Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto menyatakan pembahasan RPP Reforma Agraria sudah selesai. Bahan RPP tinggal dibicarakan di Sidang Kabinet.
“Dengan terbitnya payung hukum ini bakal memberikan jaminan keadilan atas tanah terhadap rakyat. Peraturan ini memungkinkan memberikan akses kepada masyarakat untuk menguasai atau memiliki tanah,” ujarnya kepada media ketika ditemui di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (20/12).
Ia menyatakan salah satu pasal yang terkadung dalam payung hukum itu yakni pemberian akses atas tanah dari tanah negara. Tanah itu nantinya langsung diberikan sebagai hak milik atau transisi dulu hak pakai atau selamanya hak pakai. Saat ini BPN mulai membentuk tim penyusun draft rancangan Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah. Langkah itu menyusul terbitnya Undang-Undang pengadaan tanah. “Sudah mulai dan tim sudah dibentuk, saya berharap sebulan atau dua bulan draft sudah rampung dibuat,” jelasnya.
PP Reforma Agraria merupakan dasar hukum program pemerintah membagikan 6 juta ha kepada masyarakat yang membutuhkan. Pada tahap awal luas tanah yang dibagikan sebesar 1,6 juta ha, yang merupakan tanah sisa dari pelaksanaan PP Nomor 224 tahun 1961 tentang redistribusi tanah. Jumlah lahan itu bisa ditambah menjadi 6 juta ha dalam beberapa tahap berikutnya.
Menurut Djoyo Winoto, Reforma Agraria bisa bermanfaat yakni memastikan bahwa tanah tidak ada sengketa. Di dalam pidatonya, Presiden SBY mengingatkan harus ada pengelolaan yang baik terkait dengan pertanahan. Termasuk juga mengenai pengelolaan konflik pertanahan yang harus menjadi prioritas.
Sementara itu Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Usep Setiawan berpendapat, pelaksanaan PP Reforma Agraria penting untuk memastikan hak-hak dan akses rakyat miskin. Khususnya kaum tani di pedesaan atas pemilikan dan penguasaan tanah menjadi lebih adil dan mensejahterakan. Usep Setiawan juga menambahkan, pelaksanaan reforma agraria itu, perlu mendapat dukungan dari seluruh kementerian dan lembaga yang terkait, serta ada tindak lanjutnya oleh pemerintah daerah. Tidak hanya itu, dalam pelaksanaannya, rakyat juga dilibatkan.
Penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dapat menjadi bagian dari solusi di tengah semakin marak dan kerasnya konflik agraria dan sengketa pertanahan di berbagai wilayah yang banyak memakan korban. Sebut saja seperti di Mesuji, Lampung, maupun Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, baru-baru ini. PP yang segera ditandatangani Presiden Susilo bambang Yudhoyono diharapkan dapat mencegah konflik-konflik tersebut.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan, yang juga Staf Khusus Kepala Badan Pertanahan bidang Hukum sebagaimana dilansir Kompas di Jakarta, Rabu (21/12/2911)
Menurut Usep, setelah pandangan bulat di jajaran kabinet, RPP tentang Reforma Agraria perlu segera disahkan, disosialisasikan dan dilaksanakan dengan secara konsisten untuk mewujudkan keadilan agraria sebagai bagian dari perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, tambah Usep, pelaksanaan PP tentang Reforma Agraria sangat penting untuk memastikan hak-hak dan akses rakyat miskin, khususnya kaum tani di pedesaan atas pemilikan dan penguasaan tanah menjadi lebih adil dan menyejahterakan.
Untuk mensukseskan pelaksaan PP Reformas Agraria, ujar Usep lagi, seluruh kementerian dan lembaga pemerintah terkait seperti kehutanan, pertanian, BUMN, ESDM, koperasi, kelautan dan lainnya harus segera menindaklanjuti pelaksanaannya bersama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota, paparnya.
Bisakah atasi konflik agrarian yang ada?
Sementara itu Rencana Presiden terkait akan segera mengesahakan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria pada Januari 2012, dinilai tidak akan membawa dampak signifikan pada penyelesaian konflik agraria, karena redistribusi tanah hanya akan dilakukan di tanah yang secara hukum ‘clear and clean, itulah yang tidak mungkin di wilayah konflik agraria
“PP Reforma Agraria tidak cukup atasi konflik agrarian yang ada, yang bersifat laten dan structural. Harus ada Komite Penyelesaian Konflik Agraria yang bersifat ad hoc.” Hal itu dinyatakan oleh Gunawan dari IHCS (Indonesia Human Right Commite for Social Justice). Di kantornya di Jakarta, (29/12)
Sesungguhnya kekerasan yang terjadi sebagai manifestasi konflik agrarian yang laten bisa diantisipasi, kenapa? Gunawan berpendapat karena di BPN, Komnas HAM dan di NGO/LSM ada laporanya serta ada pemberitaan media dan seharusnya intelijen Polri dan BIN bisa berikan peringatan dini.
Hal itu artinya, masih menurut Gunawan, jika konflik agraria tidak dibiarkan, maka kekerasan bisa dicegah, di level inilah seharusnya peran Pemda, BPN, Polisi dan kementerian terkait yang harus dipantau oleh Presiden dan DPR.
Komisi Add Hock Penyelesaian Konflik Agraria
“Konflik agraria harusnya diupayakan penyelesaian komprehensifnya oleh DPR, Pemda, Kementerian terkait, BPN, dan Komnas HAM. Dan perlu presiden atau Komnas HAM bentuk sebuah Komisi atau Komite Penyelesaian Konflik Agraria yang bersifat ad hoc.” Tegas Gunawan.
Kenapa perlu komisi atau komite, menurut Gunawan karena ada pelanggaran HAM baik sekarang atau warisan masa lalu; karena tidak semua urusan agraria bahkan pertanahan wilayah-nya BPN; karena ijin-ijin dilakukan Pemda; karena UU terkait liberalisasi agraria dibikin pemerintah dan DPR.
Konflik agraria banyak terjadi di wilayah perkebunan, kehutanan dan pertambangan karena disanalah investasi sedang dipusatkan. Nantinya akan di wilayah infrastruktur pasca disahkannya UU Pengadaan Tanah.
UU Pengadaan Tanah memanipulasi kata kepentingan umum, di sana tidak disebutkan tanah untuk pertanian pangan adalah kepentingan umum, dan bahwa memiliki tanah melebihi batas maksimum adalah bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana mandat UUPA 1960.
“Rencana Presiden akan sahkan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria pada Januari 2012, tidak akan membawa dampak signifikan pada penyelesaian konflik agraria, karena redistribusi tanah hanya akan dilakukan di tanah yang secara hukum ‘clear and clean, itulah yang tidak mungkin di wilayah konflik agraria.” Tegas Gunawan.***