Sediono termasuk keturunan bangsawan Tjondronegoro (ayah) dan Arungbinang (ibu). Di zaman sebelum Indonesia merdeka, keturunan Tjondronegoro banyak yang menjadi bupati di daerah Jepara, Pati, dan Kudus. Adapun trah Arungbinang di daerah Kebumen dan Wonosobo.
Waktu Sediono lahir, ayahnya, RM Soetioso Sosro Boesono, menjabat Asisten Wedana, salah satu kota tugasnya, sebelum sebagai Bupati Semarang dan bergelar Poerwodo Tjondronegoro.
Karena kelahiran Sediono sama dengan hari kelahiran ibunya, Sumilah, ia harus punya orangtua angkat. Jadilah ia anak angkat Dubois, orang Manado, Direktur Volks Credit Bank. Ditambahkan nama Mommy.Jadilah nama lengkap Sediono MP Tjondronegoro.
Sediono mengikuti pendidikan zaman Belanda, berpindah-pindah sesuai dengan kepindahan tempat tugas orangtua. Sesudah Jepang masuk tahun 1942, ia pindah ke Jakarta. SMP dan SMA dijalaninya dengan tambahan kemiliteran, tetapi pada saat yang sama memperoleh brifing di bawah tanah tentang nasionalisme.
Seusai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, karena umumnya anak muda jadi pejuang, Sediono ikut jadi TRIP yang sering juga disebut sebagai tentara pelajar. Ikut dalam pertempuran Surabaya yang dimenangkan Inggris, pasukannya menyingkir ke Mojokerto. Di Legundi, dekat Mojokerto, saat sedang menahan serangan Belanda, tangan kirinya terkena pecahan mortir bersama tiga teman lainnya. Dia berhenti sebagai tentara pelajar.
Memperoleh beasiswa belajar di Belanda, tahun 1950, dengan pemikiran-pemikiran pemerataan, seperti Adam Smith dan David Ricardo, minatnya pada sosiologi pedesaan tumbuh. Pulang ke Indonesia tahun 1963, melihat pembangunan harus dimulai dari pedesaan, berarti membangun kemandirian dan kebersamaan.
Gelar doktor sosiologi diraihnya tahun 1977, begitu juga gelar guru besar. Menyaksikan dan terlibat dalam tradisi keilmuan IPB, Sediono punya kesan generasi sekarang tidak mengenal pertanian, bahkan pedesaan. Mereka hanya memperoleh pengetahuan dari buku-buku, bukan dari mengunjungi langsung.
Selain aktif dalam berbagai penelitian pedesaan dan kesibukan sebagai guru besar, Sediono juga aktif dalam AIPI dan berbagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Lengkap sudah perjalanan seorang ilmuwan teladan, dari MP, TRIP, IPB, hingga AIPI.
Di usia lebih dari 87 tahun saat ini, Prof Sediono terus berkarya dan teguh berkomitmen pada Indonesia itu negara agraris jadi jangan ingkari agraria. (STS)
*Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 12 dengan judul “Dari Tentara Pelajar sampai AIPI”. (KOMPAS)