Bina Desa

Gunawan Wiradi: Reforma Agraria untuk pemula

Reforma Agraria untuk pemula.[1]

Konsep umum, istilah dan sejarah reforma agraria.[2]

Agraria sering ditafsirkan sebatas pertanian bahkan lebih sempit lagi tanah pertanian; salah tafsir (fallacy) mana kemudian berkembang menjadi salah-kaprah sejak pemerintah Orde Baru berkuasa di Indonesia.  Secara etimologi (ilmu asal usul kata) istilah agraria berasal dari bahasa Latin “ager” (lapangan, pedusunan, wilayah, tanah negara).  Mirip dengan kata itu adalah “agger” (tanggul penahan, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit).[3] Dari pengertian itu jelas bahwa istilah “agraria” mencakupi  bukan saja tanah atau pertanian melainkan juga hal-hal yang lebih luas (pedusunan, wilayah, bukit) dimana terdapat tanaman, air, sungai, hewan, mineral dan bahan tambang (mine) dan komunitas manusia.  Semua arti tersebut di atas mengesankan bahwa tekanannya memang pada tanah;  justru karena tanah mewadahi semuanya.[4]

Yunani.[5] Sejarah reforma agraria (land reform) menurut kesepakatan para ahli sejarah berawal pada zaman Yunani kuna semasa pemerintahan Solon 594 th SM.  Undang2 Solon ini dinamai seisachtheia (artinya harafiahnya: mengocok beban). Yang dimaksud beban itu meliputi pelbagai hubungan yang tidak serasi (baca: tidak adil) antara pemerintah dengan para penguasa wilayah, antara para penguasa wilayah dengan para pengguna bagian-bagian dari wilayah, antara para pengguna tanah dengan para pekerja (penggarap) tanah, antara pemilik ternak dengan para pekerja (penggembala) dan sebagainya.  Hubungan yang tidak serasi (baca: tidak adil) itu meliputi soal-soal terkait pembagian keuntungan hasil kerja, pajak, perburuhan dan lain-lainnya.

Romawi.[6]  Semasa Romawi belum berkembang seluruh wilayah negara tersebut dianggap sebagai milik umum (public property) yang tak terbagi-bagi dimana setiap warga negara Roma berhak yang sama mengambil manfaat dari tanah.  Dalam perkembangannya orang-orang  keturunan para pendiri negara  (patricia, bangsawan) mempertahankan hak turun-temurun atas wilayah-wilayah tertentu yang sejak dulu telah dimanfaatkan oleh leluhur mereka.

Leges Agrariae 489 SM. Republik Romawi berkembang antara lain melalui penaklukan-penaklukan atas wilayah-wilayah sekitarnya sehingga wilayah negara ini semakin hari semakin meluas. Sebagai akibat penaklukan wilayah-wilayah tetangga itu muncullah klas sosial baru, yakni para warga negara baru yang bukan orang asli Romawi (disebut plebian).  Kaum plebian ini pun membutuhkan sumber kehidupan baru terutama tanah. Guna menjawab kebutuhan kaum plebian atas tanah inilah Spurius Cassius, seorang anggota konsul pada masa itu, memprakarsai lahirnya undang-undang agraria (Leges Agrariae) pertama kalinya di republik Romawi 489 thn SM.  Sebagian besar kaum patricia menentang keras undang-undang ini.

Undang-undang Licinius 367 SM. Kurang lebih dua puluh tahun kemudian lahirlah undang-undang agraria baru yang diprakarsai oleh Licinius Stolo. Dibutuhkan perdebatan selama lima tahun sebelum undang-undang baru ini disahkan.  Intinya, undang-undang baru ini menetapkan bahwa setiap warga negara Romawi memperoleh hak memanfaatkan sebagian dari wilayah negara seluas tidak lebih dari lima ratus iugera.[7]  Hamparan tanah seluas itu tentu bukan berupa satuan usaha tani belaka melainkan bisa terdiri atas hutan perburuan, padang penggembalaan ternak dan sebagainya.  Pelaksanaan undang-undang Licinius inipun tidak berlangsung mulus oleh berbagai sebab, antara lain karena peperangan dengan Yunani dan Prancis.  Kesempatan ini digunakan oleh kaum patricia, orang-orang kaya, militer dan para veteran perang untuk menguasai tanah-tanah luas melebihi batas lima ratus iugera yang dibolehkan oleh undang-undang.  Terjadilah proses akumulasi penguasaan wilayah oleh kelompok-kelompok elite; hal ini berlangsung selama hampir dua abad.

