Masalah Landreform di Jawa Masa Kini

Oleh: Imam Yudotomo *)

OBYEK LAND-REFORM: TANAH PERKEBUNAN

Dengan asumsi bahwa land-reform merupakan usaha untuk menata kembali pemilikan tanah yang dirasa tidak adil dan usaha untuk me-redistribusi tanah yang dikategorikan sebagai obyek land-reform kepada kaum tani yang tidak bertanah, maka ketika gagasan land-reform mulai dibicarakan kaum pergerakan Indonesia di masa penjajahan dulu boleh dikatakan bahwa, gagasan itu langsung saja menemukan relevansinya, paling tidak di Jawa karena penduduknya yang sudah mulai padat. Sementara di pulau-pulau lain dianggap kurang relevant karena penduduknya yang masih bisa dikatakan sangat kurang (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi). Betapa tidak, karena di Jawa pada saat itu ada berjuta hektar tanah milik  perkebunan, yang dalam anggapan kaum pergerakan secara historis aslinya adalah milik rakyat Indonesia. Akan tetapi, karena praktek tanam paksa di jaman Gubernur Jendral van den Bosch dan diterapkannya Agrarische Wet 1875, maka secara hukum tanah-tanah tersebut lalu dijadikan tanah perkebunan milik kaum modal Eropa, terutama Belanda,  yang diundang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Oleh banyak pihak perkebunan-perkebunan itu dianggap sebagai sumber penghisapan dan penindasan. Karena itu, kemerdekaan Indonesia mereka anggap sebagai momentum yang tepat untuk mengembalikan tanah-tanah tersebut kepada pemilik aslinya, yaitu kaum tani Indonesia, dan sekaligus menghentikan praktek penghisapan dan penindasan itu. Mereka menegaskan bahwa arti kemerdekaan bagi kaum tani adalah punya tanah. Dan dengan penduduk Indonesia  yang saat itu hanya berjumlah 60 juta orang (tahun 1940-an), maka diperhitungkan kaum tani masih bisa mendapat tanah yang cukup luas apabila tanah-tanah perkebunan itu dibagikan kepada kaum tani yang tidak bertanah (landless peasants) dalam rangka land-reform (land redistribution) itu.

PERJANJIAN KMB DAN NASIONALISASI PERKEBUNAN (1957-1958).

Akan tetapi kemudian, ketika kemerdekaan bisa dicapai, tanah yang semula digambarkan akan bisa dijadikan obyek land-reform itu, ternyata tidak bisa diganggu-gugat lagi. Perjanjian KMB (1948) mengharuskan semua perkebunan milik kaum modal Belanda dikembalikan kepada pemiliknya semula, sebagai imbalan bagi pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia. Yang artinya, kepentingan yang sangat mendasar dari kaum tani untuk mendapatkan kembali tanahnya telah dikorbankan guna mendapatkan pengakuan kedaulatan bagi Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Dalam perkembangan selanjutnya, nasionalisasi perkebunan-perkebunan Belanda yang dilakukan Bung Karno bersamaan dengan momentum perjuangan merebut Irian Jaya (1957-1958) ternyata juga tidak menjadikan tanah-tanah tersebut sebagai obyek land-reform. Perkebunan-perkebunan tersebut malah diserahkan kepada kaum militer, yang kemudian dijadikan perusahaan milik negara dan sebagian lagi dijual kepada kaum modal nasional. Sehingga apa yang masih diharapkan bisa jadi obyek land-reform hanyalah tanah-tanah yang masih dipersengkatakan dan jumlahnya sangat sedikit, seperti keadaan yang ada sekarang ini.

Ketika UUPA mulai  dilaksanakan di awal tahun 1960-an, di Jawa sebenarnya sudah tidak ada lagi tanah yang bisa diredistribusi. Kalaupun ada, luasnya sangat tidak memadai. Gagasan untuk menjadikan tanah-tanah perkebunan sebagai obyek land-reform sudah tidak dimungkinkan lagi. Tanah-tanah itu sudah menjadi tanah milik perkebunan negara dan perkebunan swasta, yang konon sangat diperlukan guna mendapatkan pemasukan devisa bagi negara. Sehingga karena tanah perkebunan sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi, maka obyek land-reform kemudian dialihkan ke tanah-tanah pertanian.

