Bina Desa

Usrek Bergerak Untuk Kedaulatan Pangan Para Petani

Bantaeng-Ibu Usrek saat menghadiri Rembug Perempuan Pedesaan Nasional di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Yayasan Bina Desa/Gina

Menggorganisir petani akan Pertanian Alami tidak dilakukan atas dasar orientasi pasar akan tetapi atas dasar mewujudkan kedaulatan pangan

– Usrek-

Kemiskinan masih sangat melekat dengan para petani. Tidak jarang karena biaya pupuk yang mahal para petani harus rela berhutang pada saat musim tanam tiba dan baru bisa membayar pada saat musim panen. Jika panen gagal? Celaka, petani terlilit hutang, jika pun tidak Ia masih tetap perlu berhutang kembali saat musim tanam selanjutnya tiba karena penghasilan mereka tak cukup membuat mereka merdeka akan hutang. Begitu pula lah yang dialami oleh seorang perempuan petani asal Lumajang, ibu Usrek. Ia merasakan hal tersebut disaat Ia masih bertani secara konvensional dan belum mengenal pertanian alami.

“Jika tidak punya uang saat masa tanam, pinjam dulu, nanti ‘Yarnen’ (bayarnya panen)”, cerita ibu usrek saat ditemui penulis pada kegiatan Pendidikan Fasilitator Nasional di Malang.

Ibu Usrek pernah merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling miskin di dunia. Hal ini dikarenakan sejak masa kanak-kanak hidupnya penuh akan keprihatinan. Ibu usrek lahir dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai petani. Ia terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama padahal Ia merupakan murid yang cerdas dan berprestasi saat di sekolah dasar. Ia selalu menjadi perwakilan sekolah untuk lomba cerdas cermat, Ia seorang bintang di kala itu. Pihak sekolah pun mendatangi rumahnya untuk membujuk agar Ia melanjutkan pendidikan namun kondisi ekonomi keluarga yang sulit tak lagi bisa berkompromi. Usrek pasrah dan menerima keadaan. Ia pun lantas dijodohkan oleh orangtuanya dengan sosok pria asal kecong, Kabupaten Jember yang tidak Ia kenal sama sekali. Selama 2 tahun Ia bertunangan dan Pada tahun 1978, saat usianya baru 15 tahun Ia pun menikah.

Ibu Usrek menghabiskan hari-harinya di Dusun Plambangan, Desa Pasrujambe, Lumajang yang berada tepat di kaki gunung semeru. Ia merasa bahwa akses akan informasi di desa yang terbatas dan keadaan ekonomi keluarga yang sulit membuatnya tak tahu banyak hal sehingga manut begitu saja akan keputusan orangtuanya. Namun saat ini tidak ada penyesalan bagi ibu Usrek bahkan Ia bersyukur karena suaminya mendukung penuh dirinya untuk belajar, berorganisasi, dan bertani alami dan Ia selalu penuh semangat dan bekerja keras untuk memperbaiki nasibnya.

“Kalau aku tidak sekolah, anakku harus sekolah, kalau aku miskin, anakku tidak boleh miskin”, ujar Usrek penuh semangat.

Atas kerja kerasnya, usrek mampu membiayai pendidikan anak-anaknya lebih tinggi dari dirinya. Kegiatan sehari-harinya saat ini Ia jalani dengan bertani kopi, pisang, cengkeh, kelapa, kapulogo, bawang, dan sayuran bersama suami dan anaknya sambil berjualan jamu. Pada Tahun 2007 ibu Usrek mulai belajar mengorganisir setelah satu tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 Ia pertama kali berkenalan dengan CO Bina Desa, Nisa pada kegiatan pelatihan yang diadakan oleh Yayasan Gemapalu (Yayasan Gerakan Masyarakat Pedesaan Lumajang). Selain pengorganisasiian, bersama Nisa Ia belajar mengenai ketidakadilan gender.

Pada tahun 2009 melalui Bina Desa, ibu usrek pertama kali mengenal Pertanian Alami. Ia pun lantas mempraktekkannya. Pertama kali Ia mencoba mengaplikasikan pertanian alami pada ½ hektar lahannya dengan ditanami jagung secara alami. Hasilnya? Gagal total, jagung yang dihasilkan kecil-kecil, suaminya pun marah besar dan tak mau membantu kembali sama sekali untuk bertani alami. Namun hal tersebut tidak membuat ibu Usrek menyerah, Ia tetap bersikeras untuk tetap bertani alami walau harus berkonflik dengan suaminya, menurutnya lebih baik melarat daripada tidak sehat. Saat menanam yang kedua kalinya, hasilnya berangsur membaik dan ketiga kali ibu Usrek berhasil memanen jagungnya dengan hasil yang memuaskan. Melihat hasil panen ibu Usrek, orang-orang disekelilingnya perlahan-lahan mengikuti jejak ibu Usrek untuk bertani alami.