Pembaruan Tiberius 167 SM. Sesudah hampir dua ratus tahun lamanya undang-undang Licinius seakan-akan masuk dalam peti es, Tiberius Gracchus, seorang anggota parlemen pada masa itu berhasil memperjuangkan lahirnya undang-undang agraria baru yang bertujuan menyelaraskan kembali ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, yakni diteguhkannya batas maksimum lima ratus iugera.  Selain itu ditambahkan bahwa setiap anak lelaki dewasa dalam keluarga diperbolehkan menguasai dua ratus lima puluh iugera sepanjang total penguasaan dalam satu keluarga tidak melebihi seribu iugera.[8]  Undang-undang baru inipun tidak terlaksana, bahkan Tiberius dibunuh.  Sepuluh tahun kemudian adiknya, Gaius Gracchus, berusaha melanjutkan langkah pembaruan sang kakak, namun diapun dibunuh juga.

 

Tujuan dan prasyarat  reforma agraria.[9]

Reforma agraria bertujuan terbangunnya struktur masyarakat yang lebih berkeadilan.  Pada awalnya kebijakan land reform adalah suatu kebijakan sosial, yaitu pemerataan penguasaan tanah, bukan sebuah kebijakan ekonomi (produksi); namun kemudian orang sadar bahwa dibutuhkan suatu economic rationale yang mampu memberi alasan dari segi ekonomi mengapa suatu reforma agraria perlu dilakukan. Itulah sebabnya selepas perang dunia kedua negara-negara mulai menambahkan aspek2 sosial, ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan pada program reforma agraria mereka. Berbagai pertimbangan itu adalah:  secara politik dapat ditolerir (politically tolerable), secara ekonomi dapat dijalankan (economically viable), secara kebudayaan dapat dipahami (culturally understandable), secara sosial dapat diterima (socially acceptable), secara hukum dapat dibenarkan (legally justificable) dan secara teknis dapat diterapkan (technically applicable).  Perlu diingat bahwa berbagai pertimbangan tersebut tidak usah melahirkan reforma pura-pura (quasi reform) ataupun reforma semu (pseudo reform), yaitu suatu pembaruan yang sopan namun pada hakekatnya bukan pembaruan, yang disebut nicely behaved non land reform.[10]  Bagaimana pun reforma agraria sejati hanya bisa dilakukan jika ada kemauan politik. Di negara-negara non sosialis muatan konkret reforma agraria adalah: mengatur ulang alokasi penyediaan tanah; menata ulang status pemilikan/penguasaan/penggunaan tanah; mengatur ulang tata cara perolehan tanah; dan menata ulang penggunaan tanah.

Prasyarat.  Para pakar sedunia sepakat, berdasarkan pengalaman sejarah berbagai negara yang pernah melaksanakan program ini, dibutuhkan sejumlah prasyarat agar reforma agraria berjalan dengan sukses.  Prasarat terpenting adalah: harus ada kemauan politik dari pemerintah, harus ada organisasi rakyat (khususnya organisasi petani) yang kuat dan pro reform, harus ada data lengkap dan teliti tentang keagrariaan, harus dipisahkan elite penguasa dari elite bisnis, aparat birokrasinya harus bersih, jujur dan faham akan konsep dan tujuan reforma agraria.

Model2 reforma agraria.[11]

Tiga model. Secara garis besar pola reforma agraria dibedakan menjadi tiga model,[12] yaitu kolektifisasi model sosialis, pertanian keluarga model kapitalis dan pertanian keluarga model neo populis.  Sekalipun suatu negara secara normatif menetapkan memilih salah satu model, dalam pelaksanaannya  bisa terjadi perkembangan yang berubah arah.[13] Contoh:  Italia, semula memilih pertanian keluarga model kapitalis namun perkembangan selanjutnya lebih mirip model sosialis.  Yugoslavia semula memilih model sosialis namun perkembangan selanjutnya lebih mirip model neo populis.  Jepang semula memilih model neo populis namun kemudian berkembang menjadi model kapitalis.

