Warga harus rela antre melewati jalan sempit, berkelok, dan berdesakan. Tujuannya, sebungkus nasi, penuh berkah dan doa. Pemandangan spiritual yang di jaman kapitalis sekarang makin sulit di dapatkan karena dalam era modern soal makanan didangkalkan menjadi hanya soal pemenuhan konsumsi dan potret keserakahan pola hidup manusia modern. Sungguh tradisi itu mengajarkan, soal pangan adalah juga soal nilai dan spritualitas.
ASIH, 26, sigap melangkah. Sesekali tangannya harus menahan desakan perempuan lain yang berada di sekelilingnya. Sambil menggendong anaknya, ibu satu anak itu bergegas mendekati pintu gerbang makam Sunan Kudus, yang berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kudus, Jawa Tengah.
Berulang kali Asih mengusap keringat yang membanjiri dahinya. “Panas. Tapi, saya rela berdesak-desakan demi ngalap berkah,” kata Asih, Selasa (6/12).
Wajahnya terlihat puas ketika ia berhasil membawa nasi yang dibungkus daun jati. Ada dua, satu untuk dia dan satu untuk anaknya.
Asih bukan warga Kudus. Ia datang dari Jepara, yang berjarak beberapa puluh kilometer dari Kudus. Bersama tetangga dan rombongan lain dari Jepara, mereka sudah tiba di Kudus sejak subuh.
Dari Jepara, mereka sudah menegakkan tekad untuk mendapatkan nasi jangkrik atau sego menoro. Nasi itu dibagikan satu tahun sekali.
“Kami sudah antre sejak tadi pagi. Saat pembagian dimulai, saya harus berdesak-desakan lebih dari 1 jam, sebelum mendapatkan sego menoro,” kata Asih.
Asih dan warga lain meyakini bahwa nasi jangkrik membawa berkah. “Ngalap berkah Mbah Sunan,” kata Asih.
Ngalap dalam bahasa Jawa berarti mengharapkan. Sunan Kudus adalah salah satu Wali Songo. Ia bernama asli Raden Ja’far Shodiq.
Di kompleks makam Sunan Kudus, ada juga masjid dan menara Kudus yang sudah terkenal. Saat ini, ketiga tempat itu dikelola sebuah yayasan.
Berkah yang diharapkan warga bermacam-macam bentuknya. Ada yang memimpikan diberi kelancaran rezeki, ada juga untuk kesembuhan penyakit. Karena itulah, mereka rela antre panjang, juga berdesakdesakan karena jalan menuju pintu gerbang makam sangat sempit dan berkelok-kelok.
Untungnya pengurus makam membuat aturan untuk membedakan pengantre. Kaum perempuan dibedakan dan berada di antrean dari sebelah selatan makam, sedangkan kaum pria dari sebelah utara.
“Kalau tidak dipisahkan, bisa kacau,” kata seorang penjaga pintu makam.
Nasi jangkrik sangat khas dan identik dengan pembungkusnya dari daun jati. Selain nasi, di dalamnya juga ada daging kerbau atau kambing yang dimasak dengan bumbu garam dan asem. Agar tidak tumpah, bungkusan daun diikat dengan bambu atau anyaman jerami.
Konon, nasi jangkrik merupakan makanan favorit Sunan Kudus. Ia pun membagikan masakan kesenangannya itu kepada masyarakat pada setiap 10 Muharam atau Syura. Tahun ini, hari itu jatuh pada Selasa (6/12) lalu.
“Tradisi itulah yang kami teruskan hingga sekarang,” kata Em Nadjib Hassan, Ketua Yayasan Masjid Menara Makam Sunan Kudus. Ia menambahkan, filosofi pembagian nasi jangkrik adalah untuk membangun semangat berbagi kepada sesama manusia, terutama kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Berkah dibagikan untuk berbagai kalangan, baik muslim maupun nonmuslim.”
Tahun ini, untuk berbagi nasi jangkrik, yayasan memasak 6,53 ton beras, memotong 81 kambing dan 10 kerbau. Tahun sebelumnya, ada 6,1 ton beras, 73 kambing, dan 11 kerbau.
Semua bahan, kata Nadjib, diperoleh dari sumbangan warga. Bentuknya ada yang berupa uang, tapi tidak sedikit yang menyumbang beras atau ternak. Dari sumbangan itu, tahun ini yayasan bisa membuat sekitar 25 ribu nasi jangkrik, untuk dibagikan kepada masyarakat.
Dulu, ketika tradisi itu dilakukan Sunan Kudus, sebelum membagikan nasi ia mendoakannya terlebih dulu. Kini, tradisi doa itu dilanjutkan oleh para ulama di Kudus. Apa halnya dengan makanan siap saji di toko-toko?? ***