Bina Desa

Petani Menggugat Sistem Budaya Bercocok Tanam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman tengah disidangkan di MK (Mahkamah Konstitusi) untuk dilakukan peninjauan kembali (Judicial Review) oleh para petani. UU ini mengakibatkan semakin hilangnya benih lokal, dan petani jadi sangat tergantung dengan benih. Sementara jika petani ingin mandiri dan mengedarkan benih atau kegiatan pemulian benih, dianggap akan jadi masalah bagi perusahaan dan petani rentan dikriminalkan. Padahal kegiatan memuliakan benih dan mengedarkan dalam sekala komunal merupakan bagian dari kerja pertanian yang sudah berlangsung sejak ada kebudayaan bercocok tanam.

“Cara pandang UU ini adalah memisahkan benih dari kerja pertanian oleh petani. Sehingga UU ini bicara soal izin dan sertifikasi tanpa memberi pembedaan yang jelas antara petani dengan perusahaan. Maka seperti kasus Kediri dimana ada sentra perusahaan benih, ancaman kriminalisasi terjadi seperti pada kasus pak Tukirin dengan PT. Bisi di Kediri.” Ungkap salah satu pengacara pembela dari IHCS, Gunawan.

Lebih jauh Gunawan menjelaskan inti gugatan atas UU no 12 ini, pada pasal 5, yang intinya proses pemulian tanaman tidak melibatkan petani. Perencanaan pemulian benih pemerintah hanya mengkondisikan. Pada pasal 6 petani berhak menanam apa yang dikehendaki. Tapi di pasal berikutnya petani harus ikut pada rencana pemerintah. Dan di pasal 9 petani wajib meminta izin untuk kegiatan pemulian nuftah benih dan pengedaran benih. Maka pada UU ini di pasal 60 mengatur tentang pemidanaan petani. Maka merujuk pada konstitusi pasal 28, pasal 33, undang-undang SBT ini rentan melanggar hak-hak petani.

Rawan Dikriminalkan

Mengamini apa yang dikatakan Gunawan, menurut Pak Tukirin, Petani jagung dari Kediri UU SBT akan dirasakan sangat memberatkan petani. “kami tidak boleh memuliakan benih dan mengedarkan karna kami dianggap tidak punya izin.” Ujar Tukirin ketika datang ke Jakarta untuk menghadiri sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi. “Pengalaman saya, waktu saya melakukan penyilangan benih jagung, sayaa dikriminalisasi. Saya sudah melakukan itu sejak 1998 sampai sekarang dan ga pernah ada apa apa. Tapi pada 2000an mulai saya dipersoalkan karna pemerintah bilang apa yang dilakukan saya merugikan perushaan.” Imbuhnya. Tukirin juga mengatakan harga perushaan bisa sampai 50 ribu perkilo malah jagung manis ada yang 500 ribu perkilo, padahal hasil panen raya harga jagung pasti murah. Paling sekilo 2500. Perusahaan memperbudak karna mereka menjual benih dengan harga mahal, tapi mereka juga membeli hasil panen dengan harga sangat murah. Sebagian melalui kemitraan. “Kalau ada yang membudidaya sendiri pasti didatangi oleh perusahaan dengan membawa aparat. “ jelas Tukirin smabil mengenang apa yang pernah di alaminya. “16 januari saya ditangkap sampai 7 bulan pemenjaraan. Setelah dibebaskan saya tetap menerima intimidasi. Benih saya dibilang palsu tapi hasilnya sama dengan benih perusahaan.

Petani Lebih Unggul

Jika dibandingkan dengan industri benih yang didanai oleh uang yang begitu milimpah untuk menemukan benih yang sering diklaim unggul, petani sejatinya jauh lebih dulu, lebih berhasil, murah, berbudaya dan religius. Apa lagi jika jujur, dalam sejarah kita sama tahu bahwa penjaga diversitas kergaman benih adalah petani. “Hasil penelitian mengataakan sejak 1960an, 1,9 juta jenis tanaman diproduksi dan diciptakan oleh petani, sementara perushaan hanya 720 ribu jenis tanaaman. Sementara untuk khusus untuk tanaman pangan, petani 5000 tanamn pangan, perushaan hanya 150 jenis saja.” Kalo perushaan membutuhkan 10 tahun dan sekian juta dolar hanya untuk menghasilkan satu benih GMO seperti yang akhir-akhir ini baru dirilis, bayangkan dengan petani? Jadi siapa sebenarnya yang lebih berhak atas benih? Bukankah memberikan sesuatu kepada yang bukan ahlinya dan bukan pada tempatnya adalah kedzaliman? Benih untuk petani, mereka lah yang paling berhak untuk menjaga benih, pangan dan akhirnya kehidupan dan kebudayaannya.

Penyeragaman

“UU SBT mengancam eksistensi petani pemulia benih sekaligus eksistensi benih-benih unggul lokal kita yang makin hari makin punah,” demikian tutur Ridwan Darmawan selaku salah satu kuasa hukum para penggugat yang terdiri dari sekitar tujuh lembaga swadaya masyarakat diantaranya Field Indonesia, IHCS, API, ADS, Bina Desa, KRKP dan SPKS.

“Akses petani pemulia benih kecil terhadap plasma nutfah sangat sulit, karena mahal dan rumit. Petani juga mengalami diskriminasi karena mendapat penyamaan perlakuan dengan korporasi dalam hal perolehan izin peredaran benih hasil pemulian,” tambah dia. Selain aturan kriminalisasi dalam pasal 60, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menguji pasal 5 ayat 1 huruf a sampai d, pasal 6, pasal 9 ayat 3, serta pasal 12 ayat 1 dan 2. Di satu sisi, UU SBT memberi wewenang kepada pemerintah untuk menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman sesuai tahapan rencana pembangunan nasional, dan menetapkan wilayah pengembangan budidaya tanaman. Tetapi di sisi lain, petani diwajibkan ikut dalam mengembangkan dan produksi budidaya tanaman.