Gunawan Wiradi (Kiri, berkacamata) dalam satu kesempatan Rapat Rencana Strategis Bina Desa di Jogjakarta (2013)
Gunawan Wiradi (Kiri, berkacamata) dalam satu kesempatan Rapat Rencana Strategis Bina Desa di Jogjakarta (2013)

Indonesia. Land reform yang pernah dicoba pada awal dekade 1960 an sebenarnya belum selesai (baik pelaksanaan maupun rancangan programnya) karena pergantian pemerintahan yang berdampak luas pada perubahan kebijakan politik ekonomi yang berbeda sama sekali.  Penjabaran undang-undang agraria 1960:5 dalam undang-undang land reform 1960:56 misalnya, baru menyangkut pertanian rakyat.  Sementara itu sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, kehutanan dan lain-lain belum sempat tergarap. Semangat yang terkandung dalam undang-undang agraria 1960:5 adalah neo populis (Soekarno memakai istilah sosialisme Indonesia).  Ciri-ciri pertanian keluarga model neo populis dipudarkan oleh undang-undang land reform 1960:56 yang menetapkan angka dua hektar sebagai  batas  luas minimum penguasaan tanah.  Dengan angka serendah itu jumlah petani penerima manfaat land reform relatif kecil (29%).[14]

 

Reforma agraria di Indonesia.[15]

Cita2 pendiri negara. Sejak awal para pendiri negara ini bercita-cita mengubah struktur sosial warisan feodalisme dan kolonialisme yang menindas menjadi struktur sosial yang lebih merata, demokratis, sejahtera dan berkeadilan.  Kemerdekaan politik[16] adalah langkah pertama supaya bisa mewujudkan suatu pemerintahan oleh bangsa sendiri.  Secara teoritis mustahil pengubahan struktur sosial itu bisa terselenggara tanpa kemerdekaan politik lebih dulu; namun pemerintahan oleh bangsa sendiripun bukan jaminan bahwa penindasan akan terhapus dengan sendirinya.  Bagi masyarakat Indonesia yang berciri agraris perubahan struktur sosial akan dilakukan dengan cara merombak (menata kembali) susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah.  Inilah yang disebut land reform.  Program perombakan ini, disertai program-program penunjang seperti  pendidikan petani, fasilitas perkreditan bagi petani, penataan produksi dan pemasaran hasil pertanian, disebut (dalam bahasa Spanyol) reforma agraria.

Sudah sejak awal, segera setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin bangsa berupaya menjalankan reforma agraria di Indonesia.  Pertama-tama yang dilakukan adalah merumuskan undang-undang agraria nasional yang akan menggantikan undang-undang agraria kolonial tahun 1870.  Upaya melahirkan undang-undang agraria baru itu mengalami proses panjang selama dua belas tahun akibat adanya berbagai hambatan seperti perang melawan agresi Belanda (1945-1950), munculnya berbagai gejolak dan perlawanan politik di daerah-daerah yang mengakibatkan kabinet pemerintahan jatuh bangun serta berdampak serius terhadap perubahan susunan kepanitiaan[17] agraria (1950-1960), belum lagi partai-partai besar dalam parlemen yang saling berbeda pendapat mengenai reforma agraria dan tidak pernah berhasil mencapai kompromi politik.

