
Jakarta, 24 September 2025 – Ribuan massa dari berbagai organisasi tani, buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil berkumpul di depan Gedung DPR RI untuk memperingati Hari Tani Nasional. Aksi ini menegaskan kembali tuntutan agar pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati sebagai jalan menuju kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan nasional.
Dalam aksi tersebut, peserta menegaskan tuntutan agar pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati dan memperhatikan nasib petani kecil yang menjadi penopang utama pangan nasional.
Perwakilan Bina Desa, Lodji Nurhadi, dalam orasinya mengatakan bahwa hingga saat ini sekitar 80 persen pangan yang dikonsumsi masyarakat dunia dipasok dari lahan-lahan sempit milik petani kecil. Menurutnya, kondisi tersebut justru kontras dengan arah kebijakan pangan di Indonesia yang semakin membuka ruang impor melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
“80 persen pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia justru dipasok dari lahan-lahan sempit milik petani kecil. Bukan dari perusahaan-perusahaan besar, bukan pula dari proyek-proyek food estate yang telah digelontorkan dengan dana luar biasa besar, tetapi hingga kini belum terbukti membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, apalagi bagi petani sebagai penopang utama pangan nasional. Ironisnya, berbagai kebijakan negara justru memperlihatkan arah yang berlawanan,” ujarnya
Lodji juga menyatakan bahwa Undang-Undang Pangan yang sebelumnya menegaskan bahwa impor pangan hanya boleh dilakukan jika cadangan pangan dalam negeri tidak mencukupi, kini telah dipreteli melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal yang semestinya menjadi benteng perlindungan pangan nasional itu dilucuti, sehingga pemerintah bisa melakukan impor kapan saja, bahkan di saat petani sedang mengalami panen raya. Kondisi ini jelas berbahaya. Ketika gabah dan beras dari luar negeri membanjiri pasar, harga hasil panen petani lokal akan jatuh. Hal tersebut berarti negara tidak melindungi harga di tingkat petani, tidak menjamin kesejahteraan mereka, dan pada saat yang sama merusak industri serta pasar dalam negeri.

“Hari Tani yang kita peringati hari ini lahir dari semangat Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960. Undang-undang tersebut dengan tegas memberikan mandat agar reforma agraria dijalankan dengan sungguh-sungguh. Ketimpangan struktur agraria harus diselesaikan, dan tanah-tanah harus diberikan kepada petani. Karena hanya dengan begitu petani dapat benar-benar sejahtera, dan rakyat Indonesia dapat hidup layak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Lahan-lahan baru dibuka di Papua, Kalimantan, Sumatra, hingga Aceh, sementara petani kecil yang setia mengolah tanahnya dan menjaga sumber-sumber agraria justru tidak mendapat akses terhadap tanah. Ini adalah bentuk ketidakadilan sekaligus penzaliman struktural. Pemerintah seakan melupakan bahwa hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria, serta hak untuk sejahtera adalah hak konstitusional rakyat, hak yang semestinya dilindungi oleh negara,” ujar Lodji kembali
Menutup orasinya Lodji mengatakan “Oleh karena itu, pada Hari Tani ini kita menegaskan kembali bahwa reforma agraria adalah harga mati. Sama halnya ketika kita meneriakkan “NKRI harga mati,” maka kesejahteraan petani pun adalah harga mati. Jika ingin Indonesia sejahtera, maka sejahterakanlah petani. Jika kota-kota ingin hidup dengan baik, maka orang desa yang menjadi tulang punggung pangan harus diutamakan. Sebab, jika desa terabaikan dan petani ditinggalkan, maka urbanisasi besar-besaran tak terelakkan, dan masalah sosial baru akan muncul di perkotaan. Perjuangan ini bukan hanya perjuangan petani. Ia adalah perjuangan bersama: petani, buruh, mahasiswa, kaum terpelajar, dan seluruh rakyat Indonesia. Persoalan korupsi, krisis sosial, dan berbagai konflik yang terjadi hanyalah puncak dari gunung es masalah besar di negeri ini. Karena itu, jalan yang harus ditempuh jelas: laksanakan reforma agraria sejati.”

Aksi peringatan Hari Tani Nasional ini juga mengingatkan kembali pada semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yang menegaskan pentingnya distribusi tanah yang adil melalui reforma agraria. Massa menilai ketimpangan agraria masih menjadi persoalan utama di sektor pangan, sementara proyek food estate dinilai belum terbukti membawa kesejahteraan.
Massa aksi membawa berbagai spanduk dan poster bertuliskan “Reforma Agraria Harga Mati” serta menyerukan agar DPR dan pemerintah menempatkan kesejahteraan petani sebagai prioritas utama. Aksi berjalan dengan orasi, long march, dan pembacaan pernyataan sikap.
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September lahir dari penetapan UUPA 1960. Bagi petani, momentum ini menjadi simbol perjuangan panjang mewujudkan keadilan agraria dan kedaulatan pangan. (Dona)