Menyikapi situasi politik nasional akhir-akhir ini, terutama atas masifnya gerakan pro-demokrasi yang disuarakan rakyat dan direspons secara berlebihan oleh aparat, kami menyampaikan keprihatinan mendalam. Respons represif ini telah menimbulkan korban jiwa, termasuk seorang warga pengemudi ojol yang meninggal secara tragis setelah dilindas mobil Barakuda satuan Brimob Polri.
Gelombang kekerasan aparat telah memicu kemarahan publik dan aksi spontan di berbagai daerah, merusak dan membakar simbol-simbol kekuasaan negara kantor DPR/DPRD, pos polisi, dan fasilitas umum. Dalam 107 titik aksi di 32 provinsi sejak 25 Agustus, banyak aksi yang berakhir rusuh. Menurut data pemerintah, total kerugian infrastruktur nasional akibat kerusuhan tersebut hampir mencapai Rp 900 miliar, mencakup gedung DPRD, gerbang tol, halte, serta sarana publik lainnya, dengan kerugian terbesar terjadi di Jawa Timur dan Makassar. Di DKI Jakarta saja, kerusakan yang dicatat meliputi 22 halte TransJakarta, MRT, dan CCTV dengan total mencapai Rp 50,4 miliar. Lebih dari itu kerusuhan bahkan selanjutnya berkembang menjadi aksi-aksi penjarahan terhadap sejumlah rumah anggota DPR dan pejabat negara. Selain kerugian materiil, rakyat juga menanggung kerugian non-fisik: trauma psikologis, hilangnya rasa aman, dan terkikisnya kepercayaan terhadap negara.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat penangkapan masif terhadap pengunjuk rasa yakni sekitar 1.683 orang di Jakarta (25–31 Agustus), serta lebih dari 100 di Solo, tanpa akses ke penasihat hukum, yang jelas melukai prinsip hak asasi dan praduga tak bersalah. Kami juga prihatin atas meningkatnya penangkapan dan upaya kriminalisasi terhadap aktivis yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Hal ini menciptakan ketakutan baru, mengancam hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, dan secara umum mengancam demokrasi.
Situasi ini terjadi di tengah kemerosotan demokrasi, krisis ekonomi, kebangkitan militerisme, represivitas negara terhadap suara kritis masyarakat, serta brutalitas aparat keamanan dalam merespons aksi-aksi demonstrasi damai yang menyuarakan berbagai ketidakadilan di republik tercinta ini.
Atas dasar itu, kami keluarga Bina Desa menyatakan sikap sebagai berikut:
- Berdukacita dan prihatin atas jatuhnya korban jiwa serta tindak kekerasan dan penangkapan massal terhadap demonstran, aktivis, dan mahasiswa. Kami menuntut agar seluruh demonstran dan aktivis segera dibebaskan, termasuk Delpedro Marhaen dan Syahdan Husein, dan memastikan tidak ada tindak kekerasan maupun penyiksaan selama proses penahanan.
- Mendukung sepenuhnya penyampaian keresahan dan tuntutan rakyat luas atas praktik ketidakadilan ekososial, gender, difabel, etnis antar daerah, dan kelas generasi yang sudah lama berlangsung akibat keserakahan elit dan penyimpangan oligarki terhadap mandat konstitusi UUD 1945.
- Menyayangkan kegagalan aparat keamanan dalam melindungi jalannya aksi damai dari infiltrasi aktor-aktor gelap yang memprovokasi kerusuhan, sekaligus mendesak pertanggungjawaban atas korban jiwa dan kerugian infrastruktur publik yang mencapai hampir Rp 900 miliar di 107 titik aksi di 32 provinsi.
- Menolak dengan tegas pendekatan otoritarian-militeristik dalam menghadapi aspirasi rakyat. Pemerintah dan aparat juga harus menarik ranpur dan rantis dari ruang publik, mengedepankan dialog, musyawarah serta menghentikan intimidasi, teror, dan kriminalisasi yang menimbulkan trauma dan ketakutan di masyarakat.
- Menolak pelibatan masyarakat dalam pengamanan terintegrasi dengan territorial militer maupun pembentukan pam swakarsa, yang berpotensi memperluas konflik horizontal dan menghidupkan kembali pola kontrol represif ala Orde Baru
- Mengorientasikan kebijakan ekonomi, hukum, dan sosial budaya dari pro elit-oligarki menuju pro rakyat jelata, khususnya petani kecil, nelayan kecil, buruh, perempuan, anak, difabel, dan masyarakat adat. Pemerintah wajib menciptakan peluang kerja seluas-luasnya serta menyelenggarakan pendidikan bermutu dengan alokasi 20% APBN dan APBD secara partisipatoris, transparan, dan akuntabel.
- Melaksanakan Reforma Agraria sejati sesuai UUPA 1960: penataan ketimpangan struktur agraria, jaminan wilayah tangkap dan alat produksi nelayan, perlindungan hak-hak perempuan, masyarakat adat, serta penyediaan sarana dan prasarana pertanian berkelanjutan yang berpihak pada petani.
- Mencabut UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 beserta seluruh Program Strategis Nasional (Food Estate, Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, Danantara) yang hanya akan memboroskan keuangan negara tanpa dampak signifikan bahkan dapat berakibat pada penggusuran, eksploitasi, dan perusakan ekosistem hidup rakyat.
- Menghentikan kebijakan pajak baru yang semakin membebani lapisan terbawah: perempuan, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat. Selama tuntutan rakyat belum dipenuhi, Negara seharusnya melindungi rakyat dengan memperkuat layanan publik, bukan menindas melalui beban fiskal.
Demokrasi hanya bisa terjaga jika negara melindungi dan bukan menakut-nakuti warganya. Salam Demokrasi, Salam Swabina Pedesaan
Jakarta, 6 September 2025
BINA DESA
Mantap dan panjang umur Bina Desaku, terus suarakan demokrasi, Terus advokasi bebaskan rakyat dari pembodohan, kemisikinan dan penindasan.
Salam dar Kab. Tasikmalaya
Helmi