Bina Desa

Menjemput Berkah dari Langit: Gerakan Panen Hujan di Desa Jatiroyo 

Oleh: Fatimah Nur Aini (HTNM Karanganyar)

Desa Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro, Karanganyar, Jawa Tengah dikenal sebagai desa yang subur, dikelilingi hamparan sawah hijau dan sumber daya alam yang melimpah. Namun di balik keindahan itu, tersimpan kenyataan yang tidak selalu mudah dihadapi. Setiap musim datang membawa cerita yang berbeda. Ketika hujan turun, air mengalir deras dari perbukitan, melimpah ke parit-parit kecil hingga ke sawah. Namun, aliran yang semestinya menjadi berkah itu kerap berubah menjadi bencana: banjir kecil, tanah longsor, dan angin kencang yang merusak tanaman warga. Lalu ketika musim kemarau tiba, desa seolah kehilangan denyut air. Lahan yang semula basah oleh hujan kini merekah, retak, dan kering. Tak jarang, hasil panen menurun karena tanah kehilangan kelembapannya. Ironisnya, air yang dulu berlimpah saat musim hujan justru tak tersisa sedikit pun di musim kering.

Dari situlah banyak warga mulai bertanya-tanya, apakah hujan adalah musuh yang membawa bencana, atau justru cerminan dari ketidaksiapan kita mengelola anugerahnya? Mungkin bukan hujannya yang salah, melainkan cara kita memperlakukan air yang turun dari langit. Sebab dari setiap tetes hujan, sebenarnya tersimpan harapan untuk kehidupan yang lebih lestari jika saja kita mau belajar bersahabat dengannya.

Air Hujan: Rahmat yang Sering Disalahpahami 

Dalam Al-Qur’an, hujan disebut sebagai salah satu bentuk rahmat dari Allah SWT. Ia turun dengan lembut, bersih, murni, dan membawa kehidupan bagi bumi. Namun, di banyak tempat, air hujan justru dianggap sumber bencana. Bukan karena hujannya yang salah, tetapi karena manusia belum siap menerimanya.Penebangan pohon tanpa reboisasi, saluran air yang tersumbat, dan kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan air hujan tak lagi bisa meresap ke tanah. Ia meluap menjadi banjir dan merusak kehidupan di sekitarnya. Padahal, jika dikelola dengan bijak, hujan adalah anugerah besar yang bisa menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. 

Menampung Hujan di Rumah Sendiri 

Dari kesadaran itulah, warga Jatiroyo mulai mengambil langkah sederhana: memanen air hujan dari atap rumah. Dengan memasang talang air yang diarahkan ke toren atau drum penampungan, mereka bisa menampung air hujan yang kemudian digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci, hingga sebagai cadangan air saat kemarau. Untuk menjaga kebersihannya, warga menambahkan saringan dari kain atau kawat. Langkah kecil ini memberi dampak besar. Bayangkan jika setiap rumah di desa melakukannya — ribuan liter air bersih bisa dihemat setiap musim hujan, dan ketergantungan pada sumber air tanah pun berkurang. 

Biopori dan LOSIDA: Lubang Kecil, Manfaat Besar 

Tak berhenti di situ, warga juga memperkenalkan teknologi sederhana bernama biopori dan LOSIDA (Lobang Sisa Dapur). Biopori adalah lubang kecil di tanah, biasanya dibuat dari pipa paralon, yang berfungsi meresapkan air hujan ke dalam tanah sekaligus mengomposkan sampah organik. Daun kering, sisa sayur, dan limbah dapur dimasukkan ke dalamnya. Seiring waktu, semua itu berubah menjadi pupuk alami. Sedangkan LOSIDA adalah versi yang lebih fokus pada sampah basah dapur. Dengan meneteskan EM4, yaitu cairan berisi bakteri pengurai alami yang dicampur dengan molase (tetes tebu), sampah dapur akan terurai lebih cepat dan menghasilkan kompos yang menyuburkan tanah. Lubang-lubang kecil ini menjadikan tanah lebih gembur, mempercepat resapan air, dan mengurangi volume sampah rumah tangga. 

