Pemerintah dengan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal melalui (Perpres) No 22 Tahun 2009 dinilai gagal menciptakan suatu gerakan bersama, namun harapan akan diversivikasi pangan terus disemai berbagai kalangan perduli kedaulatan pangan guna mengatasi ketergantungan pada bahan pangan tunggal khususnya beras, mengembangkan sumber karbohidrat unggulan lokal menjadi salah satu pilihannya.
UPAYA pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan lokal selain beras untuk merealisasikan diversifikasi pangan ternyata hanya isapan jempol. Hal itu antara lain terbukti dari regulasi dan implementasi yang tidak dipersiapkan secara matang.
Koordinator Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko, dalam kesempatan disukusi pada acara “Festival Desa” 2012 di Bumi Perkemahan Cibubur mengungkapkan kritiknya atas Peraturan Presiden (Perpres) No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang gagal menciptakan suatu gerakan bersama.
“Kalau saja inisiatif ini benar-benar dijalankan, dalam arti tidak berhenti pada tataran kebijakan dan melibatkan semua pihak, termasuk pemerintahnya, ini akan jadi masif,” ungkap Tejo dalam diskusi “Festival Desa” di Bumi Perkemahan Cibubur.
Tejo mengingatkan akan datangnya darurat pangan yang diperkirakan melanda dunia dalam beberapa tahun mendatang. Kondisi itu bisa diantisipasi dengan menghidupkan kembali produksi pangan lokal yang sumbernya sangat beragam di Tanah Air.
Selain itu, masyarakat juga perlu diajarkan untuk lebih fleksibel dalam pola asupan karbohidrat dan tidak bergantung sepenuhnya pada beras. “Kita punya sagu, talas, ubi, sorgum, gebang, sukun, dan lain-lainnya. Masyarakat perlu diajar kembali kepada kebiasaan-kebiasaan lama ini.” Tegasnya.
Senada dengan Tejo, Program officer untuk Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Puji Sumedi mengemukakan itu dalam seminar bertajuk Ragam Pangan Lokal, Sumber Ketahanan Pangan Nasional, di Jakarta.
“Kalau pemerintah serius dengan produksi pangan lokal selain beras, misalnya, kenapa tidak ada regulasi untuk menghentikan impor tepung terigu. Nyatanya, tepung singkong produksi petani dalam negeri jadi mubazir karena keran impor terus dibuka. Ini isapan jempol semata,” tukas Puji.
Ia menyatakan produksi beras nasional selama beberapa tahun belakangan stagnan bahkan cenderung menurun. Di sisi lain, produksi pangan setara beras juga tidak ada kemajuan, bahkan impor semakin deras.
Menurut Puji, program ketahanan pangan nasional yang diluncurkan Badan Ketahanan Pangan tidak diikuti dengan implementasi yang nyata.
Di beberapa tempat, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, Sulawesi, inisiatif masyarakat lokal sudah terbentuk melalui komunitas pangan lokal, namun belum mendapat dukungan serius pemerintah.
“Pemerintah selalu bilang, itu kan skalanya kecil dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional. Tapi, pemerintah tidak pernah berpikir bagaimana membuat inisiatif ini jadi gerakan nasional di semua daerah supaya lebih masif. Tampaknya pemerintah sebelah mata saja melihat persoalan kedaulatan pangan lokal ini,” tandas Puji.
Harapan dari Sumber Karbohidrat Unggulan Lokal
Sementara itu pada kesempatan lain Guru Besar Ilmu Gizi dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor dan anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Made Astawan, dalam diskusi ”Mengenal Nutrisi Tepat dan Presisi untuk Tumbuh Kembang Anak”, Rabu (9/5), di Jakarta, mengatakan konsumsi beras sebagai sumber karbohidrat di Tanah Air sangat besar. Upaya terbaik mengatasi ketergantungan pada beras adalah mengembangkan sumber karbohidrat unggulan lokal.
Menurutnya, rata-rata konsumsi beras dunia 60 kg per kapita per tahun. Konsumsi beras Indonesia 139 kg per kapita per tahun pada 2009. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia dengan 80 kg per kapita per tahun, Thailand 90 kg per kapita per tahun, dan Jepang 60 kg per kapita per tahun.
”Bagi penduduk Indonesia, kalau belum mengonsumsi nasi dianggap belum makan,” ujarnya. Beras bahkan sudah menggantikan makanan pokok di wilayah Indonesia timur. Untuk mengubah, tentu tidak mudah.
Namun, diversifikasi pangan perlu tetap diupayakan. Menurut Astawan, yang terbaik adalah kembali mengedepankan pangan unggulan lokal. Astawan mencontohkan, ada lebih dari 30 jenis sumber karbohidrat, antara lain jagung, ubi jalar, singkong, pisang, talas, gembili, gadung, sukun, dan suweg. ”Salah satu yang dikembangkan ialah ubi jalar yang warnanya bervariasi dan dapat diolah jadi makanan probiotik,” ujarnya.
Pengembangan produk lokal harus disertai penelitian, teknologi pengolahan, dan pengembangan resep makanan agar lebih mudah diterima masyarakat, dan tentu saja komitmen dan dukungan konsisten kebijakan pemerintah mutlak diperlukan dalam mendukung kedaulatan pangan yang memandirikan rakyat. [pubin/bindes/2012/sabiq carebesth]**