Bina Desa

Penetapan Kawasan Pertanian dan Perlindungan Petani

Oleh: Gunawan*

Rabu  5 November 2014, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut. Putusan ini mengakibatkan dihapuskannya pengaturan hak sewa atas tanah negara yang digarap petani. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) karena politik hukum demikian adalah politik hukum peninggalan kolonialisme yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat.

Di dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan luas lahan pertanian bagi petani, caranya dengan meredistribusikan tanah kepada petani yang bersumber dari tanah negara bebas, tanah negara bekas tanah terlantar dan konsolidasi lahan. Petani bisa mendapatkannya melalui hak sewa dan izin pengusahaan, izin pengelolaan atau izin pemanfaatan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi maka tanah yang diredistribusikan kepada petani tidak boleh dipungut sewa oleh pemerintah, dan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa redistribusi tanah harus memprioritaskan petani yang benar-benar tidak punya lahan pertanian.

Yang kini menjadi persoalan bagaimana pemerintah menyediakan tanah untuk petani dan melindungi lahan pertanian pangan ? Karena selain menjadi kewajiban hukum bagi Pemerintah karena diperintahkan oleh peraturan perundangan, juga karena presiden Jokowi di dalam visi-misi pencapresannya (Nawacita), – sebagaimana Presiden SBY dulu – juga menjanjikan meredistribusikan tanah kepada petani.

 

Reforma Agraria dan Penataan Ruang

Salah satu Kementerian baru yang dibentuk presiden Jokowi adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Nama kementerian tersebut seharusnya mencerminkan kehendak untuk mengakhiri sektoralisme agraria dan sebagai dasar pembangunan di mana tata ruang wilayah menjadi titik mula pembangunan karena terkait perencanaan tata guna sumber-sumber agraria.

Pasal 33 UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) telah memberikan mandat adanya Hak Menguasai Negara atas agraria (bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.  Dalam rangka itu UUPA 1960 kemudian memberikan mandat kepada Pemerintah untuk membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah telah diberi wewenang untuk melakukan penetapan kawasan, sebagai dasar bagi Pemerintah menentukan kawasan perdesaan dan perkotaan. Dari tata ruang dan tata wilayah kemudian menjadi dasar bagi rencanaan peruntukan tanah:  lahan pertanian pangan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, industri, pemukiman dan perumahan, kepentingan umum, zonasi perairan pesisir, komponen pendukung pertahanan negara dan lain-lain.

Dengan adanya rencana umum penggunaan tanah, sedari awal konflik agraria bisa dihindarkan, pencegahan bencana bisa disusun dan penguasaan serta pengunaan sumber-sumber agraria didedikasikan untuk mencapai tujuan sebesar-besar  kemakmuran rakyat. Oleh karena itu penetapan kawasan seharusnya memperhatikan kepadatan penduduk,  ekologi dan peruntukan tanah yang lain yang juga diatur dalam berbagai undang-undang.

Di negara-negara industri maju, keberhasilan industrinya sangat ditentukan atau diawali dari keberhasilannya melakukan penataan penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, bahkan ada yang harus melangsungkan terlebih dahulu reforma agraria.

Hak Asasi Petani

Agar Pemerintah dapat menjalankan kewajiban memberikan jaminan luas lahan pertanian bagi petani, Pemerintah harus melakukan penetapan kawasan perdesaan, karena desa adalah pertahanan bagi kawasan lahan abadi pertanian sebagaimana mandat Undang-Undang Penataan Ruang. Lalu setelah kawasan ditetapkan,  Kewajiban Pemerintah adalah melakukan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, baik melalui intensifikasi dan ekstensikasi lahan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Baru kemudian tanah negara di kawasan pertanian inilah yang nantinya bisa diredistribusikan kepada petani, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Tentunya hanya sedikit obyek tanah yang bisa diredistribusikan jika mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Di dalam RUU Pertanahan ada lebih banyak obyek tanah yang bisa diredistribusikan kepada tani, yaitu obyek-obyek tanah yang dimasukan dalam kategori Tanah Obyek Reforma Agraria. Namun sayangnya pembahasan RUU Pertanahan tidak dilanjutkan. Memang harus diakui RUU Pertanahan belum cukup menjawab permasalahan pertanahan, misalnya masalah tanah di kawasan kehutanan.

RUU Pertanahan berbeda dengan UUPA 1960 dalam menentukan jenis hak atas tanah,

dengan mengeluarkan hak memungut hasil hutan dari hak atas tanah. Padahal, jika RUU Pertanahan konsisten terhadap UUPA 1960, mempertegas bahwa hak memungut hasil hutan adalah ranahnya pertanahan, diharapkan akan mengakhiri tumpang tindih antara kebijakan pertanahan yang sebelumnya merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan kebijakan kehutanan yang merupakan kewenangan dari Kementerian Kehutanan.

Kehadiran Kementerian Agraria dan Tata Ruang, tidak boleh sekedar mengangkat BPN ke level kementerian. Akan tetapi kementerian yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi urusan-urusan Pemerintah di bidang agraria, menyelesaikan konflik agraria dan melaksanakan reforma agraria guna mewujudkan kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan melindungi tujuan agraria bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya tidak pada kepemilikan tanah di kawasan hutan, wewenangnya hanya pada pemanfaatan hasil hutan, dan perizinan atas hal tersebut haruslah berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sehingga akan membantu bagi Kementerian Agraria dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di perdesaan dan tanah adat yang berada di dekat atau masuk kawasan hutan, serta dalam menentukan obyek reforma agraria dari tanah kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi dan tanah negara berasal dari pelepasan kawasan hutan.

Presiden Jokowi perlu “blusukan konflik agrarian dan reforma agraria” bersama Menteri Agraria, Menteri Desa, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, dan para Kepala Daerah, karena singkronisasi kebijakan di lapangan agraria, pertanian dan pangan adalah “PR” Pemerintah yang sulit diselesaikan.

12049283_10205934582664194_7115918568574593167_n*Penulis adalah Ketua Komite Pertimbangan Organisasi IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice,) Presidium Badan Musyawarah Petani Indonesia (Bamus Tani) dan Anggota Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan RI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top