“Wajah agraria Indonesia diwarnai ketimpangan yang memiskinkan, mengerasnya konflik, dan rusaknya lingkungan yang membuahkan bencana. Masalah agraria yang kronis meliputi seluruh sektor dan semua wilayah.“
Hal itu ditegaskan Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan. Menurutnya, buruknya rupa agraria Indonesia dibentuk akibat kelakuan instansi/aparat pemerintah, serta bisnis dan preman dari skala global sampai lokal. Cakupan area yang diperebutkan jutaan hektar.
Di tengah karut-marut wajah agraria, pemerintah dan DPR tengah menyusun RUU Pertanahan. Apa relevansi RUU Pertanahan? Yang pasti ketimpangan agraria, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan menanti jawaban.
“Oleh karena itu, ada tiga paham (isme) yang harus dibendung: kapitalisme, liberalisme, dan sektoralisme. Ketiga ”isme” itu menempatkan tanah sebagai komoditas obyek spekulasi. Juga menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanahnya sendiri, memuja kebebasan pasar, menggerus peran negara sebagai pengelola urusan rakyat banyak, dan menjadikan setiap sektor sebagai obyek ekstraksi dan eksploitasi demi akumulasi kapital besar.” Jelas Usep.
Lima agenda utama
Sekurang-kurangnya, menurut opini Usep, ada lima agenda strategis yang harus diutamakan terkait RUU Pertanahan tersebut.
Pertama, penataan struktur agraria untuk mengakhiri ketimpangan. Ditetapkan konsep, pengertian, maksud, dan tujuan land reform. Dipastikan juga obyek dan subyek, serta mekanisme dan kelembagaan land reform. Tak kalah penting, diatur soal pembiayaan dan kerangka waktu pelaksanaan land reform.
Kedua, penanganan sengketa dan konflik pertanahan. “RUU ini mesti memberikan pemaknaan sengketa dan konflik pertanahan secara jelas dan utuh. Penting juga diatur prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik pertanahan.” Jelas Usep.
Ketiga, pengakuan dan penguatan hak-hak masyarakat adat. Keempat, perlindungan dan pemberdayaan petani penggarap. Perlu diatur identifikasi kelompok/organisasi, serta pembentukan dan pengembangan kelembagaan petani. “Perlu mekanisme pengadaan tanah bagi petani miskin, misalnya melalui redistribusi.” Kelima, sinkronisasi dan harmonisasi dengan regulasi lain dengan memosisikan UUPA sebagai rujukan.
Usep menyatakan RUU Pertanahan perlu jika diletakkan dalam konteks pelaksanaan Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Semangat utama regulasi pertanahan harus memperkuat hak rakyat atas tanah. “Legislasi pertanahan harus menjadi karpet merah bagi keadilan agraria. Jika sebaliknya, RUU ini layak ditolak sebelum telanjur disahkan.” Katanya.
Sejumlah prinsip mestinya melandasi RUU Pertanahan. Di antaranya, tanah sebagai sumber keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat; pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah individu dan badan usaha; larangan monopoli dan eksploitasi yang berlebihan; dan keharusan menggunakan tanah untuk keberlanjutan layanan alam.[SC]