Pemilu 2014 akan bergulir, caleg perempuan pun memenuhi kuota, hanya soal kualitasnya bagaimana, itu tak ada jaminan bahwa mereka akan mampu memperjuangkan kepentingan perempuan dan hak asai manusia. Mereka yang berlatar belakang aktivis sangat kecil, porsinya hanya sekitar 3 persen. Kebanyakan mereka datang dari dinasti atau oligarki kekuasaan.
Figur populer lebih mendominasi di 2014 ini. “Kualitas mereka menyedihkan. Mereka ini takkan bisa memperjuangkan isu-isu perempuan,” Ujar aktifis perempuan yang juga Dosen Filsafat Univeristas Indonesia, Gadis Arivia, dalam wawancara khususnya dengan INDONESIA 2014.com.
Dalam wawancara bertajuk “Partai Lebih Suka Caleg Berpayudara Besar” itu Gadis juga menyebut publik figur perempuan yang dijadikan Caleg oleh Partai hanya dijadikan vote getter untuk mendongkrak suara.“Itu mengerikan sekali,” sesalnya. Padahal di tangan mereka, bukan hanya nasib perempuan, tapi juga rakyat banyak. Karena itu di kalangan feminis muncul perdebatan, lebih baik mana representasi atau kualitas? Berikut berita selengkapnya sebagaimana diwartakan INDONESIA 2014.COM:
Partai Lebih Suka Caleg Berpayudara Besar
Kaum perempuan dan kalangan minoritas kini masih mengalami diskriminasi di Era Demokrasi. Tantangannya bisa jadi lebih berat dari zaman Orde Baru. Jika di zaman Orde Baru tantangannya hanya dari negara. Kini, tak hanya negara, tapi juga kaum radikal agama. Pemerintah, parlemen, partai, alih-alih memperjuangkan hak sipil warga negara malah sibuk berebut kuasa.
Hal itu terekam saat Indonesia-2014.com berbincang dengan Gadis Arivia. Seorang feminis, aktivis perempuan, dan pengajar filsafat Universitas Indonesia. Gadis menegaskan hal itu terjadi karena negeri ini tengah mengidap sindrom mentalitas gerombolan. Para pejabat negeri ini melandaskan sistem pada aturan mayoritas, bukan asas keadilan. Pola pikir mereka bukan pemberdayaan, tapi kekuasaan. Bagaimana mendulang suara mayoritas.
Di sisi lain, sistem kuota (zipper system) untuk perempuan di parlemen tak dibarengi kesiapan partai dan perbaikan kualitas kaum hawa ini. Partai, imbuh Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan ini, lebih suka calon legislatif yang payudaranya besar, ketimbang yang kapasitas otaknya besar.
Dari data yang Gadis himpun, wajah perempuan di parlemen tahun 2009 kebanyakan para istri atau saudara pejabat, pengusaha, juga dari kalangan artis. Mereka yang berlatar belakang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat kecil, sekitar 3 persen. Yang terbesar dari kader partai, dinasti politik, dan figur populer. “Kualitas mereka menyedihkan. Mereka ini takkan bisa memperjuangkan isu-isu perempuan,” tandasnya.
Bahkan, tambah Gadis, di Pemilu 2014 ini kualitas mereka lebih buruk. Kebanyakan mereka datang dari dinasti atau oligarki kekuasaan. Figur populer lebih mendominasi. Merekalah yang disodorkan partai untuk rakyat pilih. Mereka dijadikan vote getter untuk mendongkrak suara.“Itu mengerikan sekali,” sesalnya. Padahal di tangan mereka, bukan hanya nasib perempuan, tapi juga rakyat banyak.
Karena itu di kalangan feminis muncul perdebatan, lebih baik mana representasi atau kualitas? Apakah sebaiknya mendorong calon legislatif tidak berdasarkan jenis kelamin atau berdasarkan kualitas dan kesadaran gender. Daripada mendorong perempuan tak berkualitas dan tidak mengerti apa-apa. Apalagi banyak perempuan yang pikirannya masih patriarkis.
