Bina Desa

Paradigma Kedaulatan Pangan

Paradigma Kedaulatan Pangan

(Untuk Komunitas Dampingan Pedesaan)

Gagasan kedaulatan pangan sebagai bagian paradigma pembangunan pedesaan persisnya diluncurkan pada World Food Summit 1996 di Roma. Tidak seperti ketahanan dan keamanan pangan yang terbatas pada pendefinisian kepastian kecukupan pangan untuk masyarakat—namun mengabaikan cara dan perolehan pangannya, kedaulatan pangan memastikan hak ekslusif pangan di tangan para produsen pangan (petani kecil).

Kedaulatan pangan berarti memastikan kekuasaan dan kontrol atas pangan adalah hak eksklusif rakyat. Rakyat memiliki hak untuk menentukan pangan mereka sendiri dan sistem pertanian yang sesuai dengan corak budayanya. Hak ekslusif bagi petani dalam gagasan kedaulatan pangan menempati posisi penting agar petani bisa mandiri, sehingga mereka memiliki hak dan kebebasan atas benih, tanah, air, dan pasar mereka sendiri. Dengan demikian gagasan kedalutan pangan menempatkan rakyat dalam otoritas inti di jantung sistem pangan baik dalam memproduksi, distribusi dan mengkonsumsi—terlepas dari dari tuntutan pasar dan korporasi.

Singkatnya, meski keamaan (pangan) penting, yang paling tepat dalam politik pangan adalah kedaulatan. Ekonomi Politik Pangan: Kembali Ke Basis, dari Ketergantungan ke Kedaulatan (Bina Desa, 2011) menyebutkan bahwa kedaulatan pangan adalah suatu gerakan sosial yang menuntut terwujudnya sistem pangan yang adil.

Kedaulatan pangan juga menyiratkan hubungan sosial baru yang bebas dari penindasan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, masyarakat, kelompok ras, kelas sosial dan generasi. Soal pangan dalam gagasan kedaulatan pangan lebih dari sekedar isu pemenuhan pangan bagi rakyat sehari-hari, tapi merupakan gerakan sosial yang bertumpu pada landasan pembaruan agraria sehingga sistem pangan dunia yang adil mungkin terwujud.

Pemahaman yang utuh atas Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan menjadi penting di tengah kian serakahnya sistem pangan kapitalistik yang menghancurkan dunia kita melalui over-eksploitasi, perampasan hak, dan perampasan sumber daya alam.  Sistem pangan neoliberal yang kian nyata mengakibatkan krisis iklim sekaligus menciptakan ketimpangan yang membahayakan umat manusia dan kehidupan itu sendiri di masa depan.

***

Oleh karenanya bila pangan hanya didekati dari paradigma ketahanan dan keamanan saja, ekonomi politik pangan menghilangkan peluang pengadaan pangan menjadi alat menciptakan pekerjaan, dan karena itu juga alat pengangkat harkat. Selain itu, paradigma ini tidak mengakui peran dan  kontribusi perempuan dalam produksi, konsumsi dan distribusi pangan dan sebaliknya; bagaimana makna keterlibatan dalam produksi, konsumsi dan distribusi bagi kelangsungan kehidupan perempuan. Sehingga mudah saja menggantikan peran perempuan dengan korporasi pangan.

Bina Desa dalam buku terbitannya “Ekonomi Politik Pangan: Kembali Ke Basis, dari Ketergantungan ke Kedaulatan” (Bina Desa, 2011) menerangkan dengan mendetail konteks keamanan, ketahanan dan kedaulatan pangan.

Paradigma ketahanan dan keamanan pangan adalah paradigma yang membuka pintu bagi monopoli atau oligopoli dari korporasi pangan. Dari titik itu, demikian Bina Desa, sarana-sarana produksi pangan, seperti tanah, air, bibit dan iklim yang kondusif menjadi perebutan antara petani dan korporasi pangan. Tentu korporasi yang menang, karena didukung oleh perangkat Negara yang dibayar dari pajak rakyat termasuk petani, adalah korporasi. Paradoks-nya ‘penjajah dan pemerah’ rakyat dibiayai oleh pajak dari rakyat sendiri. Bila kita lihat lebih dalam pada pihak yang kalah, perempuan berada pada lapisan paling bawah dan ditempatkan pada ruang domestik karena tidak adanya akses pada ruang produksi.

Paradigma kedaulatan pangan, selain bertolak dari konsep yang terkait dengan itu, juga memperhitungkan konteks kebijakan mondial dan nasional yang bertentangan dengannya. Untuk itulah inisiatif-inisiatif lokal tentang kedaulatan pangan perlu kami munculkan sebagai alternatif terhadap kebijakan yang salah, bahkan selama ini menghisap produsen pangan utama; petani, nelayan (perempuan dan laki-laki) dari dua segi: sudah membayar pajak masih diserobot hak bertani dan memproduksi pangan secara independen. Negara juga dirugikan dalam dua  hal oleh praktek korporasi pangan: sudah memberikan keringanan investasi termasuk dalam tax holiday, mereka masih tidak selalu tunduk pada kebijakan memprioritaskan supply kecukupan pangan penduduk, semua penduduk. (Bina Desa, Ekopol Pangan; Francis Wahono, Dwi Astuti, Sabiq Carebesth (ed) 2011)

Francis Wahono dan Dwi Astuti secara khusus menyatakan, korporasi pangan cenderung kalah setia daripada petani dan nelayan dalam menyediakan pangan untuk bangsa. Namun, galibnya, seperti dalam kasus estate pangan (food estate), yang dipercaya oleh pemerintah untuk mensuplai pangan penduduk justru korporasi pangan. Sementara hampir semua kebijakan pemerintah meminggirkan produsen pangan utama.

Paradigma kedaulatan pangan juga mengedepankan perpsektif ekologis, kesetaraan gender dan revitalisasi budaya. Sebagai usaha berdaulatan dalam hal pangan yang sudah dipraktekkan bermillenium oleh para petani,  selalu mempunyai pendekatan dan  praktek holistik: ekologis, setara gender dan ramah budaya. Ketiga hal itu juga merupakan kekuatan yang mengandung dorongan produksi dan keadilan distribusi secara berkesinambungan. Itulah yang dipotong dan dibuang ke kotak sampah oleh pendekatan ketahanan dan keamanan pangan dari korporasi pangan dan pemerintah.

Keamanan dan ketahanan pangan lebih tepat kalau didudukkan pada dasar kedaulatan. Kalau petani, nelayan dan perempuan berdaulat dalam hal produksi, mereka bisa dididik untuk juga mengetengahkan keamanan pangan. Kalau petani berdaulat dalam hal produksi, mereka juga akan menjadi peserta aktif dalam menciptakan ketahanan pangan bagi bangsa. Dengan demikian perempuan tidak harus tinggal glanggang dan lari  keluar menjadi buruh migrant yang rawan pelecehan dan berbagai kekerasan. (*)

Editor: @sabiqcarebesth, 2014

 

 

Scroll to Top