Bina Desa

Kedaulatan Pangan Tanpa Benih GMO

Indonesia menjadi negara terbesar keempat dunia di bawah Cina, India, dan Amerika dengan jumlah penduduk sekitar 255 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu memerlukan asupakan makanan, khususnya beras dengan produksi setara padi 68,47 ton gabah kering giling. Dengan jumlah penduduk sebesar itu otomatis para korporat tak ada yang tidak tergiur menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar. Semuanya berlomba  berebut, bahkan sejak masih dalam keadaan benih.

Hal tersebut terlihat Indonesia secara kilat menjadi mangsa pasar global dari produk benih transgenik atau Produk Rekayasa Genetika yang biasa disebut Genetically Modified Organism (GMO). Benih atau produk berGMO ini sendiri sudah resmi diperbolehkan oleh Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan) merilis regulasi lewat aturan bernomor 61/2011 tentang pengujian, penilaian, penarikan varietas. Permentan No 61/2011 itu berisi 9 bab dan 61 pasal. Adanya regulasi tersebut melegitimasi benih rekayasa genetika atau berGMO untuk dipasarkan di Indonesia. Bahkan diduga kuat sekali intervensi dari korporat asing tersebut.

Hamzah (22) Petani Pertanian Alami Bina Desa melakukan perawatan/ memberikan nutrisi tanaman di lahan pertaniannya di Sulawesi.
Hamzah (22) Petani Pertanian Alami Bina Desa melakukan perawatan/ memberikan nutrisi tanaman di lahan pertaniannya di Sulawesi.

Selain itu, memang sudah banyak yang menduga jika kartel nasional dan internasional mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel surealia, agrokimia dan bibit tanaman pangan. Sedangkan di dalam negeri ada 11 perusahaan dan 6 pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas dan gula.

Indonesia sebagai negara merdeka sebarnya diuji kedaulatannya di tengah gempuran perusahaan yang hanya berorientasi mengakumulasi keuntungan saja. Pasalnya, perusahaan saat ini sudah seperti sejajar dengan negara. Seperti keanggotaan Indonesia dalam WTO yang berkonsekuensi melanggangnya perusahaan transnasional untuk memonopoli usaha perbenihan. Seperti Monsanto, Dupont, Dow, Syigenta, Bayer dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global.

Akibatnya, petani kerap menjadi korban karena kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola dan membudidaya benih. Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk berGMO yang banyak madhoratnya ketimbang manfaatnya.

Digugat Petani

Salah satu modharotnya adalah para petani semakin ketergantungan dengan benih-benih korporasi tersebut. Karena benih lokal semakin jarang. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman berakibat petani berpotensi dikriminalkan karena melakukan pembudidayaan benih secara mandiri.

Padahal, kegiatan memuliakan benih dan mengedarkan dalam skala komunal merupakan bagian kerja pertanian yang sudah berlangsung sejak ada kebudayaan ccocok tanam. Selain itu, UU SBT mengancam eksistensi petani dan eksistensi benih-benih unggul lokal yang kian hari makin punah.

Di sisi lain, pemuliaan benih yang dilakukan petani merupakan benih idaman yang cocok dengan karakter masing-masing daerah.  Karena, benih perusahaan yang dianggap “unggul” dan “intensif” tersebut justru kerap membuat petani harus membayar biaya produksi dengan lebih mahal. Hal ini diakibatkan oleh hama dan kerusakan ekologi akibat benih yang tidak cocok dengan lokalitas dan kondisi tanah di masing-masing daerah Indonesia tidak sama.

Gerakan Petani dunia juga melakukan protes menolak GMO
Gerakan Petani dunia juga melakukan protes menolak GMO

Oleh karena itu, dengan pelarangan membudidayakan benih secara mandiri tersebut hanya merupakan akal-akalan pemerintah demi keuntungan perusahaan pemonopoli benih. Sehingga, tak ada alasan lain bagi petani utnuk menggugat UU SBT ke Mahkamah Konstitusi pada 2013 lalu.

Tak sia-sia, MK pun akhirnya mengabulkan gugatan petani yang ingin mandiri dan berdaulat tersebut. MK menganggap Tiga Pasal UU SBT melanggar konstitusi. Diantaranya Pasal 9, 12, dan 60. Dengan kebebasan melakukan pemuliaan tanaman ini, petani tidak lagi tergantung kepada benih yang dijual perusahaan benih maupun bantuan benih pemerintah, dan semakin bisa berkreasi dalam budidaya tanaman, sehingga memungkinya terwujudnya kedaulatan pangan dan terhindar dari bahaya GMO. (*)

 

Scroll to Top