Bina Desa

Segerakan Reforma Agraria Kawasan Perhutani di Pulau Jawa

Salah satu sesi konsoliadasi Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa (Foto: Erwin Santoso/ARuPA)

YOGYAKARTA, BINADESA.ORG—Reforma Agraria dan strategi pembangunan Indonesia dari pinggiran, dimulai daerah dan desa tercantum jelas dalam NAWACITA. Dalam Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 menyebutkan bahwa Pemerintah Jokowi menargetkan pelaksanaan reforma agraria 9 juta hektar dan perhutanan sosial 12,7 juta hektar. Secara umum, tujuan program ini yaitu mengurangi kemiskinan, menurunkan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan, serta menyelesaikan konflik tenurial.

Sejauh ini belum ada kerangka program yang jelas bagaimana program Refroma Agraria (RA) -Perhutanan Sosial (PS), akan menyelesaikan persoalan agraria khususnya problem kehutanan di Pulau Jawa.

Menurut Edi Suprapto dari Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa, mengacu pada informasi yang beredar dan sejumlah peraturan tampaknya telah terjadi penyederhanaan  dimana program RA-PS di Jawa hanya akan dilaksanakan melalui program Kemitraan Kehutanan. Itupun kemungkinan untuk dipersempit hanya melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani.  “Menurut hemat kami telah gagal (PHBM)  menyelesaikan masalah kehutanan Jawa” jelas Edi.

Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa secara tertulis membeberkan kegagalan PHBM Perhutani yang dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, dalam aspek kelembagaan, Lembaga Masyrakat Desa Hutan (LMDH) telah gagal menjadi arena intermediari yang mencerminkan kepentingan masyarakat akar rumput. Adanya kesan LMDH kepanjangan tangan dari Perhutani. Maryudi (2012) menyebutnya sebagai “restoring state control over forest resources through administrative procedures”. LMDH sebagai lembaga administratif dan formal digunakan Perhutani untuk mengembalikan kontrol atas hutan dan tenaga kerja yang sempat hilang ketika kisruh penjarahan hutan 1998-2000an. LMDH dijadikan sebagai kontraktor mengerjakan pekerjaan teknis Perhutani. Mendudukkan petani sebagai tenaga yang dibayar murah. Beberapa kasus LMDH atas sepengetahuan Perhutani melakukan pungutan (jual beli lahan) pada petani di lahan-lahan bekas tebangan.

Kedua, dalam aspek kemitraan, sebagai sebuah model pengurusan hutan (forest governance), PHBM mengidealkan masyarakat (baca: LMDH) ada pada posisi yang sejajar sebagai mitra Perhutani dalam payung kerjasama PHBM. Pelaksanaanya tidak demikian adanya. Butir-butir pasal dalam nota kerjasama atau nota perjanjian misalnya, acapkali dirumuskan sepihak oleh Perhutani sendiri atau Perhutani dengan elit pengurus LMDH. Begitupun dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan nota perjanjian yang ada. Nota perjanjian ibarat hanya menjadi “macan kertas” karena tidak bisa menjadi acuan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi LMDH;

Ketiga, dalam aspek menajemen konflik, PHBM terbukti tidak menyelesaikan konflik antara Perhutani dan masyarakat. Dalam bahasa Peluso, meskipun hubungan yang semula penuh konflik antara rimbawan dan warga desa telah banyak membaik, soal akses hutan dan penguasaan akses masih problematis (Peluso 2006, 347). Ketika faktor akses dan penguasaan hutan tersebut terabaikan, maka hal tersebut justru merupakan kunci kegagalan Perhutani dalam mengelola konflik. Salah satunya terdapat kesalahan mengidentifikasi sumber-sumber kelangkaan (scarecity) yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Selama ini, penanganan konflik hanya diisolasi pada isu tanaman semata. Isu-isu yang lebih krusial,yang lebih mendasar dalam proses konflik, seperti kepemilikan tanah, hak atas tanah, serta pengakuan atas eksistensi kelembagaan lokal dan tata kelola hutan yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat, terabaikan. Ironisnya, negara menjadi pihak yang tidak berpihak kepada petani hutan bila terjadi konflik. Yaitu ketika negara selalu absen dan tidak pro-aktif untuk menyelesaikannya. Kerapkali terjadi adalah negara justru diserap atau dikooptasi oleh Perhutani sehingga kepentingan perusahaan lebih dikedepankan daripada publik.

Atas kenyataan itu Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa merumuskan sikapnya; Menolak PHBM sebagai bentuk Kemitraan Kehutanan dalam implementasi program RA-PS di Jawa. Dan kami menuntut pelaksanaan Kemitraan-Kehutanan dapat benar-benar dilaksanakan sesuai dengan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Mengingat tingginya intensitas dan keragaman konflik kehutanan Jawa, KPH Jawa mendesak dilaksanakannya skema Reforma Agraria seperti legalisasi pada wilayah-wilayah yang sudah bertahun-tahun diduduki dan dimanfaatkan oleh masyarakat; juga menyegerakan pelaksanaan skema Perhutanan Sosial yang lain seperti Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan untuk memperluas akses masyarakat dalam pengelolaan hutan. (bd018)

Scroll to Top