Michael Lipton, Pemikir yang teguh membela produsen pertanian skala kecil

Siapakah yang tidak mengenal Michael Lipton? Lipton lahir tahun 1937 di London, Inggris. Karir terakhirnya sebagai professor riset pada Institute of Development Studies, University of Sussex, khususnya pada Unit Penelitian Kemiskinan (Poverty Research Unit) yang ia dirikan. Kaliber, pengaruh dan kemashurannya melebihi disiplin ekonomi pembangunan, tempat ia berangkat.

David Simon, penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia.

John Harris yang menulis entri mengenai Lipton dalam buku itu menguraikan perjalanan karir intelektualnya semenjak menjadi murid Paul Streeten, membantu Gunnar Myrdal menuliskan draf bagian apendiks 10 mengenai iklim, menyiapkan analisis yang intensif mengenai data-data akunting nasional dari negara-negara Asia Selatan, dan analisis perbandingan mengenai pembangunan Asia Selatan yang kemudian menghasilkan buku yang penting Why Poor People Stay Poor: Urban Bias and World Development (1977), hingga menjadi penganjur land reform (atau agrarian reform, reforma agraria) dan pengkritik revolusi hijau.

Setelah memeriksa karya-karya utamanya, Harris menyimpulkan bahwa di sepanjang karirnya baik sebagai peneliti, penulis, maupun konsultan badan-badan pembangunan internasional, Lipton punya keteguhan untuk membela produsen pertanian skala kecil dan peran pertanian dalam pembangunan. Dalam hal ini, Lipton sangat dipengaruhi oleh pemikiran Alexander Chayanov, seorang ekonom dan sosiolog agraria dan pedesaan dari Rusia.

Salah satu argumen utama yang dikedepankan Lipton, dan yang terinspirasi oleh pemikiran Chayanov (1888–1937) adalah prinsip inverse relationship between productivity and farm size. Pada pokoknya, ia menyatakan bahwa unit produksi pertanian skala kecil jauh lebih efisien – perbandingan hasil panen per satuan wilayah – dibandingkan unit produksi pertanian skala besar.

47

Michael Lipton, lahir tahun 1937 di London, Inggris. Karir terakhirnya sebagai professor riset pada Institute of Development Studies, University of Sussex, khususnya pada Unit Penelitian Kemiskinan (Poverty Research Unit) yang ia dirikan.

Belum lama ini prinsip tersebut dikemas dan ditampilkan kembali dengan bahan-bahan penelitian kontemporer oleh Keith Griffin, Azizur Rahman Khan and Amy Ickowitz. Di bawah pengaruh Lipton, mereka bertiga menulis artikel yang terkenal yaitu Poverty and the Distribution of Land dalam Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279-330. Artikel ini mendapatkan apresiasi dan kritik yang serius dari kalangan Marxis dalam Journal of Agrarian Change 2004 No.4 (1&2). Mereka bertiga kemudian menanggapi kritik-kritik tersebut dalam karya In Defence of Neo-Classical Neo-Populism, Journal of Agrarian Change 2004 No. 4(3):361–386.

Sumbangan lain dari Lipton yang banyak mendapat perhatian kalangan akademis dan pembuat kebijakan adalah konsep bias kota (urban bias), yakni ide bahwa kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang mengutamakan produksi dan harga bahan makanan murah dibuat dalam rangka melayani kepentingan-kepentingan penduduk kota. Kebijakan ini pada gilirannya akan mendukung bekerjanya kapitalisme industri, namun ia berjalan dengan pengorbanan para petani kecil dan pekerja pertanian lainnya yang miskin.

Pengaruh Lipton dan sarjana neo-populis lainnya bisa dilihat dalam sebuah laporan pembangunan yang sangat terkenal di kalangan badan-badan internasional yakni Rural Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty, yang diterbitkan oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development).

Laporan tersebut menganjurkan keunggulan dari pertanian skala kecil (small-farm/smallholder) yang dapat diandalkan dalam upaya peningkatan produktifitas, dan karenanya mereka menganjurkan untuk meredistribusikan tanah-tanah tidak produktif, baik yang dikuasai oleh negara, tuan tanah, atau pengusaha perkebunan skala besar  bagi para petani melalui kebijakan reforma agraria sebagai strategi yang handal untuk pemberantasan kemiskinan.

