Konflik agraria antara PT. Bangun Nusa Indah Lampung atau biasa disebut PT. BNIL dengan warga Banjar Margo (Bujuk Agung dan Agung Jaya), Tulang Bawang, Lampung, terus memakan korban. Kemudian warga menggabungkan diri dalam Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB).Tercatat sejak tahun 1991, 55 warga telah menjadi korban akibat penyerobotan lahan yang dilakukan oleh salah satu anak perusahaan Bumi Waras, produsen tepung beras dan pemain utama bisnis sawit ini. 21 orang warga dianiaya mulai dari penyiksaan ringan hingga berat, 26 orang dipenjarakan, dan bahkan 8 orang diantaranya mati dibunuh dalam kurun waktu 1991 hingga 2017.
Asal mulanya tahun 1986, saat itu Gubernur Lampung mengklaim lahan warga seluas 10.000 hektar yang berada di tujuh desa merupakan areal konsesi PT. Bangun Gaya Modern. Dengan alasan itu, areal tersebut diberikan kepada PT. BNIL (3.400 hektar), PT. Rimbang Lampung Abadi (4.000 hektar), dan PT. Trimulya Adi Kencana (3.000 hektar). Tetapi hingga 1990, ketiga perusahaan itu tidak melakukan aktivitas apa pun.
Kawasan seluas 10.000 hektar ini pun mulai berkembang dan padat penduduk. Ia menjadi pemukiman dan bahkan dianggap sebagai proyek percontohan transmigrasi swakarsa mandiri yang sukses. Sudah ada pasar maupun sekolah.
Pada tahun 1991 PT. BNIL dengan dibantu Bakorstanasda – Korem 043 Garuda Hitam mengosongkan areal tujuh desa dengan paksa dan kekerasan. Dalih militer, lahan itu akan dipakai sebagai lokasi latihan perang. Aksi pengusiran ini juga menggunakan gajah-gajah yang sudah jinak, didatangkan dari Taman Nasional Way Kambas. Gajah-gajah tersebut merangsek ke pemukiman merusak rumah dan tanaman warga. Tidak hanya itu, aksi gajah-gajah ini juga diiringi oleh suara senapan yang benar-benar menjadi teror bagi warga. Sejak saat itu, berbagai pelanggaran HAM terus dilakukan oleh PT. BNIL.
Tidak sampai disitu, kejahatan kemanusiaan yang terus-menerus dilakukan oleh PT. BNIL terhadap warga ini juga merupakan andil dari aparat Negara yang dengan mudah memfasilitasi penyerobotan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Dalam rangka memuluskan proses pengusiran warga di tujuh desa, Menteri Dalam Negeri pada waktu itu membuat kebijakan penyelesaian masalah dengan cara menyertakan korban penggusuran dalam program transmigrasi swakarsa. Dalam program ini setiap korban mendapatkan ganti tanah seluas 2 hektar dengan perincian;
1) ¼ hektar untuk pekarangan;
2) ¾ hektar untuk lahan pangan; dan
3) 1 hektar untuk lahan usaha yang wajib disertakan sebagai plasma PT. BNIL.
Berdasarkan kebijakan Mendagri tersebut, Gubernur Lampung menerbitkan Ijin Lokasi kepada PT. BNIL seluas 6.600 hektar dengan perincian: 5.100 hektar untuk lahan inti dan 1.500 hektar untuk lahan plasma. Entah oleh motivasi apa, PT. BNIL dengan dibantu aparat Bakorstanda – Korem 043 Garuda Hitam memaksa masyarakat menandatangani blanko kosong dan memberikan uang Rp. 100.000 bagi yang telah tanda tangan.
Pembohongan dan Intimidasi
Pada tahun 1998 masyarakat baru mengetahui bahwa blanko kosong yang ditandatangani tahun 1993 itu berupa Berita Acara Penyerahan Lahan (plasma) dan Ganti Rugi. Artinya, masyarakat kehilangan lahan plasma 1 hektar dan diganti dengan uang Rp. 100.000.
Berdasarkan Berita Acara yang sudah ditanda tangani dengan pembohongan dan dengan paksa itu PT. BNIL mengajukan permohonan kepada Gubernur Lampung untuk mengubah status lahan plasma menjadi lahan inti. Dan Gubernur Lampung meluluskan permohonan PT. BNIL. Dengan demikian PT. BNIL memiliki lahan inti seluas 6.600 hektar.
Warga melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan dan merebut kembali lahannya. Namun, segala usaha yang mereka lakukan dalam rangka mempertahankan tanah sebagai sumber penghidupan selalu mendapat tindakan represif dari aparat Negara. Tak jarang mereka dianiaya, dipenjarakan, hingga tewas terbunuh. Segala usaha yang dilakukan oleh warga tersebut selalu dilihat oleh Negara sebagai tindakan kriminal. Padahal mereka merupakan korban dari perampasan yang dilakukan oleh PT. BNIL yang difasilitasi oleh Negara.
Selama 26 tahun perjuangan warga. Pemerintah tidak pernah menanggapi sungguh-sungguh atas tuntutan masyarakat. Pemerintah hanya selalu menyampaikan ‘jangan anarkhis’, ‘sabar’, ‘sedang diusahakan’. Penguasa sudah berganti-ganti, tanggapannya sama saja.
Sejak 1991 sampai dengan saat ini, sudah delapan nyawa melayang, baik dari masyarakat korban gusuran maupun Pam Swakarsa yang dibentuk oleh PT. BNIL. Kekerasan demi kekerasan terus berlangsung, tetapi pemerintah diam saja, malah justru memfasilitasi terjadinya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Awal Oktober 2016 warga kembali mendapat perlakuan represif dari aparat Negara. Kejadian ini berawal dari provokasi yang dilakukan Pamswakarsa terhadap warga STKGB yang sedang menduduki lahan. Kericuhan akhirnya terjadi setelah warga terpancing emosi. Menanggapi situasi tersebut, pihak kepolisian langsung memburu para warga hingga keluar desa, mereka diteror, dan berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan enam orang warga dan Pdt. Sugianto.
Terakhir, 02 Maret 2017 pada sidang putusan di PN. Tulang Bawang Lampung masing-masing warga di vonis 1 tahun 6 bulan hingga 2 tahun 4 bulan bagi enam orang warga STKGB termasuk Pdt. Sugianto yang dituding sebagai dalang kerusuhan. Padahal mereka hanya korban yang mempertahankan lahan mereka dari perampasan pihak perusahaan. (###)