“Pasal 6 ayat 1 UU SBT sebenarnya memberi kebebasan kepada petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Namun dalam aktivitas pemuliaan tanaman serta pencarian dan pengumpulan plasma nutfah tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada izin dari pemerintah. Beberapa petani berurusan dengan hukum karena dilaporkan perusahaan benih.” Terang Ridwan.

Joharipin misalnya, petani pemulia tanaman asal Indramayu mengaku kegiatan pemuliaan benih oleh kelompok tani di daerahnya, telah dilarang diedarkan oleh Dinas Pertanian karena dianggap ilegal, tak bersertifikat, dan mengundang ledakan hama. Padahal menurut Joharipin, benih yang selama ini dimuliakan petani adalah benih idaman yang sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Misalnya benih “alhamdullilah” hasil persilangan benih lokal terbukti tahan hama, sebaliknya benih dari pemerintah tidak.

“Paradigmanya masih asal “unggul” dan ”intensif”, asal produksi bisa melimpah; tak perduli setelah itu lahan rusak atau petani harus membayar biaya produksi pertanian lebih mahal karena harus mengatasi hama dan kerusakan ekologi akibat benih yang tidak cocok dengan lokalitas dan kondisi tanah yang dimasing-masing tempat di Indonesia tidak sama. Penyeragaman sembari menumpulkan intelektual bercocok tanam dan kearifan budi daya tanaman para petani sesungguhnya sedang berlangsung dalam pandangan pemerintah atas UU Sistem Budi Daya Tanaman ini. “ ungkap Ridwan Darmawan pada kesempatan hari itu, Senin, 4 Februari 2013 di Gedung Mahkamah Konstitusi selepas sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pemohon dan pemerintah atas UU SBT ini.

Salim, petani asal Pasuruan, pada kesemptan yang sama di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) siang itu menceritakan pengalaman menerima bantuan benih dari pemerintah. Dalam sidang ia bersaksi bahwa benih dari pemerintah sangat rakus pupuk, boros input, dan hasilnya menurun jauh dari sebelumnya. “saya coba disuap untuk tutup mulut atas fakta dari program bantuan benih itu.” Katanya. Ia menyayangkan jika petani yang selama ini memuliakan tanaman justru dikriminalisasi. Kebiasaan tukar-menukar benih juga dipaksa diubah, petani dibuat tergantung pada industri.

Sementara itu Dayat, petani asal Ciamis, dalam sidang sebagai saksi bahkan memperagakan bagaimana benih tanaman pangan dari pemerintah yang sangat tergantung dengan penggunaan pestisida dan pupuk kimia, telah merusak ekologi tanah. Dibantu oleh seorang rekan, Dayat mulai mendemonstrasikan perbandingan antara tanah yang memakai pupuk organik dan tanah yang terbiasa dengan pupuk kimia, dari sisi penyerapan air dan oksigen.

Mencengangkan, semua diruang sidang terhenyak tak terkecuali Mahfud MD yang memimpin sidang siang hari itu. Secara fisik, tanah yang terlalu sering memakai pupuk kimia tak akan bisa menyerap oksigen dan menampung air. Pupuk kimia telah membunuh mikro organisme, membuat tanah keras, lengket, tak subur. “Bibit tanaman dari pemerintah sangat tergantung dengan pemakaian pupuk kimia dan pestisida.” Jelas petani dari ciamis tersebut.

Karena Allah

Betapa mengancamnya UU Sistem Budidaya Tanaman ini juga sudah diwanti-wanti oleh petani pemulia benih yang lain. Menurut Parsinah, petani dan pemulia benih dari Indramayu.

Ketergantungan, pembodohan dan sikap ruhani menjadi latar yang kuat baginya untuk menggunakan benih sendiri yang ia muliakan dengan tangannya sendiri, sebagai kerja, kearifan pengetahuan petani, dan kebudayaan bercocok tanam yang ia warisi turun temurun. “Pengalaman saya membuat pemulian benih lokal dilatar belakangi pembodohan yang menghasilkan kemiskinan pada kehidupan kami sebagai petani. Jadi saya belajar. Saya lalu belajar benih dengan aturan Allah, jadi memilih benih yang memang cocok dengan tanah di desa kami.” Papar Parsinah. “Bersama 27 petani anggota saya kami memuliakan benih. Tahun 2000an saya mencoba menyilangkan benih lokal yang memang cocok dan tidak disukai hama lokal. Dan memang saya tidak menyemprot tanaman saya. Tapi saya malah dilaporkan karena saya tidak menanam benih unggul dan tidak menyemprot. Sama kepala dinas saya dibilang salah karena tidak menyemprot, dibilangnya saya membudidayakan hama.” Kisahnya lebih jauh. “Saya di ancam, tapi tetap saya akan tetap mencari benih lokal yang cocok dengan tanah kami dan bisa anti wereng tanpa harus di semprot. Nyatanya padi hasil benih penyilangan yang kami lakukan hasilnya pun bagus ga kalah sama benih unggul dari perusahaan.” Imbuhnya. “Pokoknya saya soal benih memakai aturan dari Allah sebagaimana tradisi kami telah berlangsung semenjak nenek moyang kami.” Tegas Parsinah kembali. []

Laporan: Sabiq Carebesth.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top