Gama Rain Filter: Menyaring Air dari Langit 

Selain ditampung, air hujan juga bisa disaring agar lebih layak digunakan. Warga Jatiroyo mengembangkan alat sederhana bernama Gama Rainwater Filter — sistem penyaringan air hujan yang dibuat dari bahan mudah ditemukan di sekitar rumah, seperti kawat strimin, bola pengaman, dan penyaring debu halus. Air hujan yang melewati alat ini menjadi lebih jernih dan bebas kotoran sebelum masuk ke toren penampungan. Bahkan, hasil uji sederhana menunjukkan bahwa air hujan yang telah disaring memiliki tingkat kemurnian lebih tinggi dibandingkan beberapa sumber air tanah. Alat ini kini digunakan di sejumlah rumah sebagai bagian dari gerakan “air hujan untuk kehidupan.” 

Pertanian Cerdas, Desa Mandiri 

Perubahan iklim membuat musim tak lagi dapat ditebak. Menghadapi situasi ini, warga Jatiroyo mulai menerapkan pertanian cerdas dan adaptif. Mereka menanam padi saat musim hujan, dan beralih ke palawija di musim kemarau. Varietas tanaman yang digunakan pun disesuaikan agar tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem. Sistem tumpangsari antara tanaman keras dan empon-empon juga dikembangkan, sementara sebagian warga mencoba urban farming dan peternakan rumah tangga untuk memperkuat kemandirian pangan. Yang menarik, air hujan kini menjadi bagian penting dalam sistem irigasi mereka. Setiap tetes dimanfaatkan, tidak dibiarkan mengalir sia-sia. 

Lingkungan Bersih, Warga Sehat 

Kesadaran lingkungan tumbuh bersama perubahan cara pandang terhadap air. Warga mulai kembali menjalankan 3M Plus untuk pencegahan DBD, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta mengelola sampah dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Sampah organik diolah menjadi pupuk, limbah dapur dimasukkan ke dalam LOSIDA, dan barang bekas dijadikan kerajinan daur ulang. Pembakaran sampah yang dulu dianggap hal biasa kini mulai ditinggalkan. Hasilnya terasa: lingkungan menjadi lebih bersih, udara lebih segar, dan kesehatan warga pun meningkat. 

Mata Air: Sumber Kehidupan dan Ekonomi Baru 

Selain hujan, Jatiroyo memiliki banyak sendang dan belik — mata air alami yang mengalir di antara perbukitan. Warga kini mulai memikirkan cara agar sumber air ini dikelola secara berkelanjutan. Mata air bisa dijadikan sumber irigasi, kolam ikan, atau tempat wisata edukatif. Bahkan, dalam jangka panjang, potensi pengembangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) milik desa mulai dibicarakan sebagai peluang ekonomi baru. 

Mitigasi Bencana: Menjaga Alam, Menjaga Diri 

Kunci untuk hidup berdampingan dengan alam adalah kesiapsiagaan. Warga menanam pohon keras di lereng bukit, membuat terasering di lahan miring untuk menahan erosi, dan membangun tanggul penahan longsor. Sistem peringatan dini sederhana menggunakan kentongan dan grup WhatsApp juga diterapkan untuk memastikan warga cepat tanggap saat terjadi hujan lebat atau potensi longsor. 

Gotong Royong: Jalan Menuju Desa Tangguh 

Semua langkah ini tak akan berjalan tanpa gotong royong. Melalui kerja bersama, warga Jatiroyo membuktikan bahwa solusi besar bisa lahir dari langkah kecil — dari setiap rumah, setiap tangan, dan setiap tetes air hujan yang ditampung dengan kesadaran. Bayangkan bila seluruh desa memiliki biopori, halaman tak lagi banjir, pohon tumbuh subur, dan air hujan menjadi sumber kehidupan. Maka Jatiroyo bukan hanya menjadi desa yang tangguh terhadap perubahan iklim, tapi juga contoh nyata kemandirian desa berbasis ekologi dan solidaritas. 