Gadis juga bercerita bahwa ia dan para feminis kini terus mengampanyekan konsep radical equality sebagai terapi kejut. Tak hanya itu, ia menjabarkan berbagai tantangan dan perjuangan keadilan gender ke depan. Ia juga mengomentari beberapa calon presiden dan harapannya ke depan. Berikut petikan lengkap wawancara Indonesia-2014.com dengan penulis buku Feminisme Sebuah Kata Hati ini di UI, Depok, Rabu, 12 Maret 2014 lalu:
INA.2014: Anda dikenal sebagai feminis atau aktivis perempuan. Sudah berapa lama Anda menekuni isu perempuan dan berjuang lewat Jurnal Perempuan?
GA: Edisi pertama Jurnal Perempuan itu Agustus 1996. Pada Agustus tahun ini kami akan merayakan ulang tahun ke-18. Sekarang sudah edisi 82. Jurnal Perempuan satu-satunya jurnal feminis di Indonesia. Awalnya banyak yang memprediksi jurnal itu tidak akan bertahan seperti halnya Prisma dan jurnal lain. Apalagi kami tidak punya modal besar.
INA.2014: Selama 18 tahun, apa hal yang paling meresahkan terkait isu perempuan?
GA: Kita mengalami zaman Orde Baru dan Era Reformasi. Perbedaannya sangat besar. Saat Orde Baru, perempuan menghadapi pemerintahan (state) yang otoriter. Isunya tentang kebebasan. Peran Darma Wanita dulu untuk menyeragamkan perempuan. Karena ideologi Orde Baru adalah penyeragaman masyarakat. Platform kami saat itu sama seperti mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu memperjuangkan demokrasi.
Isu kami tidak spesifik soal perempuan. Bagi kami, yang paling penting saat itu adalah demokrasi. Dalam pemahaman kami, demokrasi akan membuka ruang kebebasan. Jika ruang sudah terbuka, maka isu perempuan akan ikut di dalamnya. Karena itu kami terlibat dalam demonstrasi Suara Ibu Peduli.
Nah, tantangan di Era Reformasi sekarang berbeda. Kita tidak lagi menghadapi state, tapi radikalisme. Waktu melawan state kita tahu jelas siapa musuh kita, tapi sekarang tidak. Melawan radikalisme agama agak sulit. Kalau Orde Baru dulu melandaskannya atas nama Pancasila. Kami lebih mudah mematahkannya. Sekarang atas nama agama. Lebih sulit. Mereka menggunakan ayat kitab suci, bukan ayat konstitusi. Kami pernah didatangi Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi radikal lainnya.
INA.2014: Di Era Reformasi ini negara juga tak hadir untuk melindungi hak rakyat, khususnya kaum perempuan?
GA: Seharusnya di negara demokrasi ada perlindungan. Negara turut menjaga demokrasi dan hak-hak sipil warganya. Tapi kenyataannya negara turut bermain dengan kelompok-kelompok Islam radikal itu. Apalagi negara merasa perlu untuk berkoalisi dengan partai Islam. Pada dasarnya masyarakat kita moderat, tapi karena ada sekelompok orang yang diberi ruang oleh negara mereka lantas mendominasi atas nama Tuhan.
INA.2014: Ini ada kaitannya dengan maraknya Peraturan Daerah (Perda) Syariah di beberapa daerah?
GA: Iya. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tahun lalu mencatat ada 346 Perda Syariah yang diskriminatif terhadap perempuan. Dari sekian banyak Perda itu sekitar 90 di antaranya mengatur perempuan secara fisik: pakaiannya, jam keluar rumah, dan sebagainya. Sementara laki-laki sama sekali tidak diatur. Lebih parahnya lagi, pemikiran atau aturan seperti ini diakomodir oleh pemerintah.
INA.2014: Kenapa itu bisa terjadi di alam demokrasi kini?
GA: Dalam teori politik, ketika Anda menang seharusnya sebagai pemimpin Anda bisa mengontrol itu. Sebaliknya, yang terjadi malah ketidaktegasan. Mau mengakomodir semua keinginan partai politik. Ketika mau membuat kebijakan harus negosiasi dengan mereka. Padahal seharusnya tidak ada alasan untuk melakukan itu. Mungkin karena Partai Keadian Sejahtera (PKS) sangat kuat di daerah sehingga jilbab bisa menjadi norma.
