[quote]One is not born a woman, one becomes one.” Simone de Beauvoir, The Seceond Sex (1949) [/quote]
Dalam pengantar buku The Second Sex, Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang perempuan sedang dalam proses menuju pemulihan mitos feminisme. Mereka mulai menyatakan kebebasannya dengan cara terang-terangan. Tetapi, sebenarnya perempuan belum dapat menikmati kehidupan yang mereka inginkan seperti kaum laki-laki. Berbagai institusi sosial yang ada dalam masyarakat masih kerap mamaksa perempuan mengakui dominasi laki-laki.
Pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh teori feminisme antara lain: bagaimana perempuan ditindas? Bagaimana kita bisa mengerti bahwa penindasasn perempuan terjadi karena atas dasar jenis kelamin dan bukan karena kekurang beruntungan atau karena individu tersebut. Bagaimana kita bekerjasama untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan? (McCann&Seung 2003)
Pemikiran kaum perempuan menegaskan segi-segi yang berbeda, bahkan sering bertentangan, dari pemikiran kaum laki-laki dalam filsafat moral sudah kelihatan sejak 1970-an. Sudah ada pelbagai publikasi mengenai etika feminis. Namun kiranya tidak berlebihan dikatakan bahwa buku yang paling berpengaruh adalah In a Different Voice (1983) karya Carol Gilligan. Bukan hanya bahwa Gilligan menegaskan kekhususan perempuan jika berfilsafat, melainkan dalam buku ini ia juga menunjukkan letak kekhususan itu, atau bagaimana bentuk sebuah etika yang khas intuisi perempuan itu: Itu adalah etika yang sekarang kita sebut “etika kepedulian” (ethics of care). Di Indonesia, suara seperti itu terdengar jelas dalam karya-karya NH. Dini.
Antagonisme terhadap dominasi laki-laki yang selalu dihubungkan dengan operesi perempuan tidak hanya dibicarakan oleh de Beauvoir. Pada tahun 60-an, di Indonesia, ada sosok perempuan bernama NH Dini, yang juga getol membicarakan permasalahan dominasi laki-laki dan konstruksi sosial yang sangat patriarkal melalui novelnya, pembaca dihadapkan pada permasalahan-permasalahan kehidupan perempuan yang terjadi saat ini.
Dengan gaya ketenangan seorang wanita, NH.Dini mampu menghadirkan perjuangan, pergulatan, dan pemberontakan wanita dalam mencari jati diri dan kebebasan. Walau sekecil apapun kebebasan yang didapat, tokoh Sri dalam novel Pada Sesbuah Kapal, atau tokoh Hiroko dalam roman yang sama, tampak dengan gigih memperjuangkannya. Demikianlah Nh. Dini, berusara lewat Sastra.
Nh Dini adalah salah satu dari sekian banyak penulis perempuan yang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Membaca dengan seksama karyanya menunjukan bahwa ia berprespektif feminis. Melalui tulisannya, Nh Dini menjadi wakil kaum perempuan untuk menyampaikan usul dan protes serta menjadi suara dari kebisuan perempuan.
Nh Dini telah lama melakukan perlawanan terhadap konstruksi seksualitas perempuan sejak tahun 1970-an. Salah satu karyanya yang disunting untuk melakukan perlawanan adalah “Kemayoran”, yang menggugat mitos malam pertama dengan menekankan kesakitan perempuan yang biasanya terbisukan oleh wacana kejantanan laki-laki.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.
Ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.
Pada 1960 Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang,. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis. Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis.
Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
“Perkawinan bukan satu-satunya tujuan dalam hidup. Masing-masing kita wajib mencari pengisian yang sesuai dan sepadan guna menyeimbangi kebutuhan jiwa. Oleh karenanya cerita manusia tidak berakhir hanya pada perkawinan. Jangan kaukira orang-orang yang telah kawin tidak mempunyai persoalan lagi dalam hidupnya…[s] etiap hari banyak orang yang mati, dengan mudah tanpa usaha atau daya upaya. Tapi setiap hari berjuta-juta orang berjuang dengan susah payah untuk hidup.” –NH. Dini dalam novelnya, Keberangkatan. []