Bina Desa

Sediono MP Tjondronegoro: Merosotnya Kemandirian dan Kebersamaan

Hari-harinya kini tidak lagi sesibuk sebelumnya. Kegiatan akademis dan penelitian tidak lagi sebanyak dulu. Tidak lagi duduk sebagai promotor utama pengujian calon doktor, tidak lagi mengajar secara rutin, tidak lagi melakukan penelitian lapangan. Lebih banyak di rumah, tempat menghasilkan karya-karyanya selama ini. Namun, perhatian dan kegiatan tetap di sekitar pemberdayaan masyarakat, seperti Yayasan Akatiga di Bandung atau Yayasan Bina Desa di Jakarta-dua yayasan LSM yang dia ikut mendirikan.

Pernah melamar ke angkatan laut di Den Helder, Belanda, tetapi ditolak karena lima jari tangan kirinya tidak utuh kena pecahan mortir Belanda pada tahun 1945 di dekat Mojokerto. Bagaimana ia diselamatkan penduduk, tertanam dalam hatinya sebagai contoh kebersamaan yang tulus.

“Saya diangkut penduduk dengan daun pintu yang dicopot langsung dari rumahnya,” kata Prof Dr Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro (87) di rumahnya, Jalan Pakuan Indah, Bogor, Senin (9/11) yang lalu. Pengalaman kebersamaan itu membekas dalam dirinya. Di usia 87 tahun, baginya kemarin adalah sejarah, masa depan adalah misteri; heri est historia,crastinum mysterium.

Disiplin sosiologi, khususnya masalah pedesaan, membawanya ke sejumlah daerah pedesaan di berbagai negara. Prof Sediono ingin ikut mengembangkan demokratisasi, khususnya demokrasi sosial ekonomi. Rentangan usia yang sarat dengan penelitian, kuliah, karya ilmiah, saran, dan pengembangan teori-teori pembangunan agraria menabalkan nama Prof Sediono MP Tjondronegoro lekat dengan urusan sosiologi pedesaan.

Sebagai ahli sosiologi pedesaan, Prof Sediono dimatangkan melalui pergulatan dan perjuangan, mulai dari pertempuran fisik bersenjata melawan penjajah sebagai pelajar pejuang pada tahun 1940-an, bergerak di bawah tanah sebagai intel, studi di luar negeri, berdiplomasi, birokrat, perjuangan keilmuannya sebagai dosen, peneliti, perumusan kebijakan, hingga pendampingan masyarakat.

Sepulang dari studi selama 13 tahun di Nederland tahun 1963 dan berbagai lembaga pendidikan tinggi di AS, Prof Sediono menghadapi kondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang menyedihkan. Dia yakin, yang diperlukan adalah kemandirian. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup dari pertanian, kemandirian itu adalah tanah sebagai aset.

Menurut Prof Sediono, kemandirian adalah pasangan kebersamaan yang bersifat simbiosis mutualistik. Keduanya menjadi roh perjuangan dan komitmennya pada masyarakat pedesaan. Indonesia adalah negara agraris. Tidak dalam arti sebagai negara yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi, tetapi yang mengandalkan sumber daya agraria untuk menopang kehidupan ekonomi. Sumber daya agraria itu meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Bunga rampai kumpulan tulisannya terhimpun dalam buku Negara Agraris Ingkari Agraria. Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia terbit tahun 2008-satu dari puluhan buku pemikiran dan penelitiannya-menegaskan obsesi Sediono: perjuangan, kemandirian, dan kebersamaan atas kesamaan menjadi syarat yang perlu ditumbuhkan bagi masyarakat pedesaan.

Merosot

Ketika akan memenuhi undangan peringatan Hari Pahlawan di Surabaya, Selasa, 10 November 2015, Prof Sediono yang ikut dalam pertempuran heroik itu-berjaga di Jembatan Merah dekat lokasi Jenderal Mallaby tewas tertembak-harus membatalkan rencananya. Hari Sabtu (7/11) harus masuk rumah sakit, observasi jantung. Dia kaget, sebab selama ini tidak ada masalah dengan jantung, bahkan selama ini tidak ada masalah dengan kesehatannya. Ia terpaksa urung ke Surabaya karena harus observasi ulang.

Prof Sediono, Guru Besar Emeritus Bidang Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor-kini ditemani keluarga putra tertuanya-Myrza-tidak lagi sendirian setelah lebih dari 10 tahun tinggal sendiri sejak istrinya, Dr Puspa Dewi-ahli ekologi pedesaan-meninggal tahun 2000.

Hari-harinya kini tidak lagi sesibuk sebelumnya. Kegiatan akademis dan penelitian tidak lagi sebanyak dulu. Tidak lagi duduk sebagai promotor utama pengujian calon doktor, tidak lagi mengajar secara rutin, tidak lagi melakukan penelitian lapangan. Lebih banyak di rumah, tempat menghasilkan karya-karyanya selama ini.

Namun, perhatian dan kegiatan tetap di sekitar pemberdayaan masyarakat, seperti Yayasan Akatiga di Bandung atau Yayasan Bina Desa di Jakarta-dua yayasan LSM yang dia ikut mendirikan, atau lembaga Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Membaca laporan-laporan hasil penelitian menjadi pelengkap rentangan sosoknya sebagai sosiolog pedesaan.

