Analisis feminis banyak berpendapat bahwa perempuan adalah petani tak kentara (the invisible farmers) namun tenaga kerja mereka memproduksi setengah makanan dunia. Ketangguhan kaum Hawa ini terlihat begitu nyata dalam kehidupan masyarakat Oirata, penghuni salah satu pulau kecil di Maluku bernama Kisar.
Paling tidak, itulah hasil penelitian berbulan-bulan yang dilakukan Ibu Non, dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Potret Perempuan Oirata di Pulau Kisar Menjaga Pangan, terbitan Titah Surga awal tahun ini.
Oirata sendiri merupakan nama sebuah desa dari 12 desa yang ada di Pulau Kisar.
Menurut Ibu Non, peran perempuan Oirata dan kaum perempuan Pulau Kisar pada umumnya sebagai penyedia pangan dalam keluarga patut diacungi jempol. Bukan hanya menyajikan, mereka jugalah yang mengerjakan semua prosesnya dengan penuh semangat, mulai dari mencangkul tanah, menanam bibit, merawat, memanen, dan kemudian mengolahnya menjadi makanan.
“Pekerjaan ambil air, cari kayu bakar atau kerja di kebun sudah biasa. Kalau tidak kerja badan sakit semua,” demikian ucapan seorang nenek berusia 75 tahun.
Dalam budaya masyarakat Oirata memang dikenal budaya pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki (gender division labour). Perempuan bercocok tanam sedangkan laki-laki beternak dan menyadap buah koli (lontar) untuk dijadikan sopi (minuman keras) dan gula merah.
Cara hidup seperti itu sudah berlangsung ratusan tahun, bahkan sebelum armada dagang Belanda atau VOC (Verenigde Oost-Indische Companie) menjejakkan kaki di Pulau Kisar.
Saat penelitian berlangsung pada 2010, kehidupan masyarakat di desa Oirata sudah cukup maju. Rumah penduduk umumnya terdiri dari tiga tipe, permanen, semi permanen, dan rumah sederhana yang beratap dan berdinding daun koli.
Selain fasilitas listrik dari PLN, beberapa warga juga menggunakan tenaga surya yang dihasilkan peralatan, pemberian saudara-saudara mereka di negara Belanda.
Satu hal yang masih menyulitkan adalah ketiadaan air bersih. Warga harus membuat bak atau sumur untuk menampung air hujan. Pasalnya, sekalipun pemasangan pipa PAM sudah dilakukan, belum diketahui pasti kapan perusahaan pemasok air bersih itu mengoperasikannya.
Semula Bernama Kihar
Dalam bab “Asal Mula Terjadinya Pulau Kisar” disebutkan bahwa pulau kecil yang kini berada dalam wilayah Maluku Barat Daya itu semula bernama Kihar dengan pantai yang dinamakan Kiasar, dan dihuni oleh dua suku, Oirata dan Meher.
Saat VOC datang, terjadi kesulitan komunikasi karena masing-masing tidak mengerti bahasa yang digunakan. Ketika seorang pemimpin armada dagang Belanda itu menusuk-nusuk tanah di pantai dengan sebatang kayu kering, orang-orang pribumi di sekitarnya mengira ia menanyakan nama pantai tersebut dan serentak menjawab, “Kiasar”.
Tetapi karena orang Belanda susah mengucapkan kata Kiasar, yang terucap adalah Kisar dan nama itu digunakan sampai sekarang.
Pulau Kisar memiliki luas 117,59 Km2, letaknya berdekatan dengan Pulau Leti, Pulau Moa, Pulau Lakor, Pulau Wetar, Pulau Romang, dan Pulau Timor yang sebagiannya telah menjadi Timor Leste.
Menurut Ibu Non, iklim di daerah ini sangat ekstrim untuk ukuran masyarakat yang mengandalkan hidup dari bercocok tanam, karena musim hujan hanya terjadi selama empat bulan dalam setahun.