Saat mengajar di kelas, saya beberapa kali katakan bahwa kita sedang menghadapi mentalitas gerombolan. Tidak ada substansi. Yang ada hanya reaksi atau pencitraan. Tidak heran jika dalam kampanye, calon legislatif yang berasal dari kalangan artis atau yang lainnya, mereka lalu menggunakan jilbab agar bisa terpilih. Mentalitasnya jadi mentalitas gerombolan. Hanya ikut-ikutan. Tak ada substansi.Hanya kemasan. Isinya tidak ada. Kemasan populer tanpa ada pertarungan ide. Beda dengan mentalitas sosial. Ada isu yang kita tawarkan ke masyarakat.
INA.2014: Di zaman Orde Baru, isu yang diangkat soal kebebasan dan demokrasi. Kalau sekarang apa?
GA: Di zaman Orde Baru kekerasan domestik marak karena tidak ada demokrasi. Sehingga tidak muncul dan terbuka ke permukaan. Ditambah dengan mentalitas diskriminatif, yang tidak hanya kepada perempuan, tapi juga terhadap kaum minoritas lainnya. Sekarang sudah terbuka, tapi masih dengan mentalitas yang sama.
Bahkan, kualitas para pembuat kebijakan kita semakin rendah. Sehingga semakin rendah juga kebijakan yang mereka susun untuk kaum perempuan dan kelompok minoritas. Kami sempat mewawancarai mereka. Dengan membuat aturan yang diskriminatif mereka merasa tidak ada yang salah dengan itu semua. Mereka tidak punya kapasitas berpikir bahwa negara ini bukan berdasarkan rule of majority, tapi berdasarkan keadilan. Soal seperti itu saja tidak masuk ke logika mereka. Apalagi kalau kita bicara ethics. Kualitas mereka belum pada taraf itu.
INA.2014: Separah itu kualitas mereka? Mungkinkah meningkatkan kualitas mereka?
GA: Kami baru saja mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan para calon legislatif perempuan. Kualitas mereka menyedihkan. Begitu juga kalau kita lihat wajah perempuan di parlemen tahun 2009. Mereka yang berlatar belakang aktivis LSM sangat kecil sekitar 3 persen. Yang terbesar dari kader partai, dinasti politik, dan figur populer. Mereka ini terdiri dari para istri atau saudara pejabat, pengusaha, juga dari kalangan artis. Mereka tidak akan bisa memperjuangkan isu-isu perempuan.
INA.2014: Bukankah masalah gender bukan soal jenis kelamin? Laki-laki juga bisa menjadi feminis. Jadi, masih pentingkah representasi perempuan jika kondisinya seperti itu?
GA: Memang masalah gender atau feminisme itu bukan soal jenis kelamin. Banyak perempuan yang pikirannya patriarkis. Sebaliknya, banyak laki-laki yang punya kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender. Ini menjadi perdebatan di kalangan kami. Apakah sebaiknya kami mendorong calon legislatif tidak berdasarkan jenis kelamin, tapi berdasarkan kesadaran dan kualitas. Daripada mendorong perempuan tapi tidak mengerti apa-apa. Misalnya, di Metro TV beberapa waktu lalu, ada artis yang mengatakan bahwa dia akan masuk ke Komisi VIII karena dia fitness setiap hari.
Perdebatan ini seru di antara kami. Apakah representasi atau kualitas? Ada yang berpendapat, kita dorong dulu representasi. Setelah itu baru kita berdayakan. Di beberapa negara strategi ini berhasil dalam sekian periode Pemilu. Masalahnya di negara kita sudah beberapa kali Pemilu, calon-calon legislatifnya tidak ada kemajuan.
Ada LSM yang punya data bahwa calon legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu kali ini kualitasnya lebih buruk. Dalam artian mereka kebanyakan datang dari dinasti atau oligarki kekuasaan. Figur populer lebih mendominasi. Sementara caleg laki-laki juga kondisinya parah.
Kami merasa bahwa pendidikan politik yang kami lakukan gagal. Gagal karena partai tidak mau berubah. Civil society memang sudah melakukan pendidikan politik terhadap caleg, tapi pada akhirnya ketika partai memilih orang, mereka lebih suka caleg yang payudaranya besar, ketimbang yang kapasitas otaknya besar.
INA.2014: Mengapa Anda tidak mencoba untuk melakukan pendidikan politik gender kepada tokoh sentral partai?
