Yogyakarta, BINA DESA: Forum diskusi perempuan pada Minggu malam di Jogja (21/1/2016). Bina Desa memfasilitasi organisasi perempuan dari berbagai wilayah dan individu untuk bermusyawarah mencari kemungkinan pembentukan organisasi perempuan-Bina Desa.
Perempuan berorganisasi kerap masih dianggap tabu bahkan menyalahi kodrat. Kesadaran semacam itu mesti dihadapi dan didiskusikan. “Masalah yang dihadapi perempuan secara individu sebenarnya adalah masalah politik,” kata Direktur Ekskutif Bina Desa yang akrab disapa mbak wiwik itu.
“Misalnya, ibu-ibu mengeluh mahalnya harga garam,” lanjut mbak wiwik. “Sebenarnya mahalnya garam itu ditentukan oleh sebuah kebijakan. Kebijakan itulah hasil proses politik. Jadi ibu-ibu tidak boleh takut untuk membicarakan politik. Politik mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Perempuan pun harus berpolitik.” Tegas mbak Wiwik.
Sementara itu ibu Nur Aini dari Jepara, ketua kelompok ibu-ibu nelayan Muara Wiso menyampaikan pengalaman dan kegelisahannya. Kelompok perempuan dampingannya kini tinggal 10 orang yang masih aktif (dari 20 orang) di kelompok, sisanya, karena sudah trampil dan sudah bisa berusaha sendiri sehingga menjadi tidak aktif di kelompok, misalnya sudah bisa berhubungan dengan dinas. “Kenyataan begitu ga selalu mudah mensikapinya karena kerap kita tak sejalan dengan agenda dari dinas,” ujarnya
Teh Dedeh dari kelompok Sauyunan Sukabumi menyatakan bahwa semangat dan kesadaran harus sejalan,.”Ibu-ibu berkelompok sendiri, karena kami seringkali ditekan oleh para bapak dalam mengembangkan kreatifitas dan menambah penghasilan,” tutur teh Dedeh. “Ibu-ibu sering disebut ‘mancawagah‘ atau keluar dari kodrat, sehingga kami mendirikan sauyunan ini,” paparnya.
Acara pertemuan perempuan pedesaan tersebut, jelas Dwi Astuti, adalah rangkaian awal dari upaya membuat organisasi perempuan pedesaan-Bina Desa. “mereka menyatakan kebutuhannya untuk berhimpun, belajar bersama dan saling menguatkan,” jelas Dwi Astuti. (*)