Bina Desa

Kewajiban Negara Dalam Hak Atas Pangan

Kewajiban Negara Dalam Hak Atas Pangan

UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) mengamanatkan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Dalam konteks hak atas pangan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhinya sebagaimana hak asasi manusia lainnya. Negara dibebani kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan dan gizi yang terjangkau dan memadai. Oleh karena itu, pengabaian terhadap pangan dan gizi ini sendirinya bisa dianggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh negara. Bahkan, ketika hak atas pangan diabaikan secara terus menerus, maka pelanggaran tersebut bisa disamakan dengan pemusnahan generasi secara laten (silent genocide).

Hak atas pangan yang layak, memiliki asas indivisibility, yaitu keterkaitan satu hak asasi dengan bentuk hak asasi yang lain. Artinya, hak atas pangan tidaklah berdiri sendiri, namun juga bergantung pada penghormatan akan kebebasan dasar yang lain.

Yang juga perlu menjadi perhatian adalah soal posisi tanggung jawab negara dalam mekanisme pemenuhan hak atas pangan, sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Tanggung jawab negara seringkali ditafsirkan hanya bersifat obligations of result. Artinya, bisa dilakukan secara perlahan-lahan (progressively), disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia, dan tidak bersifat absolut. Berbeda dengan pemenuhan hak-hak sipil-politik, di mana tanggung jawab negara berbentuk obligations of conduct, sehingga mutlak diadakan.

Padahal, kedua bangunan hak tersebut direlasikan indivisible dan inter-dependent, sehingga penegakan dan pemenuhannya pun wajib dilaksanakan secara bersamaan, tidak timpang antara satu dengan lainnya.

Hak atas pangan yang layak membebankan tiga jenis atau tingkat kewajiban negara penandatangan, yakni; menghormati, melindungi, dan memenuhi. Pada gilirannya, kewajiban untuk memenuhi mencakup kewajiban untuk memfasilitasi serta kewajiban menyediakan. Dalam rangka mencegah terjadinya kompetisi yang tidak adil, negara dituntut untuk bisa melakukan affirmative action di setiap level kewajibannya.

Lebih spesifik, Panduan Hak Atas Pangan telah menjelaskan tiga level kewajiban negara. Kewajiban untuk menghormati hak atas pangan, mensyaratkan negara, dengan demikian termasuk seluruh organ dan badan-badannya, untuk sejauh mungkin tidak ikut campur dalam upaya masyarakat memenuhi hak atas pangan mereka, jika bentuk campurtangan negara justru akan melanggar integritas perorangan atau melanggar kebebasan individu untuk memilih dan menggunakan sumber daya yang tersedia atau dimiliki dalam upaya mereka memenuhi keperluan dasar mereka. Dikarenakan upaya seseorang untuk memenuhi haknya tidak boleh melanggar hak orang lain, maka merupakan tugas negara untuk menjamin hal ini, sebagai bentuk tanggung jawab di tingkat kedua yaitu kewajiban untuk melindungi, yang mensyaratkan negara melalui badan-badannya untuk mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin tercegahnya seseorang atau kelompok tertentu dari pelanggaran terhadap integritas dan kebebasan bertindak orang atau kelompok lain, atau pelanggaran bentuk hak asasi yang lain, termasuk untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok lain dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, khususnya sumber daya alam.

Kewajiban melindungi berarti negara harus mengeluarkan peraturan-peraturan atau instrumen-instrumen hukum berkaitan pemenuhan hak atas pangan warganya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu, serta melaksanakannya dengan dengan konsisten.

Kewajiban untuk memenuhi, secara singkat berarti negara harus berperan aktif membantu warganya dalam upaya memenuhi hak atas pangannya, dengan tidak mengurangi hak atas pangan warganya yang lain. Negara harus memastikan setiap individu dalam wilayah hukumnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jika hal tersebut tidak dapat dilakukan mereka sendiri.

Sebagaimana yang diuraikan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekosob, terdapat empat kategori utama pemegang kewajiban pemenuhan hak atas pangan yang layak, yaitu (a) negara-negara dalam kaitannya dengan kewajiban domestik mereka; (b) negara-negara dalam kaitannya dengan kewajiban eksternal mereka; (c) individu, dan (d) komunitas internasional. Bila mengikuti kategori kewajiban tersebut, maka dapat dikategorikan jenis kewajiban dalam konteks hak atas pangan ini. Pertama, kewajiban untuk tidak meniadakan satu-satunya sarana penghidupan yang tersedia bagi seseorang, atau kewajiban untuk menghindari perampasan hak. Kedua, kewajiban untuk melindungi orang-orang dari perampasan oleh orang lain atas satu-satunya sarana penghidupan yang ada, atau kewajiban untuk melindungi dari perampasan hak. Ketiga, kewajiban untuk menyediakan sarana bagi penghidupan mereka yang tidak mampu menyediakan untuk diri sendiri, atau kewajiban membantu yang terampas haknya.