Dari Tetes Hujan, Kita Bangun Harapan 

Air hujan adalah jawaban dari langit. Tugas kita adalah menyambutnya dengan ilmu, kerja sama, dan cinta terhadap bumi. Dari tetes hujan, kita bangun harapan. 
Dari air, kita jaga masa depan. Dan dengan semangat gotong royong, Desa Jatiroyo menulis kisah baru — tentang bagaimana berkah bisa lahir dari setiap tetes yang jatuh ke bumi. 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Menjemput Berkah dari Langit: Gerakan Panen Hujan di Desa Jatiroyo 

Oleh: Fatimah Nur Aini (HTNM Karanganyar)

Desa Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro, Karanganyar, Jawa Tengah dikenal sebagai desa yang subur, dikelilingi hamparan sawah hijau dan sumber daya alam yang melimpah. Namun di balik keindahan itu, tersimpan kenyataan yang tidak selalu mudah dihadapi. Setiap musim datang membawa cerita yang berbeda. Ketika hujan turun, air mengalir deras dari perbukitan, melimpah ke parit-parit kecil hingga ke sawah. Namun, aliran yang semestinya menjadi berkah itu kerap berubah menjadi bencana: banjir kecil, tanah longsor, dan angin kencang yang merusak tanaman warga.

Lalu ketika musim kemarau tiba, desa seolah kehilangan denyut air. Lahan yang semula basah oleh hujan kini merekah, retak, dan kering. Tak jarang, hasil panen menurun karena tanah kehilangan kelembapannya. Ironisnya, air yang dulu berlimpah saat musim hujan justru tak tersisa sedikit pun di musim kering.

Dari situlah banyak warga mulai bertanya-tanya — apakah hujan adalah musuh yang membawa bencana, atau justru cerminan dari ketidaksiapan kita mengelola anugerahnya? Mungkin bukan hujannya yang salah, melainkan cara kita memperlakukan air yang turun dari langit. Sebab dari setiap tetes hujan, sebenarnya tersimpan harapan untuk kehidupan yang lebih lestari — jika saja kita mau belajar bersahabat dengannya.

Air Hujan: Rahmat yang Sering Disalahpahami 

Dalam Al-Qur’an, hujan disebut sebagai salah satu bentuk rahmat dari Allah SWT. Ia turun dengan lembut, bersih, murni, dan membawa kehidupan bagi bumi. Namun, di banyak tempat, air hujan justru dianggap sumber bencana. Bukan karena hujannya yang salah, tetapi karena manusia belum siap menerimanya.Penebangan pohon tanpa reboisasi, saluran air yang tersumbat, dan kebiasaan membuang sampah ke sungai menyebabkan air hujan tak lagi bisa meresap ke tanah. Ia meluap menjadi banjir dan merusak kehidupan di sekitarnya. Padahal, jika dikelola dengan bijak, hujan adalah anugerah besar yang bisa menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. 

Menampung Hujan di Rumah Sendiri 

Dari kesadaran itulah, warga Jatiroyo mulai mengambil langkah sederhana: memanen air hujan dari atap rumah. Dengan memasang talang air yang diarahkan ke toren atau drum penampungan, mereka bisa menampung air hujan yang kemudian digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci, hingga sebagai cadangan air saat kemarau. 

Untuk menjaga kebersihannya, warga menambahkan saringan dari kain atau kawat. Langkah kecil ini memberi dampak besar. Bayangkan jika setiap rumah di desa melakukannya — ribuan liter air bersih bisa dihemat setiap musim hujan, dan ketergantungan pada sumber air tanah pun berkurang. 

Biopori dan LOSIDA: Lubang Kecil, Manfaat Besar 

Tak berhenti di situ, warga juga memperkenalkan teknologi sederhana bernama biopori dan LOSIDA (Lobang Sisa Dapur). Biopori adalah lubang kecil di tanah, biasanya dibuat dari pipa paralon, yang berfungsi meresapkan air hujan ke dalam tanah sekaligus mengomposkan sampah organik. Daun kering, sisa sayur, dan limbah dapur dimasukkan ke dalamnya. Seiring waktu, semua itu berubah menjadi pupuk alami. Sedangkan LOSIDA adalah versi yang lebih fokus pada sampah basah dapur. Dengan meneteskan EM4, yaitu cairan berisi bakteri pengurai alami yang dicampur dengan molase (tetes tebu), sampah dapur akan terurai lebih cepat dan menghasilkan kompos yang menyuburkan tanah. Lubang-lubang kecil ini menjadikan tanah lebih gembur, mempercepat resapan air, dan mengurangi volume sampah rumah tangga. 