Langkah2 pendahuluan.[18] Sejumlah langkah sudah dipersiapkan jauh hari sebelum undang-undang agraria nasional itu disahkan pada tahun 1960.  Langkah pertama menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penguasa desa perdikan[19] berikut keluarganya secara turun-temurun.  Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1946:3 sebagai landasan hukum guna mengambil setengah dari tanah-tanah yang dimiliki turun-temurun oleh para penguasa desa-desa perdikan itu  dan membagikannya kepada para penggarap tanah yang bersangkutan, petani-petani miskin dan para buruh tani yang hidup di wilayah itu.  Para bekas pemilik tanah memperoleh sejumlah ganti rugi berupa uang yang pembayarannya dilakukan setiap bulan oleh pemerintah.[20]  Langkah kedua mengalihkan penguasaan tanah dari perusahaan-perusahaan gula kepada kaum petani yang hidup di sekitarnya.  Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang darurat 1948:13.  Tindakan tersebut diambil guna mengakhiri perseteruan penguasaan air irigasi dan tanah yang tidak seimbang antara perusahaan-perusahaan gula bermodal besar dan kuat[21] itu melawan petani-petani miskin yang tidak terorganisir.  Langkah ketiga pengambilalihan tanah-tanah partikelir.[22] Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1958:1 perihal penghapusan tanah-tanah partikelir.  Tindakan ini diambil oleh pemerintah guna mengakhiri penghisapan tenaga manusia oleh para pemilik tanah-tanah partikelir yang memegang  hak-hak istimewa atas orang-orang yang berada di atasnya.  Dengan pengambilalihan tersebut maka semua hak-hak istimewa itu beralih kepada pemerintah. Langkah keempat melakukan perombakan terhadap tradisi pembagian hasil kerja dalam pertanian yang selama ini dinilai merugikan kaum petani penggarap dan penyakap. Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1960:2 perihal perjanjian bagi hasil.  Undang-undang ini memuat tiga pokok yang penting dalam rangka reformasi penyakapan (tenancy reform), yakni adanya kepastian penyakapan (security of tenancy), demokratisasi serta akomodasi dan pengakuan terhadap ketentuan hukum adat setempat.

Kesalahfahaman seputar reforma agraria.[23]

Penjabaran undang-undang agraria 1960:5.  Dari judulnya saja, yakni “Peraturan dasar pokok-pokok agraria” jelas bahwa undang-undang ini baru memuat prinsip-prinsip dasar keagrariaan.  Oleh sebab itu berbagai ketentuan di dalamnya masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang yang lebih khusus lagi.  Salah satu penjabaran itu adalah undang-undang 1960:56[24] perihal penetapan luas maksimum tanah pertanian (yang salah-kaprah disebut undang-undang land reform). Pada masa itu pertanian rakyat diprioritaskan sehingga dibutuhkan landasan hukum bagi tindakan pemerintah untuk mengambil kelebihan tanah agar bisa dibagikan kembali (redistribusi) kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah. Sayang sekali sebelum prinsip-prinsip dasar lainnya dalam undang-undang agraria 1960:5 tersebut sempat dijabarkan dalam berbagai undang-undang khusus pemerintahan Soekarno digulingkan pada tahun 1966.  Akibatnya, gerakan reforma agraria hilang dari percaturan politik, bahkan lebih menyedihkan lagi tabu untuk dibicarakan karena dicoba dikait-kaitkan dengan komunisme.

Disfungsi instansi agraria.  Pemerintah sudah mulai melaksanakan program land reform sejak 24 September 1961 dengan membentuk panitia-panitia agraria yang bertugas melakukan pendaftaran pemilikan tanah-tanah yang luasnya melebihi batas maksimun yang dibolehkan undang-undang serta tanah-tanah guntai (absentee, pemiliknya tidak hadir).  Tercatat sekitar dua puluh tujuh ribu orang pemilik sawah[25] yang luas tanahnya melampaui batas maksimum dengan total luas tanah-lebih mencapai satu juta hektar yang siap dibagikan kembali (redistribusi) kepada para petani tak bertanah di sekitarnya.  Proses selanjutnya tidak pernah jelas, begitupun data akurat mengenai ini.  Tugas pendataan jumlah tanah-lebih di seluruh Indonesia terbengkalai dan data yang tersedia sukar dipercaya sejak pemerintahan beralih kepada rezime Orde Baru yang telah menjungkirbalikkan fungsi instansi agraria.

Objek reform.  Dalam arti sebenarnya yang menjadi objek reform itu meliputi: tanah-lebih, tanah guntai, bekas tanah partikelir dan bekas tanah swapraja yang beralih kepada negara,  tanah yang ditumbuhi hutan, tanah yang dipakai untuk perkebunan besar dan lain-lainnya. Tekanannya bukan terletak pada distribusinya melainkan menata ulang peruntukannya (redistribusi), diserasikan sedemikian rupa agar kaum petani miskin dan tak bertanah memperoleh hak mereka secara merata dan berkeadilan.  Selama ini masyarakat umum telah keliru memahami seakan-akan land reform identik dengan distribusi tanah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah:  tanah siapa dan tanah apa yang akan dibagi-bagi?