TANAH PERTANIAN SEBAGAI  OBYEK LAND-REFORM.

Dengan asumsi bahwa kepemilikan tanah-tanah pertanian juga dirasa tidak adil,  maka pemilikan atas tanah-tanah pertanian itu perlu ditata kembali. Obyek land-reform lalu dialihkan ke tanah-tanah pertanian, yaitu tanah kelebihan yang berupa luas tanah milik perorangan yang sudah dikurangi dengan luas maksimal yang diijinkan oleh UUPA. Misalnya, apabila seorang petani mempunyai tanah 2,5 hektar, maka tanah yang bisa dijadikan obyek land-reform hanyalah 0,5 hektar saja, karena berdasar UUPA tanah yang 2 hektar masih bisa dimiliknya.

Sudah barang tentu para pemilik tanah yang luas berusaha untuk menghindari pelaksanaan UUPA ini. Dengan memanfaatkan celah hukum yang ada, mereka mengalihkan hak pemilikan tanahnya kepada anggota keluarganya (anak), sehingga pada akhirnya tidak ada lagi tanah yang tersisa untuk menjadi obyek land-reform. Harapan untuk bisa mendapatkan tanah kelebihan yang luas agar bisa dibagikan kepada kaum tani tak bertanah tidak terwujud karena tampaknya tuan tanah di Indonesia mempunyai karakteristik lain, yang berbeda dengan tuan tanah di negara tetangga kita seperti di Cina, Filipina dan India. Di negara-negara tersebut, banyak tuan tanah yang punya puluhan, bahkan ratusan ribu hektar tanah. Sehingga kalaupum sebagian tanahnya dibagikan kepada keluarganya (sesuai dengan undang-undang land-reform yang baru) masih lebih banyak tanah yang tersisa yang bisa dijadikan obyek land-reform.

Hal ini kemudian menjadi sebab dari konflik horizontal yang sangat tajam dan sangat politis sifatnya (aksi sepihak), yaitu konflik di antara para pemilik tanah yang luas di satu pihak (yang umumnya adalah anggota PNI dan pemimpin kelompok agama yang berafiliasi dengan NU) melawan kaum tani yang tidak bertanah di pihak yang lain (yang didukung oleh PKI). Di Jawa Tengah konflik yang keras terjadi antara PNI versus PKI, di Bali juga antara PNI  versus PKI, sedang di Jawa Timur antara NU versus PKI.  Konflik atas tanah ini terhenti ketika PKI dibubarkan bersamaan dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI, yang juga menandai dihentikannya pelaksanaan UUPA. Namun konflik ini bisa dikatakan menjadi dasar dari konflik politik berikutnya, yang mengakibatkan pembunuhan atas beratus-ratus ribu anggota dan simpatisan PKI, terutama anggota BTI,  di berbagai tempat di Indonesia.

Dalam kaitan ini, menarik sekali pendapat Moch. Tauchid, penulis buku Masalah Agraria dan salah seorang pendiri BTI untuk kita perhatikan. Dalam sebuah percakapan dengan penulis ketika UUPA mulai dilaksanakan di tahun 1963, dia sudah memprediksi bahwa UUPA akan gagal dilaksanakan. Dalam pandangannya, hal ini disebabkan karena, pertama, tanah-tanah yang bisa dijadikan obyek land-reform sangat sedikit jumlahnya, terutama karena tanah-tanah perkebunan tidak bisa diganggu-gugat lagi. Jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah kaum tani yang meminta tanah. Dan jumlah yang sedikit itu masih dikurangi dengan manipulasi yang dilakukan para pemilik tanah yang luas, yang dikategorikan sebagai tuan tanah, dengan cara mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain. Kedua, dia juga memprediksi bahwa pelaksanaan UUPA ini akan mendapat perlawanan yang keras dari para pemilik tanah yang luas atau tuan tanah itu. Dalam pandangannya, pelaksanaan UUPA telah tergelincir menjadi alat politik untuk mencari dan mendapatkan pengaruh, sehingga kemudian menjadi sebab dari konflik di antara sesama kaum tani sendiri. Dia menyesalkan bahwa UUPA terlambat dilaksanakan. Proklamasi kemerdekaan seharusnya segera diikuti dengan proklamasi pelaksanaan land-reform, yang sekaligus bisa dipakai untuk mendapatkan dukungan rakyat bagi proklamasi itu.