Gama Rain Filter: Menyaring Air dari Langit 

Selain ditampung, air hujan juga bisa disaring agar lebih layak digunakan. Warga Jatiroyo mengembangkan alat sederhana bernama Gama Rainwater Filter — sistem penyaringan air hujan yang dibuat dari bahan mudah ditemukan di sekitar rumah, seperti kawat strimin, bola pengaman, dan penyaring debu halus. Air hujan yang melewati alat ini menjadi lebih jernih dan bebas kotoran sebelum masuk ke toren penampungan. Bahkan, hasil uji sederhana menunjukkan bahwa air hujan yang telah disaring memiliki tingkat kemurnian lebih tinggi dibandingkan beberapa sumber air tanah. Alat ini kini digunakan di sejumlah rumah sebagai bagian dari gerakan “air hujan untuk kehidupan.” 

Pertanian Cerdas, Desa Mandiri 

Perubahan iklim membuat musim tak lagi dapat ditebak. Menghadapi situasi ini, warga Jatiroyo mulai menerapkan pertanian cerdas dan adaptif. Mereka menanam padi saat musim hujan, dan beralih ke palawija di musim kemarau. Varietas tanaman yang digunakan pun disesuaikan agar tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem. 
Sistem tumpangsari antara tanaman keras dan empon-empon juga dikembangkan, sementara sebagian warga mencoba urban farming dan peternakan rumah tangga untuk memperkuat kemandirian pangan. Yang menarik, air hujan kini menjadi bagian penting dalam sistem irigasi mereka. 
Setiap tetes dimanfaatkan, tidak dibiarkan mengalir sia-sia. 

Lingkungan Bersih, Warga Sehat 

Kesadaran lingkungan tumbuh bersama perubahan cara pandang terhadap air. Warga mulai kembali menjalankan 3M Plus untuk pencegahan DBD, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta mengelola sampah dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Sampah organik diolah menjadi pupuk, limbah dapur dimasukkan ke dalam LOSIDA, dan barang bekas dijadikan kerajinan daur ulang. Pembakaran sampah yang dulu dianggap hal biasa kini mulai ditinggalkan. Hasilnya terasa: lingkungan menjadi lebih bersih, udara lebih segar, dan kesehatan warga pun meningkat. 

Mata Air: Sumber Kehidupan dan Ekonomi Baru 

Selain hujan, Jatiroyo memiliki banyak sendang dan belik — mata air alami yang mengalir di antara perbukitan. Warga kini mulai memikirkan cara agar sumber air ini dikelola secara berkelanjutan. Mata air bisa dijadikan sumber irigasi, kolam ikan, atau tempat wisata edukatif. 
Bahkan, dalam jangka panjang, potensi pengembangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) milik desa mulai dibicarakan sebagai peluang ekonomi baru. 

Mitigasi Bencana: Menjaga Alam, Menjaga Diri 

Kunci untuk hidup berdampingan dengan alam adalah kesiapsiagaan. Warga menanam pohon keras di lereng bukit, membuat terasering di lahan miring untuk menahan erosi, dan membangun tanggul penahan longsor. Sistem peringatan dini sederhana menggunakan kentongan dan grup WhatsApp juga diterapkan untuk memastikan warga cepat tanggap saat terjadi hujan lebat atau potensi longsor. 

Gotong Royong: Jalan Menuju Desa Tangguh 

Semua langkah ini tak akan berjalan tanpa gotong royong. Melalui kerja bersama, warga Jatiroyo membuktikan bahwa solusi besar bisa lahir dari langkah kecil — dari setiap rumah, setiap tangan, dan setiap tetes air hujan yang ditampung dengan kesadaran. Bayangkan bila seluruh desa memiliki biopori, halaman tak lagi banjir, pohon tumbuh subur, dan air hujan menjadi sumber kehidupan. Maka Jatiroyo bukan hanya menjadi desa yang tangguh terhadap perubahan iklim, tapi juga contoh nyata kemandirian desa berbasis ekologi dan solidaritas. 

Dari Tetes Hujan, Kita Bangun Harapan 

Air hujan adalah jawaban dari langit. Tugas kita adalah menyambutnya dengan ilmu, kerja sama, dan cinta terhadap bumi. Dari tetes hujan, kita bangun harapan. Dari air, kita jaga masa depan. Dan dengan semangat gotong royong, Desa Jatiroyo menulis kisah baru — tentang bagaimana berkah bisa lahir dari setiap tetes yang jatuh ke bumi. 

Scroll to Top