Dari sekian negara dan ranah persoalan sosiologi di berbagai tempat, Prof Sediono masih ingin tahu bagaimana Tiongkok menangani masalah perubahan sosial. Ketika berada di Beijing beberapa waktu lalu, dia tidak sempat ke pedesaan, padahal ketika terjadi krisis ekonomi dunia tahun 1997 dan 2002, negeri ini justru mengalami kemajuan pesat berkat dukungan agraria. Konon berkat pengembangan kemandirian dan kebersamaan.

Bagaimana kemandirian dan kebersamaan diterapkan untuk Indonesia?

Faktor penting kebersamaan adalah pemerataan. Saya termasuk pro-pemerataan. Sosialisme dalam ekonomi tidak hanya dalam politik, dan inilah yang membedakannya dengan sosialisme yang berkembang di Eropa, yang baru saya tahu ketika tinggal di Eropa. Bantuan ayah saya sebagai birokrat mendukung program transmigrasi tahun 1935 ke Lampung tentu ikut berperanan pada minat saya.

Pernah sebagai direktur transmigrasi, dalam soal tanah sebagai aset, apa yang pernah Anda lakukan?

Ketika saya jadi asisten Prof Sumitro Djojohadikusumo di Bappenas, saya sampaikan usulan bagaimana pelaksanaan UU Agraria tahun 1960 dan bagaimana kita mengembangkan daerah pedesaan.

Menurut saya, perlu dipotret mana saja daerah yang bisa untuk pertanian dan mana yang tidak. Pembangunan harus dimulai dari pertanian. Data yang dimiliki lembaga pemerintah, seperti Bakosurtanal, perlu dimanfaatkan. Jadikan tanah sebagai aset, yang tidak diterjemahkan dengan pembagian tanah, tetapi dengan aturan pajak. Mereka yang memiliki tanah luas harus bayar pajak lebih tinggi lewat pengaturan perpajakan. Pemilikan tanah yang luas di Inggris, misalnya, kena pajak tinggi.

Bagaimana kelanjutan usulan itu?

Pernah jalan beberapa tahun. Tetapi kemudian tidak jelas. Mencair. Banyak orang Indonesia memiliki dan menguasai jutaan hektar tanah. Kapitalisme itu antitesis sosialisme. Penguasaan tanah adalah penguasaan aset, berarti penguasaan kapital.

Yang kita saksikan sekarang, banyak petani tidak punya aset yang berarti tidak ada kemandirian, tetapi ketergantungan. Reformasi agraria harus diartikan penataan kembali basis pembangunan kita adalah pedesaan, adalah agraria dalam arti mengandalkan sumber daya agraria untuk menopang ekonomi negara. Indonesia sebuah negara agraris-yang diingkari-tidak dalam arti sempit negara yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang utama perekonomian.

Bagaimana dengan kebersamaan?

Dalam salah satu penelitian saya di Tasikmalaya, Jawa Barat, saya temukan contoh kebiasaan baik, semacam local wisdom yang berkembang alami. Mereka saling membantu. Yang kaya atau memiliki modal lebih memberikan tetangga yang kekurangan. Tidak ada interes apa-apa, tidak ada pamrih, selain menolong. Itu yang saya sebut rural sodalities. Ciri khasnya saling membantu dan bekerja sama. Rural sodalities itulah inti demokrasi Pancasila.

Dengan local wisdom yang kita tinggalkan terjadilah pelapisan sosial, secara tidak langsung sisi negatif dari kapitalisme. Membangun kebersamaan jadi sulit. Kebersamaan dengan pengalaman saya tahun 1947 di Mojokerto itu hanya jadi romantika, apalagi kebersamaan di zaman itu sudah terbangun lewat menghadapi penjajah sebagai musuh bersama.

Membangun kebersamaan makin sulit, tetapi kita lihat saja bagaimana Presiden Jokowi terus mengembangkannya seperti sudah ditunjukkan dalam sejumlah kasus selama ini. Kita masih punya harapan. Sumbangan ilmuwan menawarkan analisis dan usulan yang didasarkan atas penelitian lapangan agar tidak dianggap omong kosong. Kemandirian dan kebersamaan masyarakat kita merosot.

Bagaimana kaitan kemandirian, kebersamaan, dan pertumbuhan jumlah penduduk?

Masalah KB, keluarga berencana, sekarang namanya kependudukan dan keluarga berencana (KKB) perlu diberi perhatian kembali. Pertambahan penduduk berurusan dengan tanah, kemudian dengan yang lain-lain, seperti makanan, perumahan, pendidikan, dan kesejahteraan hidup. Urusan demografi yang diberi perhatian besar zaman Soeharto, dimulai oleh Pak Widjojo Nitisastro yang mengintrodusir kebijakan kependudukan sebagai bagian utuh rencana pembangunan, perlu diberi perhatian lagi.

Menantu saya yang dokter spesialis kandungan bekerja di dua rumah sakit, mulai pagi sampai tengah malam, artinya banyak sekali proses kelahiran yang harus ditangani. Sekarang kita saksikan banyak orang Indonesia pergi ke Malaysia, Timur Tengah, dan Hongkong. Jadi TKI dan TKW. Di Hongkong itu saya jumpai ada restoran serba Indonesia, yang punya, yang makan, yang dimakan juga masakan rasa Indonesia. (*)

*Ditulis Oleh ST. SULARTO. Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 12 dengan judul “Merosotnya Kemandirian dan Kebersamaan”.

 

Scroll to Top