Karya utama Lipton sebelumnya mengenai reforma agraria adalah (i) “Towards a Theory of Land Reform“, dalam D. Lehmann (Ed.) Agrarian Reform and Agrarian Reformism (Cambridge: Cambridge University Press, 1974); dan (ii) “Land reform as commenced business: the evidence against stopping” yang dimuat dalam jurnal World Development No. 21/1993.

Dalam karyanya “Towards a Theory of Land Reform”, Lipton berangkat dengan suatu kepercayaan bahwa reforma agraria adalah “jalan utama yang perlu ditempuh menuju pemerataan dalam kehidupan pedesaan dengan menganggap bahwa tanah adalah sumber daya utama yang terbatas dan karenanya merupakan sumber utama pula dalam ketidaksamaan dan ketimpangan kekuasaan di pedesaan” (Lipton 1974:271).

Di sini pula Lipton mendefinisikan reforma agraria yang “mencakup (1) pengambilalihan tanah secara paksa, yang sering kali (a)oleh negara, (b)dari pemilik tanah luas, dan (c)dengan kompensasi sebagian; dan (2) penggarapan tanah pertanian tersebut dengan cara sedemikian rupa untuk memperluas keuntungan dari hubungan baru manusia pedesaan dengan tanah dibanding sebelum pengambilalihan tanah tersebut. Negara dapat memberikan, menjual atau menyewakan tanah tersebut untuk penggarapan individual (distributivist reform) atau tanah-tanah itu dikelompokkan secara bersatu dan pemanfaatannya dilakukan secara bersama melalui koperasi, kolektif, maupun usaha pertanian negara (collectivist reform)” (Lipton 1974:270).

Reforma agraria yang memang merupakan suatu kebijakan pemerataan, setidaknya diniatkan demikian,dapat saja meningkatkan memacu pertumbuhan, tapi pertumbuhan bukanlah motivasi utama dari dijalankan kebijakan reforma agraria. Motivasi utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan melalui mengurangan ketimpangan, meskipun tidak niscaya menolong mereka yang paling miskin, atau semua orang miskin di pedesaan.

Dalam karya berikutnya, “Land Reform as Commenced Business: The Evidence against Stopping”, Lipton mendebat argumen-argumen para sarjana yang merendahkan pentingnya reforma agraria sebagai suatu jalan untuk meningkatkan pendapatan dan memberdayakan kaum miskin pedesaan. Bagi Lipton, reforma agraria adalah urusan yang baru saja dimulai, yang sama sekali tidak relevan untuk dihentikan.

Memang, dalam karya-karya terdahulunya Lipton belum mempertimbangkan kemudahan akses orang miskin di pedesaan pada sumber pendapatan dari kota. Tapi dalam karya barunya Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs (2009), Lipton menjawab bahwa situasi ketimpangan kekayaan yang mencolok di pedesaan yang dilandasi oleh ketimpangan penguasaan tanah, sama sekali tidak berarti hilangnya reforma agraria sebagai prioritas kebijakan pembangunan pedesaan. Urbanisasi tidaklah menghilangkan andil yang menentukan dari pekerjaan pertanian skala kecil dalam menyangga kehidupan kaum miskin pedesaan.

Membaca karya barunya ini, kita akan menikmati karya puncak dari seorang Guru, penganjur reforma agraria ternama di dunia. (*)

*Penyumbang Makalah:

1054613Noer Fauzi Rachman: Saat ini adalah Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan.  Dia adalah guru dan peneliti terutama dalam bidang studi-studi politik agraria dan gerakan sosial, kebijakan pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam, hingga pembangunan pedesaan dan pemberdayaan komunitas. Dia memberi kuliah, membimbing penelitian, meneliti, mendokumentasikan, menulis, hingga ceramah dalam seminar/komferensi di dalam dan luar negeri. Di tahun 2011, ia memperoleh PhD dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM) dari University of California, Berkeley, pada tahun 2011. Judul disertasinya adalah The Resurgence of Land Reform and Sosial Movement di Indonesia, yang versi Indonesianya diterbitkan oleh Insist Press, Yogyakarta. (*)

ARTIKEL TERKAIT