Namun, hal itu pula yang menjadi alasan mengapa ketangguhan kaum perempuan Oirata dalam menjaga pangan bagi keluarga patut dipuji. Mereka bahkan dapat disebut Narai atau sang pemberi hidup.
Pertanian Tanam Itawase
Sebagai petani, perempuan Oirata melakukan cara berbeda dari petani pada umumnya. Mereka menerapkan sistem pertanian tanam yang disebut Itawase, dimana setiap lubang tanam diberi bibit lebih dari satu jenis tanaman pangan, misalnya jagung dengan kacang merah, dan kacang hijau, atau jagung, kacang kayu dan kacang merah.
Untuk tambahan, ditanam juga ubi jalar, singkong, kacang tanah, dan kelor sebagai tanaman sisipan di antara tanaman itawase.
Menurut Ibu Non, sistem pertanian tanam itawase ini sangat tepat dijadikan model ketahanan pangan rumah tangga di pulau-pulau terpencil, dan sangat relevan untuk dikembangkan pada saat Indonesia sedang berusaha mengatasi ancaman krisis pangan dewasa ini.
Keyakinannya itu pula yang membuat dosen Unpatti Ambon bernama lengkap Aphrodite Milana Sahusilawane ini berhasil meraih gelar doktor dengan predikat “cumlaude”, setelah melalui ujian terbuka di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, 9 Januari 2012.
Dalam catatannya, wilayah desa Oirata penuh dengan hamparan ladang jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan yang merupakan plasma nutfah dikelilingi pohon koli, serta padang rumput sebagai ladang penggembalaan ternak sapi, kambing dan domba.
Struktur tanah Pulau Kisar yang berkarang dan banyak padang rumput membuat masyarakat di daerah ini tidak membuka lahan khusus untuk pertanian melainkan bercocok tanam di halaman rumah.
Kegiatan menanam dilakukan saat musim hujan tiba, dan yang ditanam adalah tanaman pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang merah, kacang tanah dan umbi-umbian. Semua itu untuk mengisi kebutuhan konsumsi sehari-hari.
Dari aktivitas tersebut mereka bisa menyediakan makanan bagi keluarga, mulai dari bubur jagung untuk sarapan pagi hingga menu umbi, ikan atau daging dan sayur daun singkong atau daun kelor untuk makan siang maupun makan malam.
Kondisi itu menjadikan perempuan Oirata memiliki keistimewaan peran yang melebihi laki-laki dalam mengurus rumah tangga, karena selain sebagai penyedia makanan mereka juga harus tetap mengurus anak dan suami. Bahkan, sekalipun para suami berfungsi sebagai peternak dan penyadap buah koli, ternyata yang membawa dan menjual hasilnya di pasar adalah para isterinya.
Glosarium
Buku Potret Perempuan di Pulau Kisar Menjaga Pangan dicetak setebal 214 halaman, memuat enam bab tentang Maluku, Maluku Barat Daya dan Pulau Kisar sebagai objek penelitian.
Selain teks, buku ini juga memuat sebanyak 75 gambar dan tabel data untuk memberikan penggambaran yang lebih utuh kepada pembaca tentang kehidupan masyarakat di Pulau Kisar, secara khusus kaum perempuan di desa Oirata.
Kehidupan masyarakat di Pulau Kisar dipilih sebagai objek penelitian didasari pemikiran bahwa pulau itu merupakan salah satu pulau terluar Indonesia di wilayah Maluku yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah, dan adanya budaya perempuan yang bekerja di sektor tanaman pangan.
Bahkan, menurut Ibu Non, kaum perempuan di sana juga memiliki peran besar dalam acara-acara adat, suara mereka tidak hanya didengar tetapi juga dijadikan keputusan.
Satu hal menarik, dalam buku ini juga terdapat glosarium atau kamus kecil bahasa Oirata, berisi sekitar 200 kata yang diharapkan bisa bermanfaat bagi siapa saja yang ingin berkunjung ke desa Oirata, mengenal dan melihat secara langsung kehidupan kaum Hawa di sana.