Merefleksikan kemerdekaan Indonesia berarti kita berhenti sejenak untuk menengok masa lalu, merenungkan kondisi hari ini, dan merancang langkah perbaikan di masa depan. Langkah reflektif ini tepat, di tengah kondisi pulih dan bangkit dari pandemi yang belum usai, untuk melihat langkah-langkah apa saja yang sudah kita perbuat di tengah upaya pergerakan yang masih terbatas. Untuk itu, pada tulisan ini, kita diajak untuk melihat satu langkah kecil, tindakan sejarah sederhana di sebuah lokasi di Purworejo, pada abad ke-19 lalu. Boleh jadi, tindakan sejarah ini tidak tercatat dalam sejarah besar Indonesia. Namun begitu, toh kita bisa belajar satu hal tentang kemandirian, jauh sebelum gagasan kemerdekaan dihayati oleh para pemuda sebagai wacana identitas dan pembebasan.
Kemandirian -dalam bahasa Jawa: mardiko– sudah dihayati oleh satu kelompok kecil keagamaan, Kristen Jawa -Kristen yang tumbuh dalam interaksi dengan lembaga pesantren yang sudah mengakar jauh sebelumnya dalam budaya Jawa pedesaan. Melalui kata mardiko inilah, sebuah komunitas dan desa mandiri didiskusikan, dihayati dan dipraktikan. Akhirnya, dengan semboyan mardiko inilah, tumbuh persaingan dan konflik antara komunitas keagamaan yang bercorak Barat (Belanda) dan bercorak lokal (Jawa). Boleh jadi, inilah salah satu benih yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan pemberontakan dan pembebasan di Jawa dan Nusantara, yang berujung pada kemerdekaan Indonesia.
Sadrach Suropranoto ( 1835-1924 ), waktu kecil bernama Radin, datang dari keluarga sederhana -dan mungkin miskin. Seperti kebanyakan remaja pada masanya, Radin perlu ngenger atau menumpang dari satu keluarga ke keluarga lain untuk bekal hidup. Setelah ikut pada keluarga Kurmen alias Sis Kanoman, ia belajar di pesantren (Guillot 1985, 55-56). Pertengahan abad ke-19, di Jawa terjadi kehidupan religius yang dinamis, yang ditandai dengan aktivitas misi Kekristenan di pedesaan Jawa. Sadrach, melalui proses ngenger yang berpindah-pindah, tak lama kemudian, menjadi pemeluk Kristen.
Namun, belajar pada beberapa pesantren, tampaknya, memberi pengaruh besar kepada Sadrach dalam mengembangkan kekristenannya, yaitu kemandirian. Semangat mandiri yang diperoleh melalui pesanren inilah yang mendorong dia membentuk lembaga Kristen dengan corak yang hampir sama. Karena sekarang dia menjadi Kristen, maka lembaga pesantren ditransfo rmasikan ke dalam perkumpulan orang Kristen, yang kemudian dinamakan Pasamuwan Kristen Mardiko (komunitas Kristen merdeka).
Gagasan membentuk pasamuwan mardiko itu, dimulai tahun 1870, setelah Sadrach “membuka” Karangjoso sebagai desa Kristen (Guillot 1985, 75). Metode misi Kristen Sadrach meneruskan pola pesantren. Mendasarkan pada pola dan tradisi pesantren, Sadrach menggunakan pendekatan nge/mu dan ngamal untuk menanamkan kekristenan di pedesaan Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian Selatan. Hasilnya, luar biasa. Kurang dari satu dekade, kira-kira sampai tahun 1876, telah terbentuk komunitas Kristen mencapai lebih dari 3000, di sekitar Purworejo (Guillot 1985, Partonadi 1988).
Nama pasamuwan mardiko yang dipakai Sadrach memicu perselisihan dengan tenaga misi Belanda, yang akhirnya memunculkan ketegangan dan konflik berkepanjangan. Akhirnya, konflik itu melahirkan polarisasi kelompok Kristen: antara Kristen Jowo (Jawa) dan Kristen Londo (Belanda). Dengan kata mardiko yang dikembangkan, Sadrach dicurigai hendak melakukan pemberontakan, melalui sebuah komunitas Kristen. Akibatnya, dengan segala cara, ajaran dan praktik kekristenan merdeka Sadrach yang bercorak Jawa-diselidiki dan dicari titik kelemahannya. Tak lama, kemudian, komunitas ini dengan dukungan politik dan kekuasaan dihancurkan oleh para misionaris Belanda.
Namun, yang perlu kita refleksikan dalam rangka kemerdekaan ini adalah semangat kemandirian dalam membangun komunitas pedesaan. Lalu, berdasarkan kasus itu, kita akan mencoba untuk membandingkan dengan gagasan desa swabina yang kita kembangkan di Bina Desa.
Mengapa pasamuwan mardiko Sadrach dicurigai oleh Belanda sebagai upaya pemberontakan, baik secara keagamaan dan politik? Karena, komunitas ini menekankan tiga karakter penting.
