta menggantikan peran mereka dengan teknologi baru atau mesin yang dirancang tidak untuk perempuan.  Sementara perempuan nelayan hingga kini belum diakui eksistensinya karena nelayan masih umum di definisikan pada batas “orang yang mencari ikan dilaut”-yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Dengan definisi ini maka perempuan yang bekerja mencari nafkah di pesisir, memperbaiki alat tangkap, mengolah ikan pasca turun dari perahu dan menjual ke pasar luput dari definisi ini. Bahkan pada saat persiapan melaut, perempuanlah yang bertanggungjawab menyiapkan seluruh keperluan  logistik meskipun dengan cara mengutang. Perempuan juga menjadi penanggungjawab tunggal keluarga saat suaminya pergi melaut. (SC)

Sumber: Kalender Bina Desa, 2013

ARTIKEL TERKAIT