Bina Desa

Asmat: Sudut Lain

Judul buku                  : Yang Menyublim di Sela Hujan
Pengarang                   : Fawaz
Penerbit                       : Ea Books
Tebal                            : 313 halaman
ISBN                            : 978-602-1318-49-2
Presensi                      : Irfan Ma’ruf*

Akhir-akhir ini banyak kabar berita yang membicarakan Asmat, Papua. Membaca kabar berita itu, sontak teringat pada sebuah karya karangan Fawaz sarjana Antropolog UGM yang berjudul “Yang Menyublim di Sela Hujan”. Pembaca bergerak menuju tumpukan buku yang telah merekam perjalanan seorang sarjana muda yang mengabdikan diri mengajar di Sokola Asmat, Papua.

Pada pengantar buku yang disampaikan Butet Marungung pembaca dikagetkan dengan pernyataan yang mengatakan: Saat melihat masyarakat tidak bersandal langsung menerjemahkan dan bergumam kasihan, liar, miskin, bodoh, kotor, dan lain sebagainya. Sesungguhnya penerjemahan itu seperti sedang melakukan kejahatan luar biasa. Seolah orang yang beranggapan seperti itu dalam posisi lebih bahagia, beradab, kaya, pintar, bersih, dan sopan. Berlaku juga ketika datang dengan niat membantu di suatu daerah. Setulus apapun niat untuk membantu, namun, jika pikiran masih terkungkungkung oleh penerjemahan atas apa yang dilihat kasat  mata tanpa mengetahui betul situasi apa yang sebenarnya terjadi, tentu akan mewarnai program bantuan yang akan diberikan. Jika sebuah bantuan dipersepsikan secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah penaklukan. Karena bantuan tentu akan memaksakan masyarakat untuk memakai ukuran-ukuran pembawa program. Pengantar yang disampaikan Butet membuat pembaca menyelam setiap kata buku lebih lenjut.

Dalam buku karangan Fawaz, ia membagi menjai beberapa bagian. Ia mengawali bagaimana perjalanan jauh yang harus ditempuh untuk mencapai daerah Asmat. Perjalanan itu secara sekilas memang seperti perjalanan seperti biasa, namun, pembaca menilai perjalanan itu mempunyai harapan besar atas kondisi transportasi di Papua. Ia juga memaparkan memaparkan kondisi sosial budaya yang ada di Asmat dalam pembagian golongan masyarakat. Masyarakat yang notebenenya pendatang mengendalikan perekonomian masyarakat, tidak hanya itu, tidak jarang suku Asmat mendengar suara penebang pohon liar menggunakan mesin untuk kemudian dijual di Jawa. Selanjutnya Fawaz juga membongkar pandangan lama yang mengatakan suku Asmat sebagai suku yang memakan antar sesama (Kanibal). Ia membalikan pandangan itu dengan budaya karya seni ukir suku Asmat yang mendunia, yang terpajang di Museum of Natural Art di New York, Amerika Serikat.

Selanjutnya Fawaz memaparkan program literasi yang dijalaninya. Program diawali dengan prinsip sudut pandang yang mengikuti sosial budaya masyarakat sekitar. Artinya program yang diterapkan mengikuti sosial budaya masyarakat. Ia beranggapan berbagai persoalan akan muncul jika pendidikan dibuat dengan perspektif sepihak tanpa melihat sosial, kultur, budaya yang ada pada masyarakat. Selama ini program yang hadir di masyarakat muncul karena persepsi sepihak sehingga yang terjadi penyamaan sistem. Dengan adanya persamaan sistem pendidikan yang diberikan kepada anak didik, hal itu akan mengaleniasi siswa dari sosial budaya masyarakat.

Sistem pendidikan yang terpusat dan diterapkan di suatu daerah tanpa mengikuti sosial budaya akan menjadikan murid merasa dirinya lebih berpendidikan daripada masyarakat di lingkugan sekitarnya dan menaleniasi murid dari linungan. Dalam pandagan masyarakat yang memegang kuat adat istiadat, masuknya sebuah sistem pendidikan yang tidak mengikuti adat istiadat dianggap sebagai sistem pendidikan yang mengajarkan “ilmu pergi”. Belum lagi kotribusi ilmu yang diajarkan dianggap tidak memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam komunitas. Tentu kondisi itu akan membuat timpang dalam linkungan sekitar.

“Pak guru, saya minta izin. Hari ini saya tidak bisa ikut sekolah. Saya harus belah kayu di hutan. Persediaan kayu bakar di rumah sudah sedikit sekali.” Tentu saya mengizinkan. Kerja, bagi manusia, tentu saja itu yang utama, lebih-lebih pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok di rumah. Sedang di sekolah, seperti artinya, sekedar mengisi waktu luang dengan pelajaran bermanfaat. Jadi, jika memang ada waktu luang mari kita manfaatkan untuk sekolah. Karena sekolah hanya satu dari banyak media untuk mengunduh ilmu, sedang proses mencari ilmu, mengambil pelajaran, bisa kita raih dalam setiap nafas kehidupan yang kita lalaui. Jadi belajar tidak melulu harus di sekolah. (hal 166).

Kalimat di atas seolah membuka pandang pembaca untuk mengerti lebih dalam tentang arah pendidikan bangsa ini. Pendidikan dianggap sangat kaku dan hanya dapat diperoleh di bangku sekolah. Pandangan kaku tentang pendidikan bangku sekolah yang formal dan serba rapi, seolah sekolah menjadi prioritas nomor satu bahkan nyaris menghilangkan budaya yang sangat mendasar. Norma-norma yang selama ini ada dalam linkungan keluarga seperti membantu pekerjaan orang tua, sopan santun dan budaya masyarakat yang diturunkan oleh nenek moyang mulai pudar. Begitupun dengan orang tua, menganggap pendidikan adalah satu-satunya yang akan menentukan masa depan anak, sehingga hampir seluruh waktunya dilakukan dengan bekerja agar anaknya dapat sekolah. Padahal pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dalam tulisan Fawas, ia memperkenalkan istilah “Tanam pantat”, istilah menarik yang diibaratkan untuk menggambarkan sekelompok adat yang sejak ratusan tahun melakukan pembelajaran keterampilan dan pengetahuan dengan berburu dan bertahan hingga saat ini. Kemudian harus duduk dan berseragam. Fawaz memberikan sebuah pandangan baru agar seorang guru mampu berbuat adil kepada anak didik. Bersekolah namun tetap patuh dan membantu orang tua.

Ditengah gejolak masalah yang mencuat di Asmat akhir-akhir ini, buku ini sangat relefan untuk dibaca, pembaca akan dibawa ke kondisi riil yang ada di Asmat, karena apa yang ditulis merupakan pengalaman langsung, walaupun mengalami perubahan waktu. Pembaca yang berkecimpung dalam dunia pendidikan juga diajak untuk mengkaji lebih dalam tentang sebuah sistem yang sedang dijalani. Berbagai klaim atas penyebab masalah yang terjadi di Asmat hari ini, buku ini akan memberikan sudut pandang baru, untuk tidak melakukan kejahatan luar biasa dengan judgment.***

 

*Irfan Ma’ruf adalah alumnus mahasiswa kesejahteraan sosial UIN Jakarta, dapat dihubungi via email erfanmaaruf@gmail.com

 

Scroll to Top