GA: Kalau orang partai tulen terbukti susah. Mereka sudah punya cara berpikir yang sulit diubah. Cara pikir mereka bukan pemberdayaan, tapi kekuasaan. Mereka berpikir tentang bagaimana meraih suara. Bagi mereka, selebritis adalah vote getter. Itu yang penting bagi mereka. Pendidikan politik bagi mereka sekadar lips service. Intinya adalah bagaimana mereka bisa merebut kekuasaan.
INA.2014: Adakah tokoh sentral partai yang begitu peduli terhadap isu gender?
GA: Dari partai besar seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat itu sangat sedikit. Bahkan bisa dikatakan tidak ada. Ini bisa dilihat, misalnya, partai besar cenderung tidak mencapai kuota 30 persen perempuan. Malah partai baru seperti Nasdem yang mencapai kuota itu.
INA.2014: Bukankah sistem kuota (zipper) itu kemenangan tersendiri bagi para feminis dan aktivis gender?
GA: Betul, tapi kualitas calon perempuan yang dimajukan itu masalahnya (tertawa). Bayangkan, orang-orang di DPR itu menentukan kehidupan kita setiap hari. Di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan. Orang-orang seperti itu yang dikasih mandat partai untuk dipilih rakyat. Itu mengerikan sekali.
INA.2014: Lantas, apa yang akan Anda lakukan untuk bisa mengubah wajah parlemen?
GA: Kami harus tampil dengan ide baru yang kreatif. Misalnya, kami bicara tentang radical equality. Jika poligami bukan masalah, maka kami mendorong radical equality bahwa poliandri harus dianggap tidak bermasalah juga. Ini akan menjadi semacam shock therapy.
INA.2014: Gagasan radical equality ini sudah dibicarakan ke mana saja? Ke caleg atau partai?
GA: Kami sudah membicarakannya ke beberapa akademisi. Ke partai juga.
INA.2014: Bagaimana respons mereka?
GA: Mereka menganggap bahwa itu mungkin harus dilakukan.
INA.2014: Tadi Anda katakan sebagian besar petinggi partai tidak punya perspektif gender. Bagaimana dengan kandidat presiden?
GA: Mereka mau datang ketika diundang oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, yang kebanyakan profesornya laki-laki. Sampai saat ini belum ada kandidat yang datang ketika diundang oleh kelompok perempuan. Itu menjadi catatan buat kami, selain bahwa forum itu tidak kritis sama sekali, normatif, dan hanya kemasan. Setelah Pemilihan Legislatif kami akan coba undang lagi. Setelah Pemilihan Legislatif pasti nama-nama calon peresiden (capres) sudah mengerucut.
INA.2014: Dari nama-nama capres yang muncul sekarang, seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie, apa kesan Anda?
GA: Prabowo by nature akan kesulitan mendapat suara dari kelompok perempuan yang kritis karena persoalan HAM. Kelompok perempuan sangat dekat dengan isu HAM. Aburizal, dengan isu Lapindo dan kerusakan lingkungan juga sangat mempengaruhi pilihan perempuan.
INA.2014: Ada pesan khusus untuk para caleg dan capres?
GA: Tidak ada pesan khusus untuk mereka. Saya hanya berharap mereka menjadi sosok yang lebih bernyali serta menggunakan hati dan pikiran. Salah satunya untuk menggugurkan Perda-perda yang diskriminatif.
Tatanan masyarakat kita juga harus diubah. Ada tiga syarat yang harus kita perhatikan jika mau meninggalkan mentalitas gerombolan menjadi mentalitas sosial. Pertama, contoh dan pola. Contoh itu adalah figur yang demokratis dan membela HAM. Untuk contoh dan pola ini belum ada figur yang cukup dihormati. Yang ada sekarang hanya kemasan saja. Kedua, lingkungan dan fasilitasnya. Apakah fasilitas yang ada mendukung demokrasi dan HAM, termasuk untuk membangun masyarakat yang toleran? Apakah undang-undang kita sudah mendukung itu?
Yang terakhir adalah pendidikan, nilai, dan norma. Apakah sistem pendidikan kita sudah mendukung masyarakat menjadi demokratis dan toleran? Mulai dari kurikulum sampai para pengajarnya. Apalagi kita bisa lihat beberapa rektor dan akademisi masuk bui karena korupsi. Jika mentalitas sosial dengan tiga syarat ini tidak ada, negara ini sudah atau akan amburadul.***