(1) Kemandirian jiwa atau semangat; indikatornya adalah pemimpin komunitas mesti menjadi pribadi mandiri, yang ditandai dengan tidak menerima “upah” dari anggota komunitas, melainkan dengan bekerja sebagai pekerja mandiri, baik sebagai petani, pedagang, atau pekerjaan lain. Hal ini berbeda dengan Kristen Belanda: pemimpin umat menerima gaji dari Belanda, baik pemerintah atau lembaga keagamaan (Guillot 1985, Partonadi 1988).
(2) Kemandirian ekonomi; komunitas harus membangun lumbung (Partonadi 1988, 117), dan membentuk semacam koperasi -namanya sinoman. Melalui kelompok ini orang yang butuh modal untuk usaha bisa dengan segera memperoleh pinjaman dengan bunga sangat rendah (Guillot 1985, 186-187, Partonadi 1988, 161 ), sehingga mereka bisa terlepas dari pelepas uang. Dengan model ini, komunitas ini memberi perhatian yang cukup besar kepada orang-orang miskin.
(3) Kemandirian budaya; hal ini ditandai dengan adanya rapat setiap 35 hari; segala persoalan komunitas dibahas secara terbuka dalam rapat ini. Selain itu, sebagai orang Jawa, kekristenan yang mereka peroleh dari Belanda diupayakan diterjemahkan dalam budaya Jawa, seperti ibadah, doa/rapal, dan puji-pujian/dzikir. Dampak dari kemandirian budaya ini tercermin dalam perilaku warga komunitas, dengan tiga ciri khas: sederhana, rendah hati, dan jujur, yang agaknya sangat dekat dengan kehidupan pesantren pada masa itu. Atau, bisa saja ditafsirkan bahwa Sadrach hendak mendialogkan dan menyatukan nilai-nilai pesantren dengan terang baru Kristen.
Dengan tiga karakter itulah, Sadrach membangun sebuah mentalitas disiplin yang akhirnya melahirkan pasamuwan mardiko. Mentalitas disiplin ini memang membawa pengaruh besar di masyarakat. Pada satu sisi orang Kristen dinilai sebagai warga negara yang baik oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan pada pihak lain, sikap hidup ini merupakan alternatif bagi kehidupan masyarakat waktu itu yang dinilai dekaden, dengan indikasi, seperti poligami, hidup mabuk dan judi, yang membawa masyakat ke dalam penderitaan ekonomi (Partonadi 1988, 155-159).
Sekarang ini, Bina Desa juga sedang mengembangkan model desa swabina, yang ditandai dengan tiga ciri penting, yaitu: (1) tata kelola agraria, (2) tata kelola ekonomi, dan (3) tata budaya, yang kesemuanya dilandaskan pada musyawarah, sebagai cara hidup.
Tata kelola agraria bertujuan untuk mendayagunakan sumber-sumber agraria, tanah, air, dan berbagai praktik pengolahan sumber daya alam demi kehidupan masyarakat yang terbuka, seimbang dan adil-gender. Untuk mendukung tata kelola agraria berkelanjutan, pertanian alami menjadi dasar dan perspektif penting, di mana semua makluk hidup mesti dikelola dalam keseimbangan demi terwujudnya sumber pangan yang adil dan berkelanjutan.
Tata kelola ekonomi, yang menghargai manusia sebagai makluk yang berdaulat dan bermartabat, mendorong lahirn ya pola-pola pengelolaan ekonomi yang berbasis musyawarah di antara semua warga desa. Model kelembagaan ekonomi koperasi, dan model pertukaran ekonomi yang terbuka dan adil mesti diperjuangkan, baik itu ekonomi berspektif gift (menekankan bunga bukan sebagai keuntungan), atau solid arity (menekankan keseimbangan ).
Sementara tata budaya, yang menekankan musyawarah -dengan segala variasi budaya yang ada-terus dijadikan dasar bagi proses-proses pengambilan keputusan. Sebab, musyawarah menempatkan semua orang sebagai subyek setara. Budaya ini akan menghindari berbagai bentuk kekerasan, karena setiap orang adalah bermartabat. Musyawarah mesti tercermin dalam berbagai pranata atau ritus-ritus sosial di masyarakat.
Desa Swabina yang dikembangkan Bina Desa bukanlah utopia sosial. ltu gagasan yang lahir dari sejarah panjang masyarakat Nusantara. Memperhadapkan konsep Desa Swabina dengan pasamuwan mardiko Sadrach, tampak, ada keberlanjutan gagasan. Apakah Desa Swabina bisa diterapkan? Jawabnya, tergantung, pada upaya kita sekarang untuk menghayati dan mengamalkannya secara praktis dalam kehidupan pribadi dan bersama komunitas.
Selamat merayakan hari Kemerdekaan Indonesia. Selamat mengembangkan Desa Swabina di seantero Nusantara, Indonesia. Mari kita #Pulihlebihcepat #Bangkitlebihkuat
Oleh: Suwarto Adi* (Sekretaris Pengurus Yayasan Bina Desa)