MASALAH LAND-REFORM MASA KINI.

Masalah-masalah yang dihadapi pelaksanaan land-reform di Jawa sekarang, antara lain adalah:

OBYEK LAND-REFORM YANG SEMPIT DAN JUMLAH KAUM TANI TAK BERTANAH YANG SEMAKIN BANYAK.

Seperti yang dikatakan Moch. Tauchid, masalah pertama yang dihadapi dalam pelaksanaan landreform sekarang ini adalah  kenyataan bahwa di Jawa luas tanah yang bisa dijadikan obyek land-reform tidak bertambah luas, melainkan justru semakin sempit. Sementara itu, telah terjadi pertambahan penduduk yang amat dahsyat. Jumlah penduduk Indonesia tidak lagi hanya 60 juta orang seperti di tahun 1940-an, melainkan sudah menjadi 120 juta jiwa di tahun 1960 dan 240 juta jiwa sekarang (2011). Dan sejalan dengan itu, jumlah kaum tani yang tidak bertanah juga menjadi bertambah besar secara signifikan, sekalipun prosentase penduduk yang hidup di bidang pertanian sekarang jauh berkurang. Karena itu, redistribusi yang menggambarkan kaum tani bisa mendapat tanah yang cukup luas untuk kehidupan keluarganya seperti yang digambarkan di masa awal kemerdekaan dulu sudah jelas tidak dimungkinkan lagi. Pelaksanaan PPAN (Program Pembaharuan Agraria Nasional) yang berupa redistribusi tanah yang dilakukan di Cilacap, yang diunggulkan oleh rejim SBY sehingga pembagian sertifikat tanahnya diserahkan sendiri oleh SBY di istana Bogor beberapa waktu yang lalu, ternyata hanya mampu meredistribusi tanah seluas 500 (baca: l-i-m-a  r-a-t-u-s) meter persegi untuk setiap keluarga. Di desa Pundungsari (Gunung Kidul), redistribusi atas tanah Kasultanan (Sultan Gronden) hanya diberikan dalam bentuk sertifikat hak pakai, bukan hak milik. Sehingga kedua bentuk redistribusi itu jelas sekali sulit untuk dikategorikan sebagai bentuk land-reform yang sejati!

LAND-REFORM: MASALAH JAWA TAPI JAWABANNYA DI LUAR JAWA

Kalau land-reform diartikan sebagai redistribusi tanah kepada kaum tani tak bertanah dengan luas yang cukup maka sudah pasti hal ini tidak bisa dilakukan di Jawa. Yang bisa dilakukan di Jawa adalah redistribusi kecil-kecilan atas tanah yang masih bisa dijadikan obyek land-reform dan  luas seluruhnya tidak lebih dari 0,5 juta hektar. Redistribusi atas tanah yang seluas itu hanya akan memberi kaum tani sebidang tanah yang sangat tidak signifikan luasnya. Seperti sudah disebutkan di atas, pelaksanaan PPAN yang dilakukan pemerintahan SBY di Cilacap ternyata hanya meredistribusi tanah seluas 500 m2/keluarga. Tanah-tanah yang diperkirakan akan bisa diredistribusikan itu sekarang masih dalam tahap diperjuangkan oleh kaum tani dan berasal antara lain dari: (a) Penyelesaian atas tanah-tanah sengketa, yang umumnya bersengketa dengan pihak perkebunan. (b) Penyelesaian atas tanah-tanah terlantar, terutama tanah-tanah yang tidak jelas status dan peruntukannya. (c) Perubahan status hutan yang masih dimungkinkan menjadi tanah pertanian (yang dikelola Perhutani).

