Bina Desa

Idoy : Berbagi Pengetahuan Pertanian Alami dengan Literasi

Bogor-Dika Setiawan saat ditemui oleh Tim redaksi di Desa Budaya Kiara Sari tanggal 27 September 2019 (Foto: Dok. Bina Desa/Rayhana Anwarie)

Profesi bertani tidaklah populer dikalangan generasi milenial. Indonesia justru saat ini sedang mengalami krisis petani muda. Menurut data BPS tahun 2018, jumlah petani muda (usia kurang dari 25 tahun) yaitu sebanyak 273.839 yang terdiri dari 240.582 petani laki-laki dan 33.257 petani perempuan. Jumlah ini sangat berbeda jauh dengan usia diatasnya. Dilansir dari Tirto.id dalam riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada tahun 2015 menungkapkan bahwa hanya sebanyak 54% anak petani yang mau meneruskan apa yang dikerjakan orangtuanya yaitu bertani sedangkan  46% tegas menolak untuk bertani. Hal ini tidak lain dikarenakan profesi petani saat ini tidak terlihat menjanjikan sedangkan kesejahteraan dan kemapaan menjadi dambaan generasi milenial. Selain itu, kemajuan teknologi saat ini membuat anak muda lebih tertarik bekerja pada industri kreatif. Industri ini terlihat jauh lebih menjanjikan seperti menjadi youtuber atau selebgram menjadi dambaan anak-anak milenial, terkenal dan hidup mapan.

Berbeda dengan sosok milenial yang kami temui pada hari Jumat lalu. Kami beruntung bertemu dengan salah seorang sosok pemuda milenial inspiratif dari desa Warung Banten yang masih mau meneruskan pekerjaan orangtuanya yaitu bertani di kala anak milenial lainnya berusaha bersaing melalui industri kreatif. Dika Setiawan atau yang sering dipanggil Idoy. Idoy merupakan nama panggilan dari Guru SMAnya karena Ia dianggap selengean dan setiap belajar tidak pernah berkonsentrasi. Nama panggilan ini juga karena Ia mirip dengan sepupunya yang sama-sama selengean, Edoy. Ia lahir di Lebak Banten tanggal 7 februari 1999 dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai petani.  Idoy senang akan menulis, dua tulisannya sudah di muat di koran lokal, salah satunya juga diterbitkan di website warung Banten, “Aku dan Si Hitam Manis : Gula Aren”. Ia menceritakan kisah hidupnya menjadi anak petani dan petani gula aren. Perjuangannya mencari air nira di tengah hutan di kala matahari belum sepenuhnya muncul.

Ia mulai mencari air nira saat sejak bangku SMA. Ia tertawa-tawa saat mengingat pertama kali mengolah air nila menjadi gula aren, hasilnya gosong. Ia tidak menyerah begitu saja, saat ini selain sudah bisa membuat gula aren, Ia juga memasarkan gula arennya sendiri ke masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Perhari Ia bisa menghasilkan 3 kojor gula aren (15 ikat). Ia jual per kojor (5 ikat) gula aren sebesar Rp 20.000 – Rp 30.000 tergantung ukurannya. Untuk menambah penghasilan, Ia juga berjualan minuman di terminal.

Idoy bercocok tanam singkong dan kacang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan saat ini Ia mencoba memanam kopi, kopi lokal jenis robusta dari daerahnya. Ia ingin mengembangkan tanaman kopi di daerahnya karena tanaman kopi masih belum dianggap tanaman yang ekonomis padahal harganya stabil dan sangat menjanjikan. Tidak hanya menanam saja, melalui tanaman kopi, Idoy ingin membuka mata anak muda agar bisa memanfaatkan alam untuk sumber kehidupan namun dengan tidak merusak alam itu sendiri. Selain itu, Idoy juga melakukan pembibitan dan budidaya pohon manglid, sengon, jengjeng, dan mahoni. Budidaya ini Ia lakukan agar tidak bergantung dengan orang lain, sangat miris jika masyarakat harus membeli bibit dari luar daerah padahal bibit pohon tersebut tersedia di alam sekitarnya.

Idoy juga belajar terkait pertanian alami namun saat ini masih sulit mengaplikasikannya. Hambatan terbesarnya adalah orangtua yang masih menganggap pertanian dengan penggunaan pupuk non organik akan menghasilkan lebih cepat dibandingkan dengan pertanian alami.  Ia tidak berkecil hati dan menyerah begitu saja. Ia dan kawan-kawan mengajarkan ke anak-anak muda melalui organisasi di sekolah tentang pertanian alami agar kelak anak-anak muda ini lah yang akan menjadi agen perubahan di daerahnya untuk melakukan pertanian alami.  Tidak hanya organisasi di kecamatannya tetapi Ia juga mensosialisasikan pertanian alami di luar kecamatannya melalui kegiatan literasi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kuli Maca.

TBM Kuli Maca menjadi wadah kegiatan literasi masyarakat untuk berbagai kalangan usia. Idoy merupakan salah seorang pendiri TBM Kuli maca. Tahun 2016, Ia beserta kawan-kawan dirikan TBM Kuli Maca saat Ia masih duduk di kelas 3 SMA. Ia memandang bahwa kualitas sumderdaya manusia di kampungnya masih kurang dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah. Bisa mengenyam pendidikan SMP saja sudah dianggap beruntung. Ia sendiri hanya mampu mengenyam pendidikan hingga SMA, namun Ia pernah mencoba mengikuti beberapa kali tes masuk Perguruan Tinggi. Ia senang akan seni teater dan ingin belajar ilmu perpustakaan untuk mengembangkan perpustakaan TBM Kuli Maca. Ia pun mencoba peruntungan untuk masuk ke Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia dan seni teater ISBI namun takdir belum membawanya ke sana. Hingga saat ini Ia masih aktif menjadi relawan TBM Kuli Maca. Suka duka Ia lalui hingga Ia pernah harus menjual motornya untuk bisa tetap bisa bekerja menjadi seorang relawan.

Tidak hanya berbagi literasi kepada masyarakat, melalui TBM Kuli Maca, Ia juga ingin merubah pandangan orangtua terhadap anak perempuan terkait pendidikan karena yang terjadi di daerahnya para orangtua kerap menikahkan anak perempuannya setelah mengenyam pendidikan SMP atau SMA padahal perempuan memiliki hak yang sama terkait pendidikan dengan laki-laki dan perlu mempunyai pengetahuan yang luas. Perempuan pun Ia libatkan aktif dalam kegiatan TBM Kuli Maca agar perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dan juga mengembangkan kemampuan perempuan dalam berorganisasi. Dengan segala aktifitas positinya, Idoy berharap dapat bermanfaat bagi masyarakat dan orang-orang disekelilingnya serta membuka mata anak muda saat ini, menunjukkan bahwa dengan bertani bisa hidup dan tidak sekedar menghasilkan namun juga dapat menjaga dan melestarikan alam. (Rayhana, 13/10/2019)

Scroll to Top