Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Indonesia melalui panel Dispute Settelment Body (DSB) WTO dengan menuntut Indonesia membayar kepada negara tersebut senilai US$350 atau Rp. 5 trilyun karena (berasumsi!) telah dicurangi. Apa yang menurut Amerika Serikat sebagai tindakan curang adalah karena dalam sejumlah pasal Undang-undang sektor pangan menyebut frasa “dalam negeri”. Frasa itu sendiri merujuk dan dimaksudkan sebagai upaya perlindungan kepentingan ekonomi nasional yang tak lain merupakan pelaksanaan mandat konstitusi demi melindungi kepentingan sektor pangan nasional, termasuk di dalamnya melindungi para produsennya yakni para petani kecil Indonesia.
Walhasil, untuk dapat terbebas dari tekanan agresi dagang Amerika Serikat (dan juga Selandia Baru dan Brazil) via WTO ini Indonesia dituntut untuk manut atau tunduk menuruti keinginan negara-negara tersebut dengan cara merevisi empat Undang-undang vital sektor pangan yang sedianya menjadi benteng perlindungan sektor pangan dan petani Indonesia. Pendeknya bagian-bagian dari Undang-undang yang dianggap mengandung maksud mementingkan, mengarus-utamakan dan melindungi urusan dalam negeri Indonesia harus dianulir, dibuang. Jika tidak maka Indonesia diharuskan membayar (retaliasi dagang) sebesar 5 trilyun kepada Amerika Serikat. Nilai ini belum termasuk yang dituntutkan oleh Selandia Baru dan Brazil.
UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, dan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 41 Tahun 2014.
Keempat Undang-undang di atas saat ini sedang dalam posisi rentan karena sudah ‘diparkir’ di Senayan dan masuk dalam agenda Prolegnas 2020-2024 untuk selanjutnya dapat dilucuti kelengkapan pelindungnya. Sehingga dengan demikian pasar Indonesia dapat makin terbuka lebar untuk dapat mengimpor sebesar-besarnya produk pangan dari ketiga negara tersebut serta negara-negara lainnya tanpa hambatan, bila perlu dengan cara memgesampingkan kedaulatan kita sebagai bangsa; memunggungi konstitusi bahkan menginjaknya.
Sangat mungkin sikap kasar khususnya oleh Amerika tersebut adalah ekspresi kekecewaan, sikap yang justru tidak fair dan cenderung kekanak-kanakan. Sebagai catatan, berdasarkan data perdagangan non-migas Januari – Juni 2018, Indonesia mengalami surplus 4,119 miliar dolar AS atas perdagangan dengan AS. Periode Januari-Juni 2017 malah lebih tinggi, mencapai 4,703 miliar dolar AS. Total ekspor non-migas Indonesia selama Januari-Juni 2018 ke AS tercatat sebesar 8,559 miliar dolar AS, sementara impor dari AS hanya 4,441 miliar dolar AS. Komoditas utama ekspor RI terdiri dari lemak dan minyak hewani atau nabati, karet, bahan bakar mineral, kayu dan barang dari kayu, aneka produk kimia, kertas dan kertas karbon, perabotan, ikan dan krustasea, serta pakaian dan aksesori pakaian (Kompas[dot]com: 07/2018).
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa pemerintah akan menghadapi situasi tersebut sebaik-baiknya. Namun demikian hingga tulisan ini dibuat belum tampak ada upaya signifikan dari pihak Indonesia untuk melakukan manuver diplomatik sebagai proses bargaining position terhadap negara-negara penggugat. Sebaliknya yang kemudian mencuat belakangan justru gaduhnya ruang publik atas lahirnya naskah akademik yang diikuti dengan RUU Cipta Lapangan Kerja atau yang ramai dikenal dengan Omnibus Law.
