Bina Desa

Kedaulatan Pangan dan Tantangannya

Buku “Tantangan Kedaulatan Pangan” ini tepat rasanya bila dikatakan sebagai kritik (sekaligus simpati) dan juga skeptisisme kalangan ekonomi-politik terhadap pengetahuan empiris para “agroecologists” tentang apa yang dilakukan petani dan aktivitas mereka sebagai praktisi, ketimbang aspirasi mereka terhadap “teori besar” dan keberpihakan, yang mengorbankan pesimisme intelektual untuk optimisme kehendak.

Judul                 : Tantangan Kedaulatan Pangan
Penulis             : Henry Bernstein, Dianto Bachriadi
Penerbit           : ARCBOOKS, BINA DESA
Cetakan            : I, Oktober 2014
Tebal                 : xix + 123 halaman
ISBN                  : 978-602-71317-0-5

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), di seluruh dunia terdapat 805 juta jiwa orang kelaparan pada 2012-2014, sebanyak 791 jiwa mengalami kelaparan kronis dengan 1 dari 9 orang di dunia kelaparan dan kurang gizi. Di Indonesia tercatat 29 juta jiwa penduduk berada di bawah garis kemiskinan dan 18 juta jiwa di antaranya berada di pedesaan. Tahun 2013-2014, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan lahan hanya  0,36 hektar. Singkatnya krisis pangan dunia dan di Indonesia masih rawan. Kesejahteraan petani juga masih merupakan tema utama pembangunan. Lalu apakah “Kedaulatan Pangan” sanggup sekaligus cocok dan mencukupi, sebagai alternatif solusi?

Di tengah kegagalan dan buruknya penanganan kemiskinan dan krisis pangan global khususnya di masyarakat pedesaan Kedaulatan Pangan adalah antithesis utamanya. Gerakan Kedaulatan Pangan (KP) yang rumusannya telah dideklarasikan pada Forum Kedaulatan Pangan, Nyeleni 27 Februari 2007, kian mendapat kontekstualisasinya. Pada saat bersamaan KP sebagai sebuah gerakan mau pun konsep teoritis juga mendapat tantangan yang tak mudah, utamanya dalam menjawab persoalan yang justru muncul dari elemen-elemen kunci dalam kerangka konsep KP sendiri. Seperti misalnya, bagaimana KP memenuhi kebutuhan pangan global khususnya buruh non-petani yang berpendapatan rendah sementara KP menyandarkan gerakannya pada jalan petani (peasant way)?

Skeptis

Henry Bernstein, Emiretus Professor bidang Studi Pembangunan di The University of London dalam tulisannya “Kedaulatan Pangan Melalui Jalan Petani: Sebuah Pandangan Skeptis“ mengajukan “skeptisisme” yang faktanya mengejutkan bahwa skeptisisme tersebut cukup beralasan dan memiliki bukti kuat.

Bernstein menilai tidak ada agenda “transformasi” dalam rumusan gerakan KP, mengingat KP menghilangkan elemen penting dalam ekonomi-politik agraria, secara lebih luas juga ekonomi politik kapitalisme, serta sejarah dunia dalam upayanya membangun tesis dan antithesis utamanya: bentuk lain kapital (capital other). Kegagalan tersebut cukup mengejutkan, dan mengkhawatirkan, dalam kaitannya dengan pembangunan teori dan investigasi sejarah mengenai kondisi reproduksi masyarakat petani (petani kecil/ petty commodity producers), termasuk kurangnya analisa sosial-ekonomi yang mereka klaim sebagai keunggulan konsep agroekologi (hal. 92).

Dalam buku yang ditulis Brenstein bersama Doktor Sosiologi Politik dari Flinders University, Adelaide of South Australia, Dianto Bacriadi “Tantangan Kedaulatan Pangan” (ARCBooks dan Bina Desa, Oktober 2014), menilai sejarah kapitalisme yang menjadi acuan kerangka teori KP tak mencukupi. Kerangka kerja KP menjelaskan gagasan kapitalisme sebagai “sistem dunia” yang digunakan dalam spektrum yang luas. Kapitalisme—atau dalam fase globalisasi saat ini—dikenal dan dipakai sebagai induk dari industrialisasi usaha pertanian, atau dipertukarkan dengan ideologi-ideologi modernitas (proyek modernisasi)—yang didasarkan pada sejumlah konsep tertentu seperti rasionalitas, efisiensi dan penaklukan alam yang dipertahankan untuk membangun sistem pangan dunia (thesis) yang dilawan oleh konsep KP (antithesis).

