Tajuk Rencana untuk Satinah

Jakarta, BINADESA–Demi kamanusiaan, mesti ada harapan untuk Satinah. Negara mesti menunjukan sikap membela yang nyata. Dua tajuk rencana media nasional Kompas dan Tempo (27/3) seakan menegaskan betapa pentinganya perkara ini; betapa pentinganya Satinah untuk diselamatkan dari hukuman pancung. Ke depan tak hanya menyelamatkan TKI yang rentan dengan lingkungan kerjanya, tapi penting untuk membenahi struktur ekonomi pedesaan dan pendidikan untuk perempuan sehingga perempuan pedesaan tak kehilangan tanah dan terasing dari pekerjaanya di desa yang berakibat pada ‘kenekatan’ pergi menjadi TKI dengan resiko yang bukan kepalang. Berikut editorial Kompas dan Tempo selengkapnya:

Solidaritas Untuk Satinah*

PERSOALAN perlindungan tenaga kerja Indonesia kembali menjadi sorotan tajam karena kasus Satinah yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.

Sejumlah kalangan mempersoalkan mengapa Satinah dibiarkan sendirian menghadapi pengadilan Arab Saudi. Pemerintah dinilai terlambat mengetahui kasus TKI asal Jawa Tengah itu. Upaya negara membela Satinah terkesan kedodoran. Sebaliknya, sungguh mengesankan solidaritas yang diekspresikan masyarakat Indonesia dalam membela nasib Satinah.

Aksi solidaritas berupa pengumpulan uang kini meluas, tetapi harus berkejaran dengan waktu yang semakin terdesak. Jika uang darah (diyat) tidak dibayar sampai batas waktu Kamis, 3 April mendatang, Satinah yang dituduh mencuri dan membunuh majikannya akan dihukum pancung. Pembebasan Satinah, antara lain, bergantung pada kemampuan mengumpulkan uang 7 juta riyal atau sekitar Rp 21,25 miliar sebagai diyat.

Jika uang tebusan tak bisa dilunasi, Satinah, yang divonis pada 2008, akan dieksekusi. Sejauh ini sudah terkumpul Rp 12 miliar yang berasal dari Kementerian Luar Negeri RI sebesar Rp 9 miliar serta dari Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dan para dermawan di Arab Saudi Rp 3 miliar. Keluarga korban di Arab Saudi tetap menuntut 7 juta riyal sebagai tebusan. Sebaliknya, posisi Pemerintah Indonesia bertahan pada tawaran Rp 12 miliar.

Sejumlah kalangan berharap pemerintah akan terus melakukan tawar-menawar sampai tercapai kesepakatan baru. Namun, tidak sedikit orang mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak langsung menggenapi saja angka uang tebusan seperti dituntut. Sering digunakan sebagai argumen, tidakkah lebih baik uang digunakan untuk membela dan melindungi kepentingan warga bangsa ketimbang diselewengkan untuk praktik korupsi yang menghabiskan triliunan rupiah. Namun, persoalannya tidaklah sederhana. Perlu dikemukakan, persoalan perlindungan dan pembelaan terhadap nasib TKI tergolong rumit. Sebanyak 265 TKI di mancanegara terancam hukuman mati.

Hukuman itu dijatuhkan atas kesalahan yang dilakukan TKI, tetapi bagaimanapun pemerintah tak boleh berpangku tangan. Lebih-lebih karena orang mengadu nasib ke mancanegara sebagai TKI akibat negara gagal menciptakan lapangan kerja. Sekalipun risiko yang dihadapi sangat besar, seperti ancaman bahaya kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, tetap saja banyak orang mencari kerja dengan menjadi TKI.

Bagaimanapun upaya mendapatkan pekerjaan sangatlah penting, bukan hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk mengekspresikan diri karena kerja merupakan kodrat manusia (Homo faber). Masuk akal, pengangguran bukan hanya isu kerja dan ekonomi, melainkan juga menjadi masalah hak asasi yang harus dijamin negara dan diperjuangkan setiap individu untuk harkat diri. (*sumber: tajuk rencana Kompas)

Harapan untuk Satinah*

Pemerintah tak boleh menyerah untuk membebaskan Satinah, 40 tahun, tenaga kerja Indonesia yang akan dihukum pancung di Arab Saudi. Meski waktu eksekusi tinggal berbilang hari, yaitu 3 April mendatang, pemerintah masih bisa menyelamatkannya. Seluruh ikhtiar hingga detik-detik terakhir mesti dikerahkan untuk mengembalikan TKI asal Ungaran, Jawa Tengah, itu kepada keluarganya.

Sejumlah upaya memang sudah dilakukan pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, telah menelepon dan berkirim surat kepada Raja Arab Saudi ihwal pembunuhan yang dilakukan Satinah terhadap Nura al-Garib, majikannya, pada 2007. Hasilnya, waktu eksekusi diundurkan dari 2011 menjadi 2012, mundur lagi ke 2013, dan terakhir 2014. Langkah ini jelas harus diapresiasi.

Lobi ini juga mengubah vonis yang semula berupa hukuman had gillah atau mati mutlak menjadi hukuman mati qisas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran diyat atau uang darah. Vonis mati mutlak dijatuhkan setelah Satinah dinilai terbukti membunuh Nura dan mencuri uang 38 ribu riyal atau sekitar Rp 103 juta. Tapi Satinah mengatakan terpaksa membunuh lantaran tak terima dituduh mencuri uang, yang tak dilakukannya. Ia juga menyatakan sering dianiaya majikan.

Perubahan vonis itu jelas merupakan sinyal yang baik, apalagi pengadilan Arab Saudi memutuskan bisa mengganti hukuman pancung dengan membayar diyat sebesar 7 juta riyal atau Rp 21 miliar. Diyat harus dibayarkan kepada ahli waris korban. Jika diyat tak dibayarkan, hukuman pancung akan dilaksanakan paling lambat 3 April.

Patut disayangkan, kemudian pemerintah terkesan menyerah setelah gagal melobi keluarga korban untuk menurunkan nilai diyat-nya. Tim pelobi, baik dari perusahaan jasa TKI, relawan, maupun Dubes RI untuk Arab Saudi, menyatakan pemerintah hanya sanggup membayar hingga Rp 12 miliar. Tawar-menawar memang penting dilakukan. Tapi, dibandingkan dengan penyelamatan nyawa Satinah, nilai tersebut jelas tak seberapa.

Pemerintah juga sebenarnya sudah dibantu masyarakat, yang ramai-ramai mengumpulkan koin solidaritas. Lebih dari Rp 6 miliar terkumpul dari prakarsa ini. Pemerintah semestinya dengan mudah menutup sisanya dan bisa segera membebaskan ibu yang begitu dirindukan anaknya itu. Prakarsa ini menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk TKI yang mencari keadilan.

Memang, dalam banyak hal, pemerintah kerap dikritik tak cukup berterima kasih kepada sekitar 6 juta TKI yang telah menyumbang devisa dengan nilai besar. Pada 2013 saja, uang kiriman atau remitansi TKI mencapai Rp 120 triliun atau sama dengan 6 persen dari dana APBN. Semestinya pemerintah memberi perlindungan yang memadai, termasuk menyediakan anggaran yang cukup untuk melindungi TKI yang telah berjasa kepada negara tersebut.

Jika tanpa perlindungan, lantas apa gunanya pemerintah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia? Saat ini ada 265 buruh migran Indonesia yang divonis hukuman mati di negara tempat mereka bekerja. Mereka ini jelas membutuhkan penanganan cepat dan pantang menyerah. (*sumber; editorial Tempo)

Rep: SC

ARTIKEL TERKAIT