RUU yang tengah mendapat sorotan tajam bahkan penolakan oleh banyak kalangan tersebut merupakan bakal produk aturan perundangan yang memasukkan sedikitnya 77 materi UU yang dikanalkan demi memberi ragam kemudahan bagi dunia usaha dan investasi terutama dari investor asing. Dan seperti diduga sebelumnya keempat UU sektor pangan sebagaimana telah disinggung sebelumnya saat ini seluruhnya telah masuk dalam materi Omnibus Law tersebut. Walhasil tak sedikit pasal-pasal vital dari keempat UU itu ‘dioprek’ sedemikian rupa dan disesuaikan untuk tujuan ‘merelaksasi’ semua tata aturan tentang perdagangan pangan di Indonesia untuk menarik sebesar-besarnya investasi masuk ke Indonesia.
Pada UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dalam pasal 1 angka 7 tentang definisi Ketersediaan Pangan misalnya. Jika dalam UU Pangan pada poin impor “masih” secara tegas menyebuat adanya syarat dan kondisi, yakni dapat dilakukan apabila Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi, maka dalam Omnibus law bagi sektor pangan syarat dan kondisi tersebut sama sekali dihilangkan. Sehingga dengan demikian level atau kedudukan pangan hasil impor menjadi berstatus sederajat dengan pangan hasil produksi dalam negeri. Dan mengikuti definisi tersebut maka seluruh pasal terkait berikutnya serta merta dirubah seperti tampak pada pasal 14, 15, 36, 39 dan lain-lain, yang secara substansi kesemuanya memganulir semangat perlindungan dan pengutamaan produk dalam negeri. Dengan status pangan impor yang naik pangkat menjadi sederajat dengan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional maka semangat kebijakan pangan Indonesia menjadi bersifat sangat liberal. Hal tersebut tentu saja merupakan ancaman serius bagi produsen dalam negeri, khususnya petani kecil. Seperti halnya UU Pangan, tiga UU lainnya juga menemui nasib sama. Bahkan UU No.22 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) yang masih seumur jagung juga ikut terdampak oleh Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang sering dipelesetkan dengan singkatan RUU Cilaka ini.
Menyikapi gugatan negara-negara melalui WTO tersebut sebelumnya Bina Desa bersama Institute for Global Justice (IGJ) telah menggelar diskusi jaringan sekaligus dimaksudkan sebagai konsolidasi masyarakat sipil dan organisasi petani di tingkat nasional. Acara yang diselenggarakan pada 29 Desember 2019 tersebut membedah keempat Undang-undang yang dipermasalahkan tersebut. Dari telaah dan diskusi yang dilakukan dapat ditarik sebuah simpul sikap bersama bahwa gugatan tersebut merupakan ancaman atas kedaulatan negara dalam mengelola sumberdaya ekonominya, sekaligus pula berakibat membahayakan posisi para pelaku ekonomi dan produsen pangan dalam negeri terutama para petani kecil.
Lebih dari itu apabila pemerintah menjawab gugatan tersebut dengan benar-benar menghilangkan frasa “dalam negeri” maka dapat dipastikan hal tersebut adalah pelanggaran serius terhadap prinsip politik ekonomi nasional sebagaimana dalam TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi. Pelanggaran tersebut tampak semakin nyata manakala kita menengok isi dari Pasal 33; Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demikian pula akan bertentangan dengan isi pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Penyelenggaraan ekonomi oleh negara (termasuk di dalamnya tentang perdagangan, baik dalam dan luar negeri) dimaksudkan “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”
Disamping Diskusi terkait Gugatan WTO, pada kesempatan lain Bina Desa juga menggelar Diskusi bersama jaringan demi merespon pengesahan UU No, 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan pada 28 Januari 2020. Acara yang juga dihadiri oleh hampir seluruh jaringan lembaga masyarakat sipil dan organisasi petani tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi untuk dilakukannya kerja-kerja advokasi kebijakan serta upaya “mencari celah” untuk melindungi keselamatan petani kecil demi agar terhindar dari jebakan kriminalisasi berujung pemidanaan. Sementara itu tema Omnibus Law dan Ancaman Kedaulatan Pangan baru-baru ini juga menyusul diangkat oleh FIAN Indonesia dengan menyelenggarakan Diskusi serupa yang dilaksanakan di ruang pertemuan Dijkstra Bina Desa di Jakarta. (LDJ, 28/02/2020)