Dari gambaran di atas, maka jelas sudah bahwa pulau Jawa tidak akan bisa menjawab tuntutan land-reform yang dimaksudkan oleh kaum pergerakan itu. Jawaban yang bisa memberi kaum tani tanah  yang signifikan luasnya ada di pulau-pulau lain di luar Jawa, yang tanahnya masih tersedia secara luas. Gambaran ini tampaknya sesuai dengan PPAN yang direncanakan pemerintah. Delapan juta hektar tanah yang disediakan untuk program PPAN itu sudah pasti hanya bisa disediakan di luar Jawa, karena tidak ada lagi tanah kosong seluas itu di pulau Jawa. Karena itu maka seharusnya pelaksanaan PPAN  memasukkan unsur perencanaan pemindahan kaum tani dari Jawa ke pulau-pulau lain yang masih mempunyai tanah yang luas untuk dibagikan.

Tapi PPAN yang direncanakan pemerintah ternyata tidak memuat hal-hal tentang pengorganisasian dan  pemindahan kaum tani dari pulau Jawa ke tempat di mana tanah-tanah obyek land-reform itu berada. Bahkan penyediaan tanahnya sendiri juga masih belum jelas. Dari sisi ini, kita sudah bisa mengatakan bahwa sebenarnya PPAN bukanlah program yang serius. PPAN lebih bisa kita anggap sebagai propaganda politik, bahkan propaganda kosong semata. Betapa tidak, mempropagandakan redistribusi tanah seluas 500 meter persegi/keluarga sebagai Program Pembaharuan Agraria Nasional  adalah omong kosong yang tiada taranya.

PERLU TEROBOSAN

Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa land-reform dalam arti bisa memberi tanah dengan luas yang cukup sesuai dengan UUPA di Jawa bukanlah usaha yang berdiri sendiri. Usaha ini harus dibarengi dengan usaha pemindahan kaum tani ke tempat di mana tanah-tanah itu disediakan, yang dulu dikenal dengan program transmigrasi. Tetapi masalahnya, program ini menjadi sangat tidak menarik akhir-akhir ini, terutama sejak para transmigran diusir dari daerah-daerah yang bergolak.

Karena itu perlu ada terobosan baru agar kaum tani, khususnya kaum tani yang muda-muda, mau pindah ke luar Jawa. Untuk itu maka pertama-tama harus dirumuskan bentuk kehidupan baru yang dicita-citakan dan hendak dibangun (the imagine society), yang bisa menarik minat kaum tani muda, baik secara praktis (menjamin kehidupan dan masa depan yang lebih baik, bisa dilaksanakan dan bisa segera membuahkan hasil), maupun dari sisi idealismenya (ikut membangun bangsa dan negara, ikut membangun masyarakat adil dan makmur).

Selain itu, harus juga dirumuskan bidang-bidang dan  kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan. Kalau dipilih bidang pertanian, maka jenis pertanian apa yang akan dipraktekkan. Perkebunan? Atau, tanaman pangan? Atau, peternakan? Atau, perikanan? Atau kombinasi-kombinasi di antara keempatnys (mixed-farming)? Juga perlu ditentukan pola rekrumennya. Siapa yang akan diajak? Kaum tami muda saja, atau siapa saja yang berminat? Hanya laki-laki, atau perempuan juga boleh ikut? Dan sebagainya, dan sebagainya. Dan mungkin, kita bisa belajar dari pengalaman Brigade Pembangunan di jaman Revolusi Kebudataan-nya Ketua Mao (belajar tentang kegagalan), atau belajar dari pengalaman Kibbutz di Israel yang menjadi bagian dari pertahanan negara dan  produksi pertanian (belajar tentang keberhasilan).

Terakhir, mungkin kita juga perlu melakukan experimen-experimen sebelum gagasan kita bisa dimplementasikan secara luas. (*)

*Direktur Pelaksana CSDS (Center for Social-democratic Studies) di Yogyakarta.

ARTIKEL TERKAIT