Selanjutnya, dalam menilai realisasi Hak Atas Pangan di suatu wilayah, paling tidak, terdapat empat indikator utama yang  bisa digunakan, yaitu ketersediaan (availability), akses (accessibility), penerimaan (acceptability), dan kualitas (quality). Pertama, Ketersediaan (availability.) Ketersediaan mengacu pada kemungkinan untuk memberi makan diri sendiri langsung dari lahan produktif atau sumberdaya alam lainnya, atau pada distribusi, pemrosesan dan sistem pemasaran yang berjalan baik, yang bisa memindahkan makanan dari tempat produksi ke tempat di mana makanan itu dibutuhkan sesuai dengan permintaan. Ketersediaan itu misalnya sarana dan pelayanan kesehatan publik, program komprehensif untuk pemenuhan hak atas pangan, sarana pertanian, khususnya lahan pertanian bagi masyarakat. Selanjutnya, pengklasifikasian ketersediaan ini bisa berupa bahan dan kebijakan/ aturan hukum.

Kedua, Akses (accessibility). Akses dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Sumber-sumber material dan akses kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan sosial bersifat terbatas, sehingga diperlukan peran negara untuk aktif meningkatkan pencapaian hak-hak setiap orang dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Persoalan akses mencakup akses ekonomi maupun fisik. Akses fisik berarti bahwa bahan pangan yang layak harus terjangkau bagi semua orang, termasuk individu-individu yang rentan secara fisik, seperti bayi dan anak-anak, orang lanjut usia, cacat fisik, sakit parah dan orang yang sakit tak kunjung sembuh, termasuk sakit jiwa. Akses ekonomi berarti bahwa biaya finansial personal dan rumah tangga yang berkaitan dengan pembelian bahan pangan untuk suatu menu yang layak harus berada pada tingkatan tertentu di mana tidak mengganggu atau membahayakan perolehan dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

Akses ekonomi berlaku pada semua pola pembelian atau perolehan di mana masyarakat mengadakan bahan makanan dan merupakan suatu ukuran kepuasan bagi pemenuhan hak atas pangan yang layak. Kelompok-kelompok yang rentan secara sosial seperti orang yang tidak mempunyai lahan dan kelompok-kelompok miskin tertentu di masyarakat mungkin membutuhkan perhatian melalui program-program khusus.

lawanImporpanganBahkan, Sekjend PBB dalam General Assembly bulan Agustus 2002 menyatakan, perdagangan bebas dan bioteknologi pada dirinya sendiri amat sulit untuk memecahkan masalah kelaparan dunia, dan dapat seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi Hak atas Pangan, sebagaimana Pelapor Khusus PBB telah menjelaskan dalam laporan sebelumnya.  Lebih lanjut Sekjend PBB menyatakan,   Special Rappoteur on the right to food, percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk menghapus kelaparan di dunia. Hal ini berarti bahwa pilihan kebijakan seperti reforma agraria harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi suatu negara dalam hal keamanan pangan, di mana akses atas tanah adalah mendasar. Seringkali reforma agraria dinyatakan sebagai pilihan yang ketinggalan jaman dan tidak efektif, tetapi bukti tidaklah mendukung pernyataan itu. Rakyat harus mempunyai akses untuk membebaskan dirinya dari kebodohan, ketertinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan, ketergantungan, dan rasa takut.

Untuk itu, rakyat harus punya aset yang bisa dikelola dan punya akses untuk memberdayakannya. Petani harus punya tanah dan punya akses terhadap modal, teknologi, pasar, manajemen dan seterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi, punya kapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepentingan-kepentingannya. Punya akses untuk melahirkan inovasi-inovasi sosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial di pedesaan.

Paling tidak ada dua syarat untuk memenuhi hal tersebut. pertama, Penerimaan (acceptability). Seluruh sarana produksi pangan harus menghormati nilai dan budaya setempat. Penerimaan budaya dan konsumen berarti bahwa juga harus dipertimbangkan, sebisa mungkin, unsur-unsur yang nonnutrien yang terkandung dalam makanan. Juga menginformasikan pendapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan makanan yang bisa diakses. Kedua, Kualitas (quality). Selain ketiadaan akses seperti telah disebutkan di atas, persoalan pangan juga tidak terlepas dari fenomena banjir makanan yang tidak sehat. Sebagian besar masyarakat acapkali dihadapkan pada pilihan pangan murah tidak sehat, di mana di dalamnya mengandung bahan tambahan makanan (BTM) dan bahan pengawet seperti boraks, formalin, sulfit, berbagai pewarna, yang disebarkan bukan hanya oleh pedagang kecil melainkan juga oleh pabrik-pabrik besar.

Di Indonesia, realisasi hak atas pangan juga merupakan kewajiban konstitusional negara. Tugas pokok negara sudah jelas telah termaktub dalam konstitusi (UUD 1945), yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk bertanggung jawab memenuhi hak-hak sipil-politik dan Ekosob warganegaranya. (*)

 

Scroll to Top