Berbagai hambatan pewujudan reforma agraria.[26]

Pergeseran kepentingan.  Penguasa eksekutif, birokrat dan elite politik dalam parlemen (maupun partai2 politik) masa kini tidak memahami apapun tentang reforma agraria. Tidak heran karena generasi yang terlibat dalam politik praktis masa kini merupakan produk didikan pemerintahan Orde Baru yang langsung ataupun tidak langsung telah membutakan mereka dari realitas ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di negeri ini.  Alih-alih memiliki political will untuk menjalankan program reforma agraria yang sudah jelas diamanatkan oleh undang-undang agraria 1960:5, pemerintah melalui keputusan presiden 2003:34 justru memberi mandat pada badan pertanahan nasional (BPN) untuk menyempurnakan undang-undang agraria 1960:5.

Pergeseran ideologi.  Pemerintahan rezime Orde Baru yang berjaya selama tiga puluh dua tahun telah mewariskan dua hal serius kepada bangsa ini yakni keterikatan pada pinjaman luar negeri (dan kesepakatan2 internasional lain dalam konteks globalisasi neo liberal) dan sejumlah elite ekonomi yang didominasi oleh pemikiran neo liberal hasil didikan universitas2 di Amerika Serikat. Pergeseran ideologi ini semakin menjauhkan pemegang kekuasaan dan para elite politik lain untuk menyelesaikan PR yang terbengkalai selama empat puluh tahun ini.

Organisasi petani (rakyat) belum tumbuh.  Padahal organisasi[27] petani yang kuat itu penting sekali untuk dapat menjalankan program reforma agraria.  Gerombolan petani yang tidak terorganisir dan berkesadaran posisi tawar rendah hanya akan membuat mereka menjadi objek bulan-bulanan yang siap diperalat oleh para elite politik karena tidak menguasai informasi, mudah dibujuk, dibelokkan, dikompori, diadu-domba dan dibeli suaranya pada saat pemilihan umum. (*)

Tentang Gunawan Wiradi:

Gunawan Wiradi lahir di Surakarta tahun 1932, adalah anggota Expert Council Konsorsium Agraria (KPA) sejak 1995 dan pengurus Sekretariat Bina Desa di Jakarta. Memperoleh pendidikan strata satu di fakultas pertanian universitas Indonesia (sekarang IPB) di Bogor (1963) dan master of social science dari universitas Sains Malaysia Pulau Penang (1978). Bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Survey Agro Ekonomi dan Studi Dinamika Pedesaan (1972-1986). Peneliti tamu pada Pusat Studi Pembangunan IPB (1986-1992).  Terlibat dalam mendirikan dan mengurus Yayasan Akatiga di Bandung (1992).  Menulis berbagai karya ilmiah maupun ilmiah populer yang terbit di dalam dan luar negeri dalam bentuk buku maupun jurnal.  Karya terbarunya ditulis bersama Jan Breman “Masa cerah dan masa suram di pedesaan Jawa: studi kasus dinamika sosio-ekonomi di dua desa menjelang akhir abad ke XX” Jakarta, LP3ES dan Kitlv, Desember 2004.

 

 

 

 



[1]Penyunting: Maria Rita Roewiastoeti, SH,. Penyuntingan dilakukan untuk keperluan belajar para calon aktivis reforma agraria.

[2] Gunawan Wiradi, bahan ceramah pada Temu Tani se Jawa, YTKI Jakarta 1 Mei 2003,  dimuat dlm: Reforma Agraria untuk Pemula, Sekretariat Bina Desa Jakarta, 2005, hl 12-15.

[3] Lih Prent, et.al, 1969;  juga World Book Dictinary, 1982

[4] Pada zaman itu orang belum mengenal konsep2 tentang  lingkungan hidup, sumber daya alam, tata ruang. Kegiatan utama manusia pada zaman itu adalah berburu binatang liar di hutan, bertani atau menggembalakan ternak di padang-padang rumput semata-mata untuk keperluan pangan keluarga (konsumsi).

[5] Idee menata pembagian wilayah diperkirakan sudah terjadi ribuan tahun SM. Dalam kitab Leviticus digambarkan tradisi orang Yahudi membagi ulang (redistribusi) penguasaan tanah sekali dalam setiap 50 tahun.  Lih Rusell King, 1977:28;  J. Powelson, 1988:5-52;  R. Prosterman, et.al, 1990:3.

