“Setiap generasi itu anak zamannya. Persepsinya menangkap gejala dalam masyarakat, pandangan dan sikapnya, dipengaruhi kondisi obyektif pada zamannya…tetapi sekaligus, setiap generasi adalah pembentuk zamannya.” (Gunawan Wiradi)
Pada mulanya 28 Agustus 1932 delapan puluh tahun yang lalu.
Delapan puluh tahun lebih kini berjalan menuju, sebagai manusia ia pun pernah mengelami guncangan mental dan batin. Sebagai manusia ia juga memiliki tangisan, tetapi dia menahannya. Atau jika menangis, ia menangis sendirian saja. “Laugh! And the world laughs with you. Weep! And you weep alone!” begitu ujar pamannya mendidik. Sebagai manusia, ia juga punya cinta. Tapi sebagaimana romansa prahara sejarah menerjang siapa pun juga termasuk dirinya tanpa lebih dahulu berpamit menanya seorang ingin jadi pahlawan atau jadi korban dari sejarah 1965, termasuk juga kandungan kalbunya, pacar keduanya meninggalkannya karena terlarut oleh provokasi bahwa ia dituduh yang bukan-bukan di zaman yang yang gemar lupa dan melempar fitnah.
Maka sebagai manusia, ia pun berkali-kali tersungkur, menganyam rumput di atas imajinasi tentang Indonesia yang lebih adil, tapi malah ia seriang tersesap menjadi rumput, di injak, terabaikan dan jika diperlukan ia dimanfaatkan, rumput. Bagaimana ceritanya, barngkali benar lagu itu, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…
Sejarah pun tetap bergulir melewati ordenya, juga meninggalkan jejak-jekanya sebagai sebuah memoar dari metafora masa. Dimana dalam suatu gerhana bahasa dan gerahana waktu sekaligus, kenangan akan suatu masa menempuh jalannya sendiri diluar racauan nasib hidup sehari-hari; jalan yang kadang tampak begitu sunyi tapi begitu damai.
Tapi dunia dan sejarah kemanusiaanya memang bukan pasar malam, seperti kata alm. Pram, “dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam..seseorang-seseorang datang. Seseorang-seseorang mereka pergi.”
Bukan, dia bukan bagian dari hingar bingar zaman yang gemar riuh kemudian diam. Dia adalah kerikil, kecil memang, tapi dia adalah sandungan bagi setiap usaha mengeksploitasi kekayaan dan manusia di sini; di hadapan kolega-koleganya di Universitas Gajah Mada pada dekade 1900an, ia mengkritik dengan begitu satirnya, tak tampak rasa takut atas kenyataan yang diyakininya, bahwa katanya, “bila kita melihat kehidupan sekarang ini..revolusi Indonesia sepertinya menjadi mubazir!” (The Angle of Vision, hal. 108) dan terang saja semua rekan tersentak dan memperingatinya. Itu hanya satu dari sekian kritiknya yang jujur, pedas memang rasanya dan menohok. Tapi bukankah untuk maju kita memang tak boleh menipu diri sendiri. Seperti kebanyakan orang sekarang yang membangga-banggakan Indonesia hari ini; tapi dan tersebab mereka menutup mata atas apa yang menimpa sebagian besar bangsa ini.
Tapi ia percaya, “Cinta itu tidak mungkin terbentuk tiba-tiba, sebab ia adalah anak kebudayaan..!” Begitulah ia akan mencintai negerinya, tanah air laut jiwa badannya, Indonesia. Cinta yang sederhana tapi begitu mendalam, sebagaimana sosoknya yang sederhana, tapi begitu jujur dan teliti atas kebenaran.
Kini usianya sudah lebih dari tujuh dekade, Gunawan Wiradi, atau beberapa kolega memanggilnya Wiradi, GWR, atau Pak Gun, panggilan yang lalu menjadikan kalimat itu mengiringi pergaulannya yang luas sebagai seorang sahabat, guru, tukang kritik, dan pemimpin bagi kebudayaan vokalisme kritis generasi setelahnya, nama itu mengandung jejak cerita tentang riwayat hidup seseorang yang lahir “sepuluh tahun sebelum periode perang (Perang Dunia II) dan mengalami enam zaman berbeda, mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman perang saat balatentara kerajaan Jepang menduduki Indonesia, zaman revolusi, zaman kemerdekaan sebelum Orde Baru, zaman Orde Baru, dan zaman sekarang ini.
Bagaimana dengan generasi zaman kini? Ini katanya: generasi sekarang, sebagian besar berjalan dalam aktivisme tanpa idiologi, atau tak tersebab idiologi, lebih gemar memikir diri sendiri, lebih gemar memperkaya diri dari pada meneliti; yang berani memangkas, mengurang bahkan kalau perlu memotong keruwetan tak teruraikan. Dalam kaitan ini juga adalah rendahnya kemampuan membangun sebuah sintesa pemikiran yang orisinil, lebih banyak yang tahu teori dan hapal kalimat demi kalimatnya. ‘cita rasa politik’ dalam kalangan terpelajar di Indonesia saat ini sangat rendah. “Cita rasa saja, dan bukan keharusan terjun dalam dunia politik,” tegasnya.
Begitulah pak Gun, ia tidak bergelimang harta, tak memangku wanita, apa lagi kuasa. Malah, ia lebih sering terlunta dan berkalang derita—walau baginya penderitaan itu ibarat garam bagi sebuah kuali berisi masakan dari cita rasa perjuangan tentang Indonesia. Kadang saya membayangkan dia seperti Raden Mas Minke dalam roman “Bumi Manusia”, seorang Priyayi Feodal tapi kemudian jadi seorang yang paling getol dan terdepan menentang kuasa modal kapitalisme dalam jagad mental bumi feodal;baik sistem kulturalnya, sistem ekonomi politiknya, atau bahkan sistem simboliknya.
Ya, memang bukan sesuatu yang baru, jalan begitu yang seperti jalan setapak disusur lalui pula dahulu oleh para “Sang Pemula” bangsa ini__hanya yang sekarang adalah jalan pematokan, sikapnya telah turut mewarnai zaman dengan lebih terang, ia masuk dalam barisan garda depan pejuang keadilan dan kebebasan bagi zaman, dengan segala memoar pada romansa kurun waktunya, ia Gunawan Wiradi, beserta segenap jejak langkahnya, begitu pantas rasanya disebut sebagai “Pembentuk Zaman.” (SC)