Berangkat dari permasalahan yang di hadapi oleh perempuan pedesaan di berbagai pelosok, yang berdampak pada para perempuan (perempuan petani dan perempuan nelayan) sampai pada titik merasa tidak berdaya. Bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan (petani dan nelayan) sangat mewarnai kehidupannya, beban ganda di laksanakannya seolah olah menjadi pekerjaan yang memang harus dikerjakan sesuai dengan kodratnya, ruang untuk mengekspresikan diri sangatlah terbatas sehingga perempuan merasa tidak mampu bersuara untuk memperjuangkan hak-haknya. Berbagai kasus yang berkaitan dengan sumber agraria yang diwarnai dengan ketimpangan dalam akses dan pengelolaan agraria mengakibatkan banyaknya perempuan petani dan nelayan yang kesehariannya menggantungkan hidupnya sebagai petani dan nelayan kehilangan mata pencaharian yang berarti hilangnya pendapatan bagi keluarga, maraknya alih fungsi lahan, pertambangan, reklamasi pantai semakin memiskinkan kehidupan para perempuan. Begitu juga dengan kasus kekerasan yang seakan tidak bisa lepas dari perempuan, pemberian label terhadap kehidupan perempuan yang semakin membuat hidup perempuan (petani dan nelayan) terkungkung dalam cangkang penindasan serta cenkraman budaya patriarki dan kapitalisme global.
Untuk mengurangi dan atau menjawab berbagai persoalan yang melingkupi kehidupan perempuan yang menggambarkan rendahnya penghargaan terhadap hak-hak asasi perempuan, bahwasanya kami para perempuan pedesaan (petani dan nelayan) adalah perempuan yang kuat, perempuan yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan ganda yang begitu berat, perempuan bisa bekerja di dalam rumah dan mampu bekerja di luar rumah, jam kerja perempuan lebih banyak dari pada jam kerja laki-laki sehingga para perempuan tidak ada lagi waktunya untuk mengurus dan memikirkan dirinya. Dalam kenyataannya bahwa perempuan lebih banyak berkontribusi waktu dan tenaga dan secara ekonomi untuk keluarganya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan mempunyai pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan yang bisa di ekspresikan dalam kegiatannya sehingga kemampuan dalam mengambil keputusan tidak bisa diabaikan, perjuangan dalam meraih hak-hak nya juga menjadi kekuatan dalam diri perempuan.
Dengan membangun semangat bersama, perempuan harus keluar dari berbagai bentuk ketidakadilan, kekerasan, kungkungan dan cengkraman budaya patriarki serta kapitalisme global.
Pada tanggal 3 – 4 Desember 2018 para perempuan pedesaan (petani dan nelayan) yang berasal dari Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan mengorganisir diri dalam pertemuan yang diberi nama “Rembug Perempuan Pedesaan” selama 2 (dua) hari yang bertempat di Butta Toa atau Tanah Tua Gantarangkeke – Bantaeng – Sulawesi Selatan. Mereka datang mewakili komunitasnya, bercerita dan berdiskusi tentang pengalaman mereka, penderitaan mereka, tantangan dan hambatan yang di hadapi ketika mereka melakukan perlawanan untuk keluar dari berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami sebagai kaum yang selama ini di anggap remeh dan di pandang sebelah mata .
Rembug ini dimaksudkan untuk membangun percaya diri akan kemampuan yang dimiliki, membangun semangat bersama, membangun solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak perempuan pada berbagai aspek kehidupan (sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial ekologi) hingga tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Bedasarkan kesepakatan bersama dengan menyatukan semangat dan solidaritas yang tinggi maka lahirlah sebuah gagasan untuk menyatukan semua komunitas dalam sebuah wadah yaitu Jaringan Perempuan Pedesaan dengan tujuan agar perempuan mampu mengorganisir diri dan komunitasnya untuk melindungi kepentingan perempuan dari berbagai ketidakadilan yang dilakukan oleh siapapun (individu, organisasi, negara), memperkuat pergerakan perempuan demi mencapai haknya yang selama ini terabaikan. Hasil dari rembug perempuan ini kemudian dituangkan dalam sebuah risalah untuk di suarakan sebagai seruan kepada semua komunitas perempuan pedesaan yaitu terus menumbuhkan semangat solidaritas dan kolektifitas dalam organisasi dan gerakan perempuan, tetap terlibat dan berpartisipasi dalam ruang musyawarah baik formal maupun informal dan menjadikan ruang tersebut sebagai ruang untuk mengekspresikan diri dalam pengambilan keputusan yang berkeadilan. Mengajak orang orang terdekat dalam unit keluarga untuk ikut dalam poses penyadaran ketidakadilan gender serta membangun jaringan solidaritas sesama perempuan pedesaan sebagai forum pertukaran pengalaman dan dukungan atas situasi sulit di masa mendatang. Pada kesempatan rembug perempuan ini kami juga menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah yaitu untuk melaksanakan Reforma Agraria sesuai mandat Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, stop alih fungsi lahan, ruang keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dari tingkat pedesaan sampai nasional, memberi ruang aman bagi korban kekerasan, hapus praktik perkawinan anak, menghilangkan praktik diskriminasi, mengembalikan pengalaman dan pengetahuan serta ketrampilan bertani maupun nelayan.
Proses membangun kesadaran kritis dan rasa solidaritas yang tinggi terus hidup dalam pikiran kami perempuan, yang pada akhirnya memunculkan kepedulian dan keprihatinan serta memberikan daya dorong untuk menggugat segala bentuk ketidakadilan dan memunculkan gagasan gagasan baru untuk mencari alternatif penyelesaian masalah untuk mengakhiri ketidakadilan itu maka diselenggarakanlah petemuan nasional Jaringan Perempuan Pedesaan jilid II di Jogyakarta pada tanggal 1 – 2 Juli 2019. Kami berkumpul kembali kedua kalinya untuk memperkuat gerakan kami, menyatukan yang berserakan, menjalin kekuatan yang sudah ada bersama perempuan hebat yang sudah menjadi motor penggerak perubahan kearah yang lebih baik, kami berdiskusi, berbagi pengalaman dan pada akhirnya kami menyusun strategi kegiatan akan kita lakukan selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan yang di hadapi oleh perempuan. Tentunya hasil dari pada ini semua membawa semangat baru lagi kepada perempuan untuk melakukan gerakan menjawab permasalahan yang yang selama ini sebagai penghalang perempuan untuk maju.
Pada pertemuan kedua ini, kami menyepakati perlunya membangun sebuah organisasi yang terstruktur sebagai wadah penguatan dan pelindungan perempuan pedesaan (petani dan nelayan) di tingkat nasional serta akan dilaksanakannya kongres pertama untuk Jaringan Perempuan Pedesaan. Untuk menindaklanjuti rencana kongres pertama Jaringan Perempuan Pedesaan pada pertemuan ini telah terbentuk team formatur yang terdiri dari perwakilan wilayah dan sektoral (Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur serta perwakilan perempuan Nelayan). Adapun tugas dari team formatur adalah untuk merumuskan bentuk organisasi, menjaring bakal calon pengurus Jaringan Perempuan Pedesaan dan mempersiapkan kongres pertama bagi Jaringan Perempuan Pedesaan. (Kasmawati, 12/10/2019)
“KITA TUNGGU KONGRES PERTAMA Jaringan Perempuan Pedesaan”