Karena pandangan tersebut dunia lantas memahami secara garis besar KP bertujuan untuk “ekologi berbasis kewargaan/ecological basis of citizenship”, sebuah “masyarakat agraria” yang merespon bekerjanya “spesialisasi dengan diversifikasi, efisiensi dan kecukupan (sufficiency) dan komoditisasi dengan kedaulatan” (Wittman 2010) dan sebuah seruan radikal “demokrasi sistem pangan untuk menolong kaum miskin dan kelompok tak terjangkau” (Holt-Gimenez and Shattuck 2010) yang di dalamnya termasuk mengembalikan pasar dan pengaturannya ke tingkat lokal (Fairbairn 2010). Bagi KP petani adalah pelopor.

Persoalannya, tulis Bernstein, ketika bentuk lain kapital (agroekologi) ditunjukkan melalui praktek subsistensi, kemandirian (self sufficient) dan swasembada (self provisioning) versus surplus produksi, inilah yang menjadi persoalan fundamental bagi Kedaulatan Pangan. Bagaimana dengan pengaturan agribisnis transnasional dan perdagangan internasional dalam rangka melindungi produksi pangan domestik dan petani kecil sebagai pengawal rakyat?

Ekonomi Politik vs “Agroecologists”

Buku “Tantangan Kedaulatan Pangan” ini tepat rasanya bila dikatakan sebagai kritik (sekaligus simpati) dan juga skeptisisme kalangan ekonomi-politik terhadap pengetahuan empiris para “agroecologists” tentang apa yang dilakukan petani dan aktivitas mereka sebagai praktisi, ketimbang aspirasi mereka terhadap “teori besar” dan keberpihakan, yang mengorbankan pesimisme intelektual untuk optimisme kehendak.

Buku Tantangan Kedaulatan Pangan
Buku Tantangan Kedaulatan Pangan

Namun demikian, kesimpulan buku ini menyatakan bahwa pandangan skeptis yang disusun bukan merupakan penolakan atas arah advokasi KP secara keseluruhan. Skeptisisme tentang KP tidak menghalangi dukungan untuk beberapa kasus redistribusi land reform. “Intinya adalah bahwa, simpati dalam semua kasus tersebut tidak harus didasarkan pada, atau menyebabkan, keyakinan untuk keselamatan kemanusiaan (atau lebih-lebih keselamatan petani) melalui pertanian skala kecil yang memang dikaburkan oleh Kedaulatan Pangan” (hal 92-93).

Sementara itu uraian Dianto Bachriadi dalam “Adakah Jalan untuk Kedaulatan Pangan dan Pembaharuan Agraria di Indonesia?” dalam bab I buku ini seakan memastikan bahwa KP baru bisa berjalan jauh dan menjadi alternatif jika dibarengi dengan kebijakan Pembaharuan Agraria dengan peran negara (kehendak politik) secara menyeluruh dan serius (hal 13-19).

Saya sendiri berkesimpulan, seberapa pun skeptisnya rumusan dan konsep KP dalam ruang ekonomi-politik, namun untuk konteks Indonesia “Kedaulatan Pangan” adalah “pilihan politik” pangan yang rasional dan utama. Dalam buku Ekonomi Politik Pangan: Kembali Ke Basis, dari Ketergantungan ke Kedaulatan (Bina Desa, 2011) menyebutkan bahwa kedaulatan pangan adalah suatu gerakan sosial yang menuntut terwujudnya sistem pangan yang adil.

Terlepas dari itu, buku ini memberi sumbangan sangat berharga bagi kajian ekonomi politik dalam sosiologi masyarakat seperti di Indonesia yang notabene masih berkutat dengan masalah-masalah agararia yang belum akan selesai.

Scroll to Top