[6] Kota Roma didirikan 753 thn SM.  Republik Romawi lahir 510 thn SM. Tulisan ini merujuk pada bagian pertama dari zaman Romawi kuna, yaitu masa sejak lahir hingga jatuhnya republik Romawi (510-27 SM).  Sementara kekaisaran Romawi merupakan bagian kedua (lanjutan)nya.

[7] Satu iugerum setara dengan seperempat hektar.  Lima ratus iugera setara dengan seratus dua puluh lima  hektar.

[8] Rusell King, 1977, op.cit.

[9] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria untuk pemula, op.cit., hl 40-41

[10] Istilah yang dipakai oleh Lipton dlm: David Lehmann (ed), 1974:269-281.

[11] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria untuk pemula, op.cit., hl 42-43

[12] Ghose, 1983,  Prosterman et.al. 1987,  juga J Harris, 1982.

[13] Lih Rusell King: 1977.  Dari setiap model terdapat varian-variannya masing-masing.

[14] Bandingkan dengan negara-negara yang dinilai berhasil menjalankan reforma agraria seperti:  Jepang 71%, Korea Selatan 66%, Meksiko 66%, Peru 37 %, Bolivia 34%, Vietam 72%. Lih Rehman Sobhan, 1993.

[15] Gunawan Wiradi, ceramah pada lokakarya “Latihan pendataan objek dan subjek land reform”, diselenggarakan oleh Sekretariat Bina Desa di Cipayung Bogor, 6 Mei 2004.

[16] Soekarno berpendapat bahwa kemerdekaan politik adalah sebuah jembatan emas; di seberang jembatanlah kita baru akan membangun suatu masyarakat yang bebas dari penindasan manusia oleh manusia.

[17] Panitia Agraria silih bertukar dari Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta (1952), Panitia Suwahyo (1956), Panitia Sunaryo (1958) hingga Rancangan Sadjarwo (1960).

[18] Lih Selo Sumardjan, Land reform in Indonesia, dlm: Asian Survey 1962 I/12, hl 23-30.

[19]  Desa perdikan adalah daerah-daerah yang para penguasanya dibebaskan dari kewajiban menyerahkan pajak kepada Raja karena mereka dinilai telah berjasa terhadap kerajaan. Dari kata “mardika” (Jw: artinya merdeka) menjadi pardikan: artinya tempat yang dimerdekakan atau dibebaskan dari …… (ed.)

[20] Penghapusan lembaga desa perdikan ini merupakan contoh land reform terbatas dan berskala kecil sebagaimana telah dilakukan di daerah Banyumas, Jawa Tengah.

[21] Tindakan ini dilakukan terhadap sejumlah empat puluh buah perusahaan-perusahaan gula milik pengusaha-pengusaha Belanda yang berada dalam wilayah kasunanan Surakarta dan kasultanan Yogyakarta.

[22] Tanah-tanah partikelir banyak dijumpai di aliran sungai Cimanuk dan tempat-tempat lain di Jawa Barat. (ed.)  Sejak tahun 1945 pemerintah sudah mulai membeli kembali tanah-tanah partikelir yang selama ini dimiliki oleh orang asing berdasarkan stelsel agraria kolonial 1870, namun proses negosiasinya berlangsung lambat. Sesudah kebijakan pengambilalihan 1958 itu, proses likwidasi penguasaan tanah-tanah tersebut oleh pemerintah masih terus berlanjut dan baru berakhir pada tahun 1962.

[23] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria untu pemula, op.cit., hl 29-31

[24] Undang-undang ini menjabarkan isi pasal 17 undang-undang 1960:5 yang mengamanatkan suatu land reform. Selain itu dalam konteks yang sama pada tahun 1961 diterbitkan undang-undang 1961:20  perihal pencabutan hak2  atas tanah dan benda2 di atasnya, sebagai penjabaran pasal 18 undang-undang agraria 1960:5 yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat hak2 atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” (ed.)

[25] Data ini berasal dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi dan kepulauan Nusa Tenggara.

[26] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria untuk pemula, op.cit., hl 32

[27] Kekuatan sebuah organisasi, termasuk organisasi petani, adalah penguasaan informasi dan kesadaran posisi tawar yang memadai dari para anggota-anggotanya.

Scroll to Top