Pada tahun 2012, ibu Usrek membangun organisasinya sendiri yaitu kelompok Sido Makmur setelah sebelumnya menginisiasi sebuah organisasi perempuan yaitu Arimbi pada tahun 2008 namun akibat adanya konflik internal organisasi, pada tahun 2011 ibu Usrek memilih untuk keluar. Awal mulanya kelompok Sido Makmur hanya berfokus kepada pertanian alami, saat ini sudah berkembang dan memiliki program simpan pinjam bagi para anggotanya. Ibu Usrek pun mengorganisir anggota kelompok Sido Makmur untuk bekerjasama memanfaatkan pekarangan dengan menanam bawang pre (daun bawang). Hasil panen kemudian dikumpulkan di kelompok lalu dijual ke pengepul, sebelumnya Ia mencoba menjual langsung di pasar namun terasa merepotkan. Keseluruhan anggota dapat menghasilkan ½ kwintal bawang pre pertiga bulan untuk dijual dan selebihnya digunakan untuk konsumsi pribadi. Ibu Usrek menekankan bahwa pengorganisasian yang Ia lakukan tidak berorientasi pasar akan tetapi berorientasi untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

“Kita ini sebagai petani kalau sayuran, cabai, bawang itu harus beli, pengorganisasian yang saya lakukan itu gagal. Meskipun dari hasil panen yang dapat dijual sedikit, petani cukup akan pangannya, berdaulat akan pangannya”, ujar ibu Usrek.

Sido Makmur kini semakin berkembang, saat ini sudah terbentuk 3 kelompok Sido Makmur yaitu Sido Makmur 1 dengan jumlah 30 anggota yang berada di dusun Plambang, Sido Makmur 2 di dusun Ngampo dengan 21 anggota, Sido Makmur 3 di dusun Munggir masih 5 – 6 anggota. Ibu Usrek menegaskan bahwa organisasi lebih baik kecil terlebih dahulu tetapi berpotensi untuk berkembang menjadi besar. Diantara 3 kelompok Sido Makmur, hanya Sido Makmur 2 yang tidak ikut bertani alami. Mereka hanya tertarik pada program simpan pinjam. Hal ini dikarenakan sudah terorganisir oleh Dinas Pertanian untuk pertanian organik.

Pencapaiannya saat ini tak lantas membuat Ibu Usrek merasa berhasil, Ia menuturkan bahwa masih banyak yang harus Ia lakukan. Saat ini Ia dihadapi beberapa tantangan dalam mengorganisir seperti iming-iming uang kepada masyarakat oleh pemerintah dalam menawarkan program kerjanya sedangkan organisasi yang Ia bentuk bersifat swadaya, masing-masing anggota perlu mengeluarkan iuran sebesar Rp 3.000 per pertemuan perminggunya. Dari hasil kas kelompoknya, kini kelompoknya berhasil memiliki lahan bersama kurang lebih seluas 1 hektar yang Ia dan kelompoknya tanami tanaman kopi. Dalam satu tahun mereka bisa menghasilkan 1 ton biji kopi. Biji Kopi yang baik dan sudah disortir diolah, dikemas dengan merek kopi Jambe Sido Makmur, lumajang. Ciri khas kopinya adalah kopi dicampur dengan jambe (pinang). Kopi ini berkhasiat untuk mengobati keputihan, sakit pinggang, dan mencegah kanker. Ramuan ini Ia dapatkan ketika menjadi kader Gemapalu dan mendapatkan kesempatan belajar mengenai tanaman herbal selama 3 tahun. Walaupun Ia masih merasa belum berhasil, Ia sudah berhasil membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa Ia mampu membuat sebuah perubahan dan mengajak orang-orang disekelilingnya untuk bertani alami guna mewujudkan kedaulatan pangan bagi petani dan juga menjaga alam dari kerusakan akibat racun kimia. Pendidikannya yang hanya sebatas Sekolah Dasar kerap membuatnya direndahkan. “Ngapain sih melok itu, seng organisir gak berpendidikan, gak berpengalaman, gak punya apa-apa masa bisa berkembang?”, perkataan ini menjadi cambuk penyemangatnya hingga saat ini. (RA, 